Sunday, August 26, 2007

Ladies….It’s The Baby Inside!

Oh my God….beneran nih?
Itulah kalimat pertama yang terluncur manakala mata saya melototin sebuah test pack. Ya, saya hamil!! Secepat itukah? Ya! Kalau Anda membaca tulisan saya yang terdahulu (2 SR Pasca Pernikahan), saya menceritakan bagaimana tidak menentunya kondisi emosional saya waktu itu. Hm….ternyata ada penyebab yang tidak bisa diabaikan menurut saya. Mungkin memang janin dalam perut saya sedang mencoba berkomunikasi, mengatakan, “Mama, papa, aku udah di sini lho…. Ayo dong perhatiin ma, jangan capek-capek kerjanya. Papa juga ya, jangan sibuk-sibuk amat sampai lupa tanya kabarku.” Hehe....mungkin ia coba menggedor-gedor pintu rahim saya agar mamanya ini tahu ada seseorang di dalam sana.
Ya, begitulah. Gara-gara saya tidak peka terhadap kondisi kehamilan saya yang masih amat muda ini, saya mengalami flek. Sekali lagi, karena ketidakpekaan, saya masih berpikir flek itu adalah menstruasi saya. Sebenarnya saya agak curiga awalnya, karena saya memang telat datang bulan. Tetapi itu saya anggap sebagai perubahan hormonal yang wajar terjadi pada wanita pasca menikah, apalagi kondisi emosi saya waktu itu amat sangat naik turun. Saya pikir waktu bercak kecoklatan itu terjadi, saya dapat haid yang siklusnya berubah. Yang menjadi aneh adalah ketika saya sadari bahwa ‘haid’ saya itu berlangsung seminggu lebih. Wah, ini tidak beres pasti ada sesuatu yang terjadi.
Lalu, iseng-iseng saya beli test pack, dua buah sekaligus beda merk. Yang satu mahal diklaim 99% akurat, yang lain lebih murah jadi saya pikir ada perbandingan lah. Dua kali test, saya terkejut karena semua menunjukkan dua garis alias positif. “Lalu, apakah bercak kecoklatan itu?,” saya jadi merinding. Akhirnya setelah memastikan ke dokter, terjawab sudah bahwa saya memang lagi berbadan dua.
Dokter mengatakan, bahwa bercak kecoklatan itu adalah flek, biasanya bisa terjadi di awal kehamilan, karena janin sedang berupaya menanamkan dirinya dalam rahim. Namun, ada kemungkinan lain yang saya mendadak takuti. Bisa jadi, flek pertanda bahaya terjadinya keguguran. Kemungkinan flek saya disebabkan kecapekan. Langsung saja, saya terima saran dokter untuk bedrest selama seminggu penuh.
Dan tahukah Anda? Setelah mengetahui kehamilan ini, kondisi emosi saya mulai stabil lagi. Semua perasaan tidak menentu yang pernah saya ceritakan sebelumnya, mendadak sirna. Reaksi suami saya, dia sangat bahagia mendengar kabar ini. Sekarang dia jadi lebih perhatian lagi. Hehe, ada milik kami berdua dalam perut saya yang harus dirawat dengan ekstra hati-hati. Saya mengalami yang biasanya ibu hamil alami. Mual-mual, mudah letih dan mengantuk. Untunglah rekan kerja di kantor memahami keadaan ini, jadi saya sering minta break sebentar untuk sekedar berbaring beberapa menit di kantor. Mudah-mudahan kondisi kandungan saya tetap sehat dan kuat hingga saatnya nanti dilahirkan. Kini, saya merasa tidak sendirian. Ada seseorang di dalam sana yang sedang merenda kehidupannya. Mudah-mudahan rahim saya menjadi media yang hangat tempatnya bertumbuh menjadi bayi sehat. God... thanks, I’m glad to be a woman!

2 Skala Richter Pasca Pernikahan


Bukannya ingin melebih-lebihkan keadaan, hingga saya pilih judul di atas. Saya cuma sekedar pengen menggambarkan suasana biduk rumah tangga saya setelah hampir 2 bulan ini berjalan. Boleh dikata sebulan terakhir, saya tengah dilanda euforia pasca pernikahan. Semuanya meledak-ledak. Mulai dari senang, sedih, bete, marah semua ada. Pokoknya rasanya seperti makan permen nano-nano. Pada seminggu setelah hari H, pasti semua mantan pengantin merasakan surga dunia yang tak ingin mereka tinggalkan. Itu juga yang saya rasakan. Masa bulan semanis madu berdua, semua manis dan indah. sedih rasanya kalau harus mengakhiri masa-masa itu. Tapi apa boleh buat, kami harus segera ‘bangun’ dari tidur. Masa cuti cuma seminggu dan kami harus bekerja lagi. Sedih rasanya meninggalkan masa bulan madu itu.
Saya kembali bekerja di Salatiga dan suami saya bekerja di Yogya. Kami ‘terpaksa’ berjauhan karena hal ini telah menjadi kesepakatan sebelum menikah bahwa untuk setahun ke depan, saya akan tetap bekerja di Salatiga dulu hingga suami saya mendapatkan kejelasan mengenai status pekerjaannya. Kami menganggap pekerjaan saya lebih dapat dijamin keberlangsungannya dibandingkan pekerjaan suami saya yang hampir habis masa kontraknya. Waktu itu sih, saya enteng saja menyetujuinya (toh itu keinginan saya yang didukung oleh suami). Hanya Sabtu dan Minggu saja kami bertemu dan menghabiskan sepanjang hari dengan berekreasi, ya jalan-jalan, ya di kamar (hehe...).
Tetapi mendadak terjadi perubahan pada diri saya yang saya sendiri tidak pahami dari mana datangnya. Bukan perubahan fisik, tetapi perubahan suasana hati. Tiba-tiba saja, saya menjadi luar biasa melo dan cengeng seperti anak SD yang enggan ditinggal ibunya ketika sekolah. Padahal selama 8 tahun berpacaran dengan suami saya, saya tahu benar cengeng bukan saya banget gitu lho. Bahkan hal-hal yang dulu saya anggap biasa saja bahkan tidak terpikirkan, sekarang sangat penting untuk dibahas (baca : diperdebatkan). Misalnya saja, kalau dia terpaksa lembur di kantor atau dia telat bersms. Aduh, hari-hari hanya saya isi dengan kemarahan yang tidak kenal kompromi. Keinginan untuk didengar dan diperhatikan saja. Seringkali, tiap hari dia gelisah apa lagi yang akan menjadi ‘bahan peledak’ saya? Saya cukup prihatin dengan kondisi emosi saya yang sungguh tidak stabil sebulan belakangan karena saya sendiri merasa lelah yang luar biasa.
Jarak yang dulunya saya anggap tidak menjadi masalah, kini sangat berarti. Setiap hari saya lewatkan begitu saja kebersamaan dengannya di rumah. Saya lewatkan peran saya sebagai istrinya. Sesuatu yang menjadi alasan mengapa saya ingin menikah. Saya tidak sekedar ingin menjadi istri semata, tetapi ingin memainkan peran itu dengan baik. Kini, demi periuk nasi (atau keegosian saya?), kami harus berpisah, sekalipun jumpa tiap weekend tapi hal ini saya akui cukup membuat saya senewen selain mungkin pengaruh perubahan hormon kewanitaan saya kali ya? Maka saya memakai hal-hal sederhana yang tadinya biasa saja menjadi umpan untuk menyalurkan kesenewenan saya tadi.
Dalam kamus para pria rasanya hanya ada kelugasan, sesuatu yang tidak di awang-awang, sesuatu yang harus dikatakan, harus diterangkan, bukan diumpakan. Seperti suami saya. Setiap kali bertengkar karena hal-hal yang sepele tadi, dia selalu bertanya, “Lalu, mama pengen papa seperti apa?” Aduh, itu pertanyaan tabu buat saya. Karena saya berpikir, kalau saya bilang papa harus A, B, C maka apa yang dia lakukan semata supaya saya tidak marah lagi. Bukan lagi dilakukan dari kesadarannya. (Lagi-lagi) suami saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hal menarik lainnya yang membuat saya lebih kenal mantan pacar saya ini adalah, kebiasaan dia menguasai sebuah kotak bernama televisi. Benar yang pernah dirilis oleh banyak buku psikologi, dalam hal penguasa remote, lelaki lah rajanya. Setiap kali menonton bersama, dia mempersilakan saya menonton kesukaan saya misalnya acara Insert di TransTV (partisipan gosip club member). Tapi belum selesai satu berita, ia sudah ambil alih remote TV dan ia mulai pencet sana-sini tanpa arah lalu kembali lagi ke mata acara yang saya sukai tadi (basi lah kabarnya udah lewat). Dia baru berhenti kalau saya sudah meliriknya atau dia lihat berita olahraga. Kebiasaan dia menggunakan kipas angin atau fan ketika tidur, juga sempat mengganggu saya. Saya paling anti dengan fan yang secara langsung mengenai tubuh saya, bisa masuk angin. Tapi suami saya sangat menikmati hembusan putaran angin itu kala tidur. Ketika saya tanya kenapa harus pakai fan meskipun udara dingin. Jawabnya, “Aku suka dengar suara fan ketika tidur.” Alasan ini sungguh tidak ilmiah dan saya dibuat tertawa ngakak. Alhasil kalau tidur, saya selalu pakai selimut dari ujung leher hingga kaki, sedangkan dia justru topless bagaimanapun dinginnya J
Belum lagi, kebiasaan memencet odol (pasta gigi). Bagi saya, memencet odol di atas sikat gigi tentu sudah baku dan jamak. Tapi tidak dengan suami saya, saya terkejut ketika dia memencet odol langsung ke mulutnya baru dia gosok gigi. Awalnya saya marah-marah karena berarti tube pasta gigi sudah tidak higienis lagi, tahu apa reaksinya? Dia cuma tertawa, “Hehe....” Aneh ya?
Makanya saya umpamakan hiruk pikuk yang terjadi selama 2 bulan pernikahan saya sebagai getaran-getaran gempa yang amat kecil skalanya. Saking kecilnya, kadang saya tak sadari bahwa sebab musababnya harusnya dibicarakan, supaya yang kecil itu nantinya tidak menjadi besar dan berpengaruh serius bagi rumah tangga saya kelak. Salah satunya, getaran ‘gempa’ yang diakibatkan jetleg kebiasaan berdua yang amat sangat kontras ditambah kondisi emosional suami istri yang tidak sama stabilnya.
Hingga kini, saya masih terus belajar menyesuaikan diri. Saya pikir begitu juga dengan suami saya. Bagaimanapun emosinya saya di kala tertentu, saya amat menyayanginya, terutama kalau ingat senyumnya. Hihi...cute seperti anak kecil. So, kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya ya. Doakan kami.

Tuesday, August 7, 2007

SO OTHERS MAY LIVE

Maraknya kecelakaan kapal yang terjadi selama beberapa bulan ini sungguh sangat memprihatinkan bangsa kita. Bagaimana tidak? Saya baru sadar kalau untuk mengarungi samudera dengan kapal ternyata sama besar resikonya ketika naik pesawat atau alat tranportasi apapun. Nyawa semua penumpang dengan alat transportasi apapun di negeri ini (seharusnya) sama berharganya. Keprihatinan itu menginspirasi saya untuk menonton sebuah film berjudul Guardian. Seorang teman merekomendasikan film buatan tahun 2006 ini kepada saya, cocok dengan tema kecelakaan kapal baru-baru ini.
Jika diterjemahkan judulnya kira-kira berarti “Penjaga”. Diawali oleh sebuah narasi. Konon, di lautan Amerika dipercayai sebuah legenda. Ada seorang yang hidup di bawah laut. Dia selalu ada untuk menolong korban kecelakaan kapal di laut, terutama mereka yang sudah hampir putus asa diombang-ambingkan air selama berhari-hari dan merasa sendirian karena pertolongan yang tak kunjung datang.
Ini kisah seorang Jack Randall. Sebuah adegan mempertunjukkan Randall dan tim Penjaga Laut dan Pantai AS sedang mengevakuasi penumpang kapal yang karam di tengah laut lepas. Di antara mayat-mayat yang terapung, Helikopter berhasil menyelamatkan sepasang suami istri. Dalam perjuangan pasangan itu di tengah kepungan mayat-mayat, si suami berusaha merebut pelampung istrinya. Bahkan untuk melakukannya si suami mencekik leher istrinya. Mengetahui hal ini, dengan geram Randall meninju si suami agar pingsan dan tidak berulah hingga akan membuat proses evakuasi terhambat. Semua anggota tim sudah memutuskan meninggalkan lokasi karena yakin semua penumpang sudah tewas terapung-apung, tetapi sebuah tembakan api muncul dari permukaan. Berarti ada yang masih hidup! Randall ingin memeriksa sekali lagi dan ia memaksa diri turun kembali meskipun anggota tim lainnya menolak karena bahan bakar menipis.
Randall memeriksa satu-satu mayat yang terapung-apung itu. Akhirnya ditemukannya seorang pemuda yang pucat pasi dan hampir putus asa. Randall segera menalikan pemuda itu dalam keranjang evakuasi. Ketika itu tim di helikopter memperingatkan Randall untuk cepat-cepat menaikkan pemuda itu, namun tiba-tiba sebuah papan dari kapal yang karam terbang oleh ombak yang tinggi dan mengenai helikopter hingga si heli kehilangan kendali dan meledak di atas. Randall tertegun sejenak kemudian beralih memandang si pemuda yang semakin pucat dan ketakutan itu. “Kau akan baik-baik saja,” katanya sambil memeluk pemuda kuat-kuat pada sebuah keranjang yang sedianya akan ditarik helikopter. Baru saja ia membisikkan kata itu, tiba-tiba si pemuda dalam keranjangnya, tersedot ke dalam air dan hilang entah kemana. Rupanya karena ia masih terikat pada helikopter tadi, si pemuda ikutan nyungslep ke laut.
Seorang temannya yang berhasil selamat akhirnya meninggal dalam pelukkannya karena lamanya petolongan datang.
Peristiwa itu membuat Randall trauma berat dan harus rela tidak lagi melakukan tugas di laut. Atas petunjuk atasannya, Randall akhirnya menerima keputusan untuk mengajar di sekolah yang mencetak pada Guardian. Di lain pihak, istri Randall yang sudah capek ditinggal-tinggal dan diabaikan karena tugasnya, meminta cerai. Dalam keadaan dilematis ini, Randall tetap keukeh dengan panggilan hatinya, menjadi Guardian.
Guardian punya motto yang cukup menyentuh hati : So others may live (hingga orang lain bisa hidup!). Membayangkan makna motto mereka, jelas bahwa siapapun yang masuk ke sekolah Guardian hanya punya satu motivasi yakni panggilan hidup untuk menyelamatkan nyawa orang lain khususnya para korban kecelakaan di laut. Meskipun untuk menjadi Guardian, mereka harus menempuh pelajaran berat. Bertahan mengapung di kolam renang selama 1 jam, ditambah bongkahan es di dalamnya, berpasang-pasangan menyelam sambil memindahkan beban dan hanya diijinkan mengambil nafas ke permukaan sekali setelah yang lain mendorong beban itu ke depan, dsb. Nantinya mereka harus siap sewaktu-waktu mendapat panggilan berangkat ke laut lepas dan menolong para korban. Wuih....keren banget yak?
Seorang murid pria (maaf saya lupa namanya) yang diperankan Aston Kutcher menunjukkan prestasi cemerlang. Ia punya pengalaman pahit di masa lalunya hingga ia bertekad bisa menjadi The Guardian agar rasa bersalahnya terobati. Ketika masih kecil, ia kehilangan 2 temannya mati tenggelam ketika mereka sedang menaiki perahu di sebuah danau dan ia tak mampu menyelamatkan mereka.
“Berapa orang yang telah kau selamatkan?,” tanya pemuda itu pada Randall. Pertanyaan ini tak kunjung dijawab hingga suatu hari sang murid kembali menanyakannya dan Randal menjawab, “Dua Puluh Dua.” Murid itu tertegun heran, selama ini yang didengarnya Randall adalah pahlawan di laut, banyak orang sudah diselamatkan berkat jasanya, tetapi padanya Randall hanya menyebut angka sekecil itu? “Dua puluh dua yang tidak bisa kuselamatkan. Hanya itu yang selalu kuingat,” jelas Randall menjawab tanya di kepala muridnya.
Di bawah gemblengan Randall, pemuda itu termasuk satu dari segelintir murid yang berhasil lulus dengan baik. Tugas pertamanya menyelamatkan dua orang yang terjebak dengan kanonya di sebuah gua. Bersama Randall, ia turun ke laut dan mengeluarkan mereka dari dalam gua. Sang murid berhasil mengevakuasi, tidak demikian dengan Randall. Di tengah ia berusaha mencapai pintu gua bersama seorang korban, bayangan peristiwa ketika heli yang ditumpangi kawannya meledak, seorang pemuda yang akan ditolongnya nyungslep ke laut, kawannya harus mati di tengah lautan, terus membayangi hingga ia merasa takut. Akhirnya, si murid mencapai gua kembali dan membantu Randall & korban perahu kano keluar dengan selamat.
Sejak itulah, Randall memutuskan berhenti menjadi Guardian. Ia merasa dengan traumanya itu justru bisa mencelakakan orang lain. “Aku akan memancing saja,” katanya pada muridnya yang menahannya pergi. Randall pun menemui istrinya untuk menyerahkan surat cerai yang sudah ditandatanganinya dan cincin pernikahan mereka. Sebenarnya istri Randall sudah berpikir ulang untuk memaafkan dan kembali kepadanya tetapi mulutnya tak kunjung mengatakan hingga Randall meninggalkannya.
Dalam perjalanan untuk membereskan barangnya di kantor, Randall mendengar dari radio, ada kecelakaan kapal di laut dan sang murid sedang ditugaskan melakukan evakuasi. Namun murid itu justru terkunci di dalam dek kapal untuk menolong sang nahkoda, maka diperlukan seorang lagi Guardian untuk terjun menolongnya. Sayang tak ada anggota Guardian yang saat itu standby, kecuali Randall yang sudah memutuskan berhenti itu.
Segera Randall bergegas siap dengan perlengakapannya dan dibawa ke lokasi evakuasi. Singkat cerita, Randall berhasil mendobrak pintu dek dan mereka berdua keluar untuk naik ke heli. Ironisnya, si nahkoda dalam cerita itu akhirnya mati tertimpa tabung gas.
Di sinilah kisah akhir yang begitu mencekat tenggorokan itu dimulai. Ketika Randall dan sang murid sedang ditarik ke atas, mereka dengan satu tangan masing-masing berpegangan pada tali. Baru setengah perjalanan ditarik, talinya hampir putus. Sang murid panik dan berteriak agar tim di heli mempercepat penarikan. Tetapi tali tetap mengelupas sedikit-demi sedikit dan posisi Randall sudah hampir jatuh. Sang murid berkata, “Aku akan tetap memegang tanganmu. Bertahanlah,” teriaknya menyemangati gurunya.
“Tidak. Tali ini hanya cukup untuk satu orang. Itu berarti kau,” kata Randall sambil memandang sang murid yang masih panik. Randall pun melepaskan sarung tangannya dan ...jatuhlah ia kembali ke lautan nan gelap itu. Murid itu berhasil naik ke heli, sambil meratapi kepergian gurunya yang tak tampak lagi di permukaan. Setelah berhari-hari pencarian tidak membuahkan hasil, Randall pun dinyatakan hilang.
Hingga suatu ketika, jauh setelah insiden itu terjadi, sang murid yang telah menjadi The Gurdian sedang mengevakuasi seorang penumpang kapal karam. Ketika dibawa naik ke heli, si penumpang itu berkata, “Di mana dia? Di mana dia?”
“Dia siapa? Tidak ada orang lain selain Anda, pak,” jawabnya.
“Orang yang memakai baju oranye. Dia yang menyelamatkan saya tadi, dia terus menemani saya saat terombang-ambing di laut. Dia meyakinkan saya untuk tidak menyerah karena pertolongan pasti akan datang,” terangnya.
Sang murid pun kembali tertegun sambil melihat ke bawah. Ia teringat peristiwa ketika Randall, gurunya menceburkan diri ke laut demi dirinya waktu itu, Randall memakai baju dinas berwarna oranye. Sang murid tersenyum. Di bawah sana Jack Randall masih menolong orang. So, others may live! (*)