Wednesday, July 11, 2007

Sindroma

(Sebenarnya tulisan ini akan saya posting jauh hari sebelum tanggal pernikahan saya, 1 Juli kemarin, tetapi karena nggak sempat, baru dua minggu setelahnya deh saya post, mudah-mudahan tetep relevan)

Kata orang, menjelang hari pernikahan, ada saja ‘ujian’ yang bakal dihadapi oleh calon mempelai. Mulai dari godaan dari mantan-mantan, rasa sebal, rasa jealous pada pasangan, dll. Dulu sih aku nggak terlalu percaya, tergantung orangnya sih, batinku. Eh...ternyata hal itu menimpaku juga! Hari pernikahanku tinggal dihitung dengan jari, ya sekitar 10 hari menjelang hari istimewa itu. Aku dicekam perasaan tak menentu. Biasanya sih rasa itu muncul sepulang kerja. Kebetulan pasanganku juga bekerja tapi di lain kota (jadi long distance nich ceritanya, meskipun kota dimana aku bekerja cuma 3 jam dengan bus dari kota tempat pasanganku bekerja). Pada hari-hari biasa, selama bekerja kami jarang berkirim sms, itu sudah hal biasa bagiku, paling pulang kerja kami bertelepon ria. Eh, nggak tahu kenapa hari-hari belakangan ini aku sensitif banget. Nggak disms seharian aja udah gondok banget, bukan itu saja. Pikiranku lalu bikin-bikin opini sendiri. Jangan-jangan dia udah nggak perhatian lagi, jangan-jangan dia keasyikan dengan teman-temannya di kantor jadi lupa aku. Kalau sudah begitu, rasa sebal kubawa waktu dia meneleponku. Bukannya kata-kata sayang terluncur, eh malah menyelidiki kenapa nggak sms seharian ini, dsb2 yang berakhir dengan meledaknya emosiku padanya. Kalau sudah begini, dia biasanya minta maaf, dan aku? Aku melulu merasa benar :-p (padahal dalam hati aku juga bertanya-tanya aku ini kenapa, kok segitunya?)
Terus ada lagi, suatu hari dia memutuskan menjual barang miliknya. Sebelumnya, aku tidak pernah merasa keberatan kalau dia mau menjual barang yang dia beli sendiri dari hasil keringatnya, aku merasa itu haknya. Asal dia memberitahuku. Tapi kali ini lain. Begitu aku tahu dia menjualnya, aku naik pitam. Aku bilang kepadanya kalau aku merasa tidak ada artinya. “Kalau kamu bisa memutuskan segala sesuatu tanpa meminta pertimbanganku, silakan saja. Berarti lain kali kalau aku mau jual kalung kesayanganku untuk biaya tambahan bulanan, tanpa pertimbanganmu, itu berarti sah-sah saja!,” kataku geram. Lagi-lagi, setelah berargumen yang berakhir dengan derai air mata, dia pun (lagi-lagi) mengalah, meminta maaf padaku. Dan aku? Hehe...yup betul! Merasa benar.
Aku juga tiba-tiba melarangnya begadang dan memintanya untuk tinggal di rumah saja sepulang kerja. Padahal aku tahu, sehari-hari dia bukan tipe orang yang bisa duduk diam di rumah sepulang kerja. Biasanya dia nongkrong di warung dekat rumah dan ngobrol-ngobrol sampai kantuk menyerang, baru dia pulang tidur. Biasanya aku bisa menerima kebiasaan ini, tapi kali ini tidak. Aku betul-betul mengultimatum dia untuk tidak melakukannya lagi. Bahkan parahnya aku melarangnya ikut ronda! Padahal tahu sendiri, kalau di kampung, ini suatu kewajiban bagi para bapak dan pemuda. Lagi-lagi argumentasi melalui telepon selalu berakhir dengan ‘kemenanganku’ yang lalu kurevisi setelah beberapa saat dia menutup teleponnya.
Kalau dia tanya,”Ada apa denganku?” aku pun tidak yakin bisa menjawab dengan benar. Karena aku betul-betul tidak tahu aku ini kenapa. Apa mungkin aku sudah terserang sindrom pranikah itu? Lalu mengapa semua yang mulanya biasa-biasa saja, menjadi sesuatu yang serius dan harus dibicarakan? Bahkan sebuah harga mati bagiku yang dia tak boleh menawarnya.
Aku pun menjadi letih karena tekanan emosional yang tidak menentu ini. Tidak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara dan mau memahami aku. Maka kuputuskan untuk merenung sendirian. Aku menelisik, kalau memang ini sindrom, mengapa hal-hal tadi begitu mudahnya memicu pertengkaran kami menjelang hari H ini. Analisis awalku adalah, bahwa masalah-masalah yang ‘sepele’ itu nyatanya tidak betul-betul bisa dianggap ringan. Dulu saja aku hanya menganggap lalu, mestinya aku menyatakan keberatan atau ketidaksetujuanku sejak dulu. Namun semua kuendapkan dan tanpa kusadari endapan-endapan itulah yang keluar manakala emosiku meledak. Misalnya saja, kebiasaan kami tidak bersms sepanjang bekerja, sebenarnya aku tidak menyukai habit ini. Aku ingin dia mengirim kabar sedang apa begitu pula aku ingin demikian padanya. Tetapi karena aku pikir itu tak jadi soal dan terutama aku gengsi memulainya, ya sudah kuanggap hal itu bisa dikompromikan. Lalu, kebiasaan dia nongkrong di warung dekat rumah, aku sebenarnya tidak suka kalau dia setiap malam melakukannya. Tetapi sekali lagi aku melihat apa urgentnya hal itu dibahas, karena toh selama ini kami berjauhan kota. Terus kebiasaan dia memutuskan segala sesuatu sendiri, dalam hatiku yang terdalam, aku merasa tersinggung, terhina dan merasa diabaikan. Tapi aku coba redam saja isu ini karena aku merasa kami masih baik-baik saja berjalan bersama.
Rupanya harapanku untuk mewujudkan diam itu emas berbuah mengecewakan. Aku selalu mengharapkan lelaki bisa membaca pikiran wanita, apa yang dimaui wanita tanpa kita harus mengatakannya secara langsung. Ternyata itu SALAH BESAR! Lelaki tidak bisa melakukannya. Wanitalah yang harus mengucapkannya (kasihan wanita yang gengsinya tinggi seperti aku). Lelaki hanya bisa membaca bahwa setelah berargumentasi dan bertengkar hebat dan berakhir ‘damai’ maka wanita akan segera melupakan akar masalahnya. Semua tampak kembali normal dan baik-baik saja. Padahal kebiasaan menyimpan akar masalah yang tidak tuntas tercerabut itu akan meninggalkan bekas dalam hati wanita dan seperti yang kualami, pada saat-saat ‘genting’, akar itulah yang menceruat ke permukaan. Si pria pun terbengong-bengong, “Kok aneh, kebiasaan ini kan sudah lama kulakukan, mengapa baru sekarang marah-marah?”.
Jadi begitulah rupanya, ada sejarah yang berkontrbusi besar memunculkan sindrom pranikah itu (minimal dalam kasusku). Sedangkan penyebab mengapa emosi-emosi itu meledak menjelang hari H, mungkin karena setelah hari H, aku merasa tidak bisa lagi semaunya meninggalkannya karena kemauanku tidak dituruti, begitupun sebaliknya. Pernikahan adalah sebuah komitmen seumur hidup, apapun yang terjadi tidak boleh ada kata berpisah karena tidak cocok, itu yang dijunjung tinggi agama yang kuanut. So, para wanita...mungkin salah kita juga kalau suka gengsi lalu pura-pura fine-fine saja melihat kebiasaan pasangan yang tidak kita sukai. Speak up! Jangan disimpan seperti aku, mereka pasti mendengar (at least beberapa menit) lalu syukur-syukur dia mau memperbaiki, kalau tidak, ingatkan saja terus. And...hey Men! Treating us like a lady all the time is not enough, listen to us and please give us some spaces in your mind to be considered. Okey??
Dan sekarang tinggal 9 hari lagi. Aku tidak sabar menanti apa yang akan terjadi berikutnya. Tunggu di sekuel selanjutnya ya....