Monday, January 28, 2008

Selamat Jalan Pak Harto

Akhirnya, Pak Harto pun tutup usia. Seperti layaknya kita sulit menerka kapan daun kering itu akan jatuh. Sekarang, besok, lusa? Begitulah, terkaan kita terhadap kemungkinan kepergian seseorang yang secara medis telah beberapa kali mengalami fase kritis, seringkali meleset. Pada saat di mana pikiran kita lengah, atau teralihkan perhatiannya, maka terjadilah apa yang kita terka-terka sebelumnya. Pak Harto telah meninggal. Tiba-tiba campur aduk perasaan mulai menjalari, mungkin ditambah dengan guyuran informasi di media massa cetak dan elektronik, gambar-gambar dan ilustrasi mengenai obituarinya. Semua menambah keanehan perasaan. Rasa aneh karena waktu dia masih hidup, ada banyak hujatan mengarah kepadanya yang menutupi hampir semua jejak prestasinya di masa lalu. Banyak telunjuk tertuju padanya sebagai penanggung jawab terjadinya banyak pelanggaran di masa lalu. Tetapi secara manusiawi, ada rasa kehilangan juga. Sekarang, dia benar-benar sudah tiada lagi.
Menanggapi rasa campur baur, benci-marah-kehilangan-rasa biasa-biasa saja itu, saya jadi tertarik dengan sepenggal tanggapan istri Widji Thukul, penyair di Solo yang jadi korban waktu geger 1998 dulu dan harus kehilangan suaminya itu yang hingga sekarang tak tahu di mana rimbanya, dia bilang “Tuhan saja pemaaf mengapa saya tidak memaafkan Suharto.” sambil matanya berkaca-kaca dalam sebuah wawancara dengan TransTV. Sebesar itu permaafan bagi Suharto dari orang yang secara langsung tersakiti oleh Orba ini. Satu lagi, istri Widji Thukul itu berkata tidak dendam karena pada intinya dendam merugikan dirinya sendiri. Bayangkan…the power of forgiveness dari seorang istri penyair yang sederhana ini. Memilih tidak memaafkan, sama seperti sebuah ilustrasi, menaruh kentang dalam kantung plastik dan membawanya kemana saja kita pergi, berhari-hari bahkan berbulan lamanya. Makin lama, kentang itu justru akan membusuk dan bau tak sedap itu justru akan bersumber dari kita.
Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain. Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemana pun kita pergi.

Sunday, January 20, 2008

ICU

Bicara tentang sakitnya mantan presiden Suharto yang kini dikabarkan mulai membaik dan segera akan keluar dari ICU, saya lebih tertarik membayangkan pergulatannya & keluarga di tengah ruang yang bernama ICU (Intenssive Care Unit), daripada membahas mengenai persoalan-persoalan yang ditanggung beliau dan harus dipertanggungjawabkan itu (habis kayaknya nggak ada endingnya gitu yak? Hampir ke arah membosankan). Saya membayangkan bagaimana perjuangan perasaan keluarga besar atau orang-orang terdekat seseorang yang tengah dirawat di ICU selama berhari-hari, mereka lah yang paling merasakan beban dan tekanan hebat. Bagaimana tidak? Setiap hari harus menunggui dan melihat seseorang yang sedang melawan sekuat tenaga penyakitnya, dan boleh dikata di ICU itu para pasien terbaring di antara hidup dan mati. Sangat dekat sekali rasanya maut itu bagi kita orang yang sehat yang sedang menunggui mereka di sana. Tapi bukan berarti semua yang di ICU hanya punya dua pilihan itu, di ICU juga seringkali terjadi yang namanya Miracle. Jadi kalau saya bisa gambarkan, mungkin di sana ada malaikat pencabut nyawa, ada malaikat dewan pertimbangan agung (yang diberi kewenangan Tuhan untuk mengatakan cabut sekarang atau nanti saja atau penerus kehendak Tuhan untuk memberikan seseorang second chance). Yah, sebenarnya di mana pun kita berada sih ya, tapi di ICU gambaran seperti itu sangat kental dan menggigit.
Saya pernah juga mengalami bagaimana teraduk-aduknya perasaan ketika menunggui seseorang di arena ICU. Waktu itu yang saya tunggui ibu saya sendiri. Beberapa tahun lalu sebelum menjalani operasi jantung, beliau sudah standby di ICU beberapa hari sebelum pelaksanaan operasi guna menjaga sterilitas dan pemantauan dokter atas kondisinya. Sehari sebelum beliau masuk ruang operasi, saya sempat menungguinya. Pagi, saya masih melihat pasien di depan ibu saya meski dengan piranti-piranti tersemat di sekujur tubuhnya, eh sore ketika ke sana lagi, ibu saya bilang pasien tetangganya itu sudah tiada lagi siangnya. Fiuh…saya ikut gemetar mendengarnya, gimana perasaan ibu saya yang akan menjalani operasi besar esok hari? Pikir saya, kami sekeluarga pun cuma bisa memompakan semangat hidup dan doa agar beliau diberi kekuatan. Ternyata berada di ICU bisa menjatuhbangunkan mental seorang pasien dan keluarga yang menunggui manakala melihat atau mendengar salah seorang penghuni ICU meninggal lebih dulu.
Ditambah lagi pemandangan di ICU, monitor jantung yang selalu berbunyi, tit…tit…tit…dengan garis-garis penunjuk masih ada tidaknya tanda-tanda kehidupan. Lalu mesin apalah namanya itu, yang buat bernafas bentuknya seperti tabung pompa besar dengan selang yang tersambung ke mulut pasien jadi ketika pasien bernapas, mesin itu turun naik seperti pompa. Belum lagi mesin pembersih tenggorokan pasien yang sudah koma atau tidak sadarkan diri berhari-hari, kalau alat itu sedang bekerja bunyinya itu lho…krrrrr…krrrr….krrrroookkk…Aduuhh masygul rasanya demi melihat piranti-piranti bertema ICU itu.
Pualiiiing menyakitkan manakala, harus meretas langkah menuju ICU dan melihat pemandangan di mana orang yang terkasih terbujur kaku ditutupi kain putih dengan monitor jantung berbunyi tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit panjang dan layar menunjukkan garis hijau mendatar, pertanda ia sudah tutup usia dan para dokter berdiri dengan pandangan seakan berkata, “Be strong please, we’ve done our best so far”. Dan itulah yang saya alami. Sungguh sebuah ruangan hidup dan mati, ruang kehilangan atau mendapatkannya kembali. Ya, ICU….(*dedicated to all people whose family’s member is now laying and fighting against desease in ICU, be tough)

Friday, January 18, 2008

Sedihnya Keponakan Opname

Aduuuhai...kasihannya keponakanku satu ini, sekarang lagi sakit. Opnamne di rumah sakit, kena gejala demam berdarah. Tiga hari panas di rumah nggak turun-turun, membuatnya yang biasanya cerewet dan lari ke sana- kemari tergolek lemah dengan selang infus berbantal papan kayu di tangan mungilnya. Andra namanya, dia baru akan 2 tahun April depan. Sekarang lagi belajar ngomong banyak-banyak, "Itu Baba", katanya menirukan boneka di VCD salah satu produk pempers. "Iwak"(ikan), "Sakit", "Takut", adalah beberapa kosakata yang sudah dikuasainya. Atau bebunyian binatang seperti miaaw...hmoooo...guk-guk...embeeeek...
Selebihnya masih bla-bla-blah, kalau diajak ngomong menyimak tapi mbalikinnya masih belum terlalu jelas. Biar begitu, dia lucu sekali. Sekarang juga sudah pintar bergaya kalau difoto (lihat tuh posenya berfoto dengan saya), sudah pintar pipis sendiri lagi. Kalau menyambanginya ke rumah, dia selalu memanggil saya "Wiiik, Wiiik" maksudnya Dewi(k) hehe...kalau ingat itu, saya selalu pengen ketemu dia. Sayang, Andra lagi sakit. Semoga lekas sembuh ya sayang...biar bisa main-main lagi sama teman-teman dan bulik Wiiik.

Saturday, January 12, 2008

Musuh Besar Anak Kos

Judul di atas bukan untuk digeneralisasikan pada semua anak-anak kos. Cuma buat kasus saya kok. Siapa tuh musuh besar anak kos seperti saya? Begini, selama 9 tahun menjalani kehidupan sebagai anak kos, perinciannya : 4 tahun ngekos pas mahasiswa, trus ketambahan 4 tahunan ngekos waktu udah kerja, saya memutuskan kalau musuh besar bisa dikategorikan sebagai musuh utama adalah : KECOA dan SAKIT.
Mari kita bahas satu-satu.
Kecoa. Mengapa mahkluk ini saya resmikan sebagai musuh utama? Alasannya simple, rasa geli aja melihat hewan ini merambat. Apalagi kalau kecoa ini punya keahlian terbang, nangkepnya susah. Kedua, hewan yang cocok pada situasi kamar mandi dan got ini amat gemar mengeluarkan bau ‘sedap’ yang bisa menempel pada semua benda. Bisa di gelas, piring bahkan pakaian di lemari baju. Paling puas kalau melihat kecoa yang saya buru, tergelepar dengan tubuh terbalik (harusnya ini disensor karena melanggar perikehewanan). Biasanya kecoa yang demikian akan berusaha membalikkan kembali tubuhnya dengan susah payah. Nah, kalau sudah begitu sukses deh saya mengusirnya dari kamar (dalam kasus kecoanya masuk kamar).
Ngomong-ngomong kecoa masuk kamar, ini kasus yang paling sering saya alami. Jangan menuduh saya orangnya jorok ya, pada satu waktu mungkin saking malasnya bersih-bersih tapi nggak kebangetan lah. Saya pernah berupaya menutup semua lubang kamar termasuk lubang ventilasi udara dengan Koran agar sang kecoa tidak gemar masuk kamar. Sampai saya rela bernapas dengan udara yang itu-itu saja berputar di kamar akibat lubang ventilasi tertutup. Tapi….itu tidak berhasil. Kecoa ada aja cara masuknya, mereka (kecoa berganti-ganti, tidak serombongan kok) memanfaatkan waktu lengah saya ketika membuka pintu kamar barang sebentar. Menyebalkan kalau sudah memergoki kecoa jalan di pinggir tembok atau di lantai. Bawaannya pengen mengenyahkan dengan sapu lidi yang biasanya saya pakai buat mbersihin dipan. Suatu kali saya berpikir darimana kecoa bisa masuk, ternyata usut punya usut, kecoa tuh seperti tikus curut yang bisa menggepengkan badannya setipis mungkin buat nyelinap ke bawah lubang pintu atau lubang sempit lainnya. Aih…aih…
Cara konvensional dengan sapu lidi itu yang sampai sekarang saya pertahankan karena dengan kapur barus atau kapur serangga nggak mempan, kecuali saya menggarisi seluruh kamar dengan kapur kali ya?
Insting saya terhadap adanya hewan ini mulai terasah sekalipun dalam keadaan lampu dimatikan. Apalagi kalau tidak ada suara radio atau TV. Saya bisa sedikit membedakan, kalau ada suara kresek-kresek di kamar itu disebabkan oleh cicak atau kecoa. Kalau cicak sih nggak masalah, tapi kalau kecoa maka radar insting saya langsung mengarah pada status waspada. Pernah, di kamar kos saya belum lama ini, ketika tertidur lelap dan dalam keadaan lampu dimatikan, saya tiba-tiba terbangun dan sekelebat dalam kegelapan yang agak remang karena sorotan lampu di luar kamar, saya memergoki seekor kecoa merembet di samping kiri saya! Spontan saya beranjak dari dipan dan menyalakan lampu. Si kecoa sudah melesat ke sudut ruangan yang agak sulit dijangkau sapu. Kalau sudah begini, jurus andalan saya muncul. Memegang sapu sambil duduk di kursi dengan kaki di diangkat sambil mata melebar menepiskan kantuk untuk menyatroni si kecoa. Hanya beberapa kali sukses, selebihnya saya memutuskan tidur dengan lampu dinyalakan kembali dan teteep sapu lidi di tangan.
Musuh kedua adalah sakit di kos-kosan. Mungkin kalo yang ini semua rata-rata anak kos apalagi perantau dari jauh, merasakan hal yang sama. Kalau lagi sakit, bawaannya ngenes banget. Apalagi kalo pas weekend di mana teman-teman kos yang rumahnya nggak jauh-jauh amat, banyak yang pulang kampong. Teman dekat nggak ada di tempat, aduuuuh pastilah sorangan merasa paling menderita di dunia. Baru kerasa kalau orang lain itu sangat berarti ya pas sakit dan seorang diri itu. Bangun ambil air putih aja rasanya nggak mampu. Badan serasa ditumpuki bebatuan. Apalagi harus beli makan keluar kos. Mau bikin mi sendiri berdiri aja lemes, ah pokoknya nggak asik banget deh musuh yang satu ini (sapa suruh sakit ya?). Namanya juga lagi dapet kesempatan ‘istimewa’ ngrasain nikmatnya sehat, sekali waktu anak kos pasti sakit. Dan itu saya alamai beberapa kali, belum lama ini juga saya kena diare di kos. Wah nggak tanggung-tanggung saya ngitungnya ada 7 kali bolak-balik ke kamar mandi. Pas hari libur pula. Waktu itu liburnya hari kamis, jelas Jumatnya harpitnas jadi teman-teman kos banyak yang mudik long weekend. Sekali dua kali ke kamar mandi sih masih bisa bertahan. Eh ,masuk level 4 ke atas, barulah terasa tubuh seperti limbung. Dengan kekuatan penuh saya pompa sedikit sisa tenaga untuk hunting makan siang yang dipaksakan masuk mulut kalo nggak mau pingsan karena kelaparan.
Yah begitulah, boleh deh tanyakan pada anak kos yang lain apakah dua musuh besar saya itu juga jadi musuh mereka juga. Sapa tau ada benarnya, yoi nggak Sob ?

Friday, January 11, 2008

Malam Natal & Tahun Baru Pertama Bersama Eyo


Halo, perkenalkan ini anak kami. Nggak kelihatan ya? Iya, karena usianya baru 5 bulan pas Desember kemarin. Kami biasa memanggilnya Eyo, karena menurut perkiraan dokter, dia laki-laki. Nggak ada artinya apa-apa sih panggilan ini, Cuma dulu waktu ketauan hamil, sengaja manggilnya Eya/Eyo, tapi pas udah diperiksa kata bu dokternya cowok, sejak itu kami berdua memanggilnya Eyo. Eyo adalah hadiah natal dari Tuhan untuk saya dan suami. Bukannya 25 Desember ulang tahun Tuhan Yesus? Hehe…iya, Dialah yang berulang tahun, tapi justru Dia-lah yang selalu memberikan hadiah untuk saya. Dan tahun ini menjadi sangat istimewa karena saya bisa merayakan Natal, hari kelahiran-Nya tidak saja dengan mantan pacar yang sekarang menjadi suami saya, tetapi juga dengan Eyo.
Eyo sekarang sudah bisa nendang-nendang mama. Biasanya terjadi kalau saya sedang tiduran atau dalam keadaan tidak melakukan aktivitas apapun. Perut seperti terasa kedutan di sana-sini, kadang juga bermanuver jumpalitan keliling-keliling perut mama. Eyo juga sudah tahu kalau dipanggil namanya, atau kalau tangan saya usap-usapkan di perut sebelah kiri misalnya, maka Eyo akan merespon dengan menendang. Saya baru bisa merasakannya dengan kuat satu bulan terakhir. Sungguh luar biasa! Hadiah Natal istimewa dari Tuhan. Satu hal yang membuat saya terpana sendiri di depan kaca tiap hari adalah, melihat Eyo tumbuh semakin besar. Perut saya pun semakin membuncit. Ya Tuhan….ini adalah sesuatu yang lama saya angankan, apakah saya pun akan mengalaminya? Dan ternyata….ya, saya sedang mengalaminya. Terima kasih Tuhan. Selain itu, perubahan lainnya adalah tiap bangun dari tidur, saya memerlukan tenaga ekstra untuk beranjak dari tempat tidur dengan teknis tertentu tentunya karena kalau tidak maka saya tidak akan sukses bangun, mungkin malah nggelimpang ke belakang alias terkapar lagi, saking bobot badan bertambah. Hehe…kadang juga perut terasa kram, keras sekali dan kaki membengkak. Biasanya terjadi kalau saya terlalu lama berdiri. Itu adalah pertanda saya harus segera beristirahat. Begitulah secuplik gambaran perubahan fisik saya, beberapa kg lebih tambun tetapi mengasyikkan dan nikmat sekali.
Natal tahun ini memang berbeda, untuk saya. Meskipun ritualnya tetap sama, ke gereja, lalu makan bersama – kini bersama suami dan Eyo. Yang lain adalah, tahun ini keluarga besar saya tidak berkumpul merayakan bersama-sama. Agak sedih juga, karena Natal adalah momen pas yang selalu dipakai untuk bereuni anggota keluarga besar, namun karena masing-masing mempunyai jadwal untuk beracara sendiri, maka acara tahunan itu tidak terlaksana. Mudah-mudahan tahun yang akan datang.
Tahun ini pun, kami tidak bisa pulang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tempat kelahiran suami saya, karena kondisi saya yang sedang hamil, apalagi kami baru saja bertandang ke sana November lalu. Lebih baik, menabung saja hehe…sambil menyongsong hadirnya kado Natal hidup dari Tuhan ini. Kalau semua lancar, saya akan melahirkan bulan April 2008. Doakan yach!
Lumayan, libur akhir tahun saya agak panjang, 2 mingguan! Rasanya memang membosankan meniti jam-jam tanpa melakukan sesuatu. Paling-paling, saya mencoba memasak, yang standar saja seperti tumis-tumisan. Lalu, bermain game di komputer. Permainan yang sedang saya gemari adalah Luxor, mirip-mirip Zuma. Tapi ada satu level yang selalu gagal saya lewati, alhasil saya pun didera bosan dengan Luxor. Untunglah ada komputer, dan untunglah ada blog, jadi saya masih bisa bercuap-cuap lewat tulisan. Beberapa kali mengecek e-mail, sepi sekali. Mungkin orang masih menghabiskan liburan jadi malas berkirim kabar.
Oya, perayaan tahun baru kami juga agak beda karena dirayakan bertiga. Tepat jam 12 malam memasuki tanggal 1 Januari 2008, setelah suami melakukan ritual membunyikan mercon kembang api di luar rumah, kami lalu mengawali hari dengan makan pertama. Menunya B2 kecap, lalu kami tutup dengan doa ucapan syukur dan pengharapan di tahun depan. Pokoknya kami bertekad melestarikan kebiasaan ini kepada anak cucu kami nantinya, berapapun yang bisa berkumpul nanti.
Ehm…apa yang akan terjadi di tahun 2008? Akan banyak kejutan dan perubahan-perubahan yang bisa jadi sifatnya radikal pastinya, mudah-mudahan saya dan keluarga kecil saya ini mampu melewati fase-fase baru itu. Tuhan menolong kami……