Wednesday, December 19, 2007

Suatu Ketika Di Borneo Tengah


Selama seminggu saya berkesempatan untuk yang ketiga kalinya bertandang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Bedanya, dua kali kunjungan terdahulu, status saya masih single dan tujuan saya ke sana sekedar berlibur dan berkenalan dengan keluarga pacar saya. Tapi kali ini lain, saya ke sana ke rumah mertua, alias sudah tidak single lagi. Ya, Juli lalu saya sudah dipersunting (cieeeh) oleh seorang lelaki Dayak (lihat fotonya waktu manten, di atas). Waktu itu, kami menggelar syukuran pernikahan di Jogja. Nah, empat bulan kemudian, saya bergantian melakukan kunjungan ke tempat kelahiran suami saya untuk sebuah acara yang diberi nama Pakaja Menantu. Orang Jawa menyebutnya Ngunduh Mantu.
Pakaja Menantu memang serupa dengan Ngunduh Mantu. Pihak mempelai putri beserta keluarganya diundang keluarga mempelai pria. Di sana, digelar acara serupa seperti syukuran pernihakan, hanya lebih sederhana.
Dari Jogja, saya, suami, bapak & ibu serta kakak dan keponakan saya angkut semua, menggunakan jasa pesawat Mandala ke Banjarmasin. Sebenarnya ada penerbangan langsung ke Palangkaraya, tetapi harus via Jakarta dan tentu saja itu membutuhkan kocek lebih banyak. Itung-itung untuk menghemat, kami memilih via Banjarmasin. Tiba di Banjarmasin sudah gelap, kami harus transit semalam di sana. Dasar orang Jawa, begitu tiba waktunya makan malam, ada saja yang menjadi pergumulan. Jelas dibandingkan di Jawa, ongkos makan per kepala di sana 2 kali lipat lebih mahal. Kalau di Jawa (Jogja minimal) seorang bisa Rp 5000,- makan dengan telur plus air minum, di sana kami harus merogoh Rp 10.000-15.000. Di sana berasnya juga tidak sama seperti yang kita makan di Jawa. Beras di sana disebut beras Banjar, bentuknya kecil-kecil, kalau dimasak mudah ambyar (terpisah-pisah) tidak lengket seperti di sini. Sedikit banyak lidah kami harus menyesuaikan dengan makanan di sana yang umumnya bernuansa ikan-ikan dan daging. Teh manis yang disuguhkan pada makan malam di warung kaki lima malam itu, berasa seperti vanili (padahal teh ini buatan Jawa Timur, teh Golpara namanya). Lalu yang unik lagi, nasi goreng di sana warnanya merah muda, karena menggunakan saus yang warnanya lain tidak seperti yang umumnya dipakai di Jawa. Di sana jarang memakai kecap manis mungkin dan jarang ada kerupuk hehe.... Jadilah untuk makan malam itu nasi goreng dan pecel lele di kaki lima, kami habis Rp 60.000,- berempat. Hm....
Esok harinya menggunakan mobil kami menempuh jalan darat dari Banjarmasin menuju Palangka Raya. Perjalanan memakan waktu 3-4 jam. Awalnya dari Banjarmasin menuju Kapuas, jalanan masih kerap terasa terjal, banyak aspal bolong-bolong di tengah dan di pinggir. Mungkin karena sering dilewati truk bermuatan berat. Tetapi hal ini makin berkurang seiring mobil keluar dari perbatasan Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah itu. Jalanan mulai halus, beraspal tetapi bergelombang. Tak jarang, perut kami berdesir karena saking lajunya mobil melewati gelombang aspal yang tak kami sadari, berada di depan kami.
Sepanjang jalan hanya hamparan lahan tidur kami temui, lengkap dengan rerumputan liar dan ilalang, sesekali rumah-rumah berdiri dengan jarak yang amat jarang satu sama lain. Sejurus kemudian, kami melihat beberapa kompleks rumah berarsitektur Bali, dengan pura dan tempat sembahyang yang terletak di depan halaman rumah. Aha! Inilah tempat para transmigran asal pulau Dewata yang sudah bertahun-tahun merantau ke tanah Borneo, saya lupa mencatat apa nama daerah itu. Sangat mengagumkan, sekalipun sudah beranak pinak di situ, mereka tetap tidak meninggalkan jati diri dan budaya mereka sendiri. Serasa melewati Bali gitu, kalau berpotret di depan puranya, mungkin sudah disangka berlibur ke pulau Dewata.
Kami tidak melewati atau menemukan hutan dalam perjalanan kami. Entahlah di mana hutan itu persisnya. Kurang lebih dua jam meninggalkan Banjarmasin, kami tiba di Pulang Pisau. Di situ kami berhenti sebentar melepas penat duduk berjam-jam di mobil. Kebetulan ada rumah makan yang memang disediakan untuk pemberhentian travel dan biasa digunakan pengemudi kendaraan beristirahat setelah menempuh perjalanan. Di situ, ada orang berjualan buah-buahan seperti mangga dan pisang, keripik, jajanan lainnya adalah lemang (seperti ketan lemper tapi tidak diisi apapun, hanya ketan ini dibakar dalam batang bambu dan dibungkus daun pisang) rasanya gurih..., dan ...... bakso pentol! Betul! Jajanan ini sangat khas ditemukan di sana. Bisa ditebak, yang jual biasanya orang Jawa yang merantau ke sana. Bakso pentol yang akrab disapa Cilok di sini, di sana dihargai Rp 500 per bijinya. Jangan heran karena bukan sekedar tepung kanji, melainkan diisi dengan telur puyuh bulat-bulat (tidak separo atau seperempat), bentuknya pun lebih besar dari cilok-cilok yang dijual di Jawa. Cita rasanya juga agak lain, ada yang dicelup saos saja, ada juga penjual yang menyediakan kuah seperti kuah bakso biasanya itu. Saya membelanjakan uang Rp 6000,- untuk melahap bakso pentol tersebut. Yang berjualan pentol pun rata-rata mengendarai sepeda motor. Rupanya meskipun hanya berjualan pentol, para perantau itu secara ekonomi sudah mulai mapan. Dengan kerja kerasnya, mereka sukses menaikkan kelas bakso pentol menjadi makanan jajanan bagi tua muda di sana.
Dari Pulang Pisau, perjalanan dilanjutkan sekitar 1,5 jam hingga tiba di Palangkaraya. Dibandingkan 2-3 tahun lalu, kota ini tambah ramai saja. Ada satu mal berdiri megah di tepi bundaran besar. Namanya Palangkaraya Mal, biasa disebut PalMal. Meskpiun terbilang baru dibuka sekitar 2 tahun lalu, melihat volume kendaraan di parkiran serta lalu lalang orang di dalam, rasanya mal ini masih sepi pengunjung. Dari geliatnya, saya merasakan bahwa kota ini tengah dalam masa berkembang untuk tumbuh menjadi kota besar, apalagi di era otonomi daerah seperti sekarang ini.

Pakaja Menantu : Sebuah Penghormatan Bagi Sang Menantu
Acara Pakaja Menantu bagi masyarakat Dayak Ngaju khususnya, adalah sebuah acara dimana keluarga mempelai pria menyambut kehadiran anggota keluarga baru yakni menantu wanita. Acaranya diawali dengan penyambutan kedua mempelai pria dan wanita oleh orang tua atau yang dituakan dari pihak keluarga pria. Biasanya mereka sepasang orang tua, membawa kain yang lantas akan diselempangkan hingga kain itu mengerudungi kepala dan separuh badan kedua mempelai pria dan wanita. Sambil memegang ujung kain kanan dan kiri, masih berkerudungkan kain tersebut, kedua mempelai masuk ke dalam rumah mempelai pria, mulai dari serambi, ruang tengah, hingga ke dapurnya. Maknanya adalah memperkenalkan menantu wanita pada tempat kediaman keluarga mempelai pria dari muka hingga belakang rumah.
Pada kesempatan tersebut, dilakukan pula upacara Tampung Tawar, di mana orang tua atau pihak-pihak yang dituakan akan memberikan doa restu kepada kedua mempelai. Ritualnya sederhana saja, keduanya didudukan di atas lampit atau tikar dari rotan, sambil berselonjor dua kaki. Bahan ritual sudah dipersiapkan sebelumnya dalam wadah tertentu, terdiri dari segelas air wangi, beras, uang dan emas. Satu per satu orang tua memanjatkan doa sambil memercikkan air dari dalam gelas menggunakan daun pandan. Air dalam gelas itu sudah dicampur dengan minyak wangi. Maknanya adalah, harapan agar nama kita menjadi harum atau baik di mata orang. Setelah itu, mereka menaburkan beras dari ujung kaki hingga kepala kedua mempelai satu per satu, maknanya adalah kesejahteraan dan kemakmuran bagi mempelai berdua. Uang dan emas adalah lambang kekayaan atau hidup berkecukupan bagi mempelai. Upacaranya berlangsung sangat singkat.

Pesta Sebenar-benarnya
Kalau udah bertandang ke rumah suami di Palangkaraya, rasa-rasanya waktu terasa lambat berjalan. Bukan berarti saya tidak menikmati, khususnya bagi yang baru pertama kali berkunjung, seperti bapak dan ibu saya. Di sana, jam 5 pagi, matahari sudah bersinar cerah, sedangkan jam 6 sore sudah terasa seperti jam 8 malam. Hehe...jadi kalau tidak ada yang dilakukan, wah benar-benar meniti waktu. Biasanya di Jogja, jam 7 malam baru keluar makan malam, di sana jam segitu rasanya udah pengen tidur, saking terasa udah malam padahal masih jam 7.
Di sana pun, kalau ada acara kumpulan bersama keluarga besar atau mengundang tetangga, tak jarang keluarga tuan rumah memasak masakan istimewa dan berat. Seperti keluarga suami saya, untuk syukuran pakaja menantu ini, mereka menghidangkan masakan dari bahan daging ayam, ikan, babi dan anjing. Lalu, juhu atau sayurnya adalah sayur Singkah, yang bahannya dibuat dari umbi pohon kelapa sawit. Jadi pohon itu ditebang dan hanya diambil umbinya saja. Umbi itu lalu dipilih yang muda dan diiris-iris tipis. Bentuknya seperti rebung. Dimasak tidak dengan santan (jarang masakan di sana memakai santan), bumbunya pun sederhana, seperti bawang putih, bawang merah, lengkuas, sereh, kunyit. Sayur atau juhu ini khas dimasak pada pesta atau pertemuan besar.
Tak tanggung-tanggung, mereka lebih suka memasak atau mengolah sendiri masakan tersebut. Kalau perlu, membeli babi dan anjing hidup-hidup. Bahkan ikan pun dibersihkan sendiri, mereka tampak sangat cekatan menggarap bahan-bahan mentah ini dengan cepatnya. Mungkin karena sudah biasa memasak besar-besaran begitu, hingga rasanya saya sendiri kewalahan mau membantu yang mana? Akhirnya saya memilih yang ’aman-aman’ saja, seperti memotong bawang, memotong daging atau menyiapkan bumbu. Para wanita di sana, kalau sudah ngumpul selalu saja ada bahan pembicaraan yang kedengarannya tak putus-putus alias sambung menyambung. Nggak ada tuh suasana hening jeda, ada saja yang nyeletuk, kayaknya asyiiik banget. Apalagi saya belum terlalu bisa berbahasa Dayak, jadi ketika para ibu itu tengah asyik mengobrol dengan bahasa Dayak, lalu tertawa, saya terdiam saja. Pokoknya saya seperti hilang ditelan keramaian.
Tapi senang sekali bisa menghabiskan seminggu di sana di tengah keluarga suami. Bahasa memang kendala utama saya. Mudah-mudahan lain kali saya sudah lebih pintar berbahasa Dayak.

Thursday, September 27, 2007

Ngidam Valentino Rossi



Aneh juga ternyata. Dulu saya sering berpikir, kok bisa-bisanya wanita hamil punya keinginan macam-macam. Ah, dibuat-buat tuh kayaknya biar diperhatikan suaminya. Hehe...walhasil tahun-tahun pun berlalu, dan kini saya mendapat kesempatan itu. Saya hamil 3 bulan. Saya masih tidak terlalu yakin apa saya akan ngidam sesuatu, pengen makan aneh-aneh di jam-jam yang langka pula. Syukurlah hingga kini, saya tidak terlalu ngidam pengen makanan jenis tertentu, semua terlahap dengan sukses. Tetapi beberapa waktu belakangan saya jadi merasa seperti ada yang berubah. Bukan cuma badan yang sepertinya tambah melar, tetapi juga kegilaan saya melihat aksi seorang pembalap GP kenamaan Valentino Rossi.
Siapa sih nggak kenal dia? Mungkin cuma saya. Betul! Sebelum hamil ini, mana ngeh saya nonton motoGP, apalagi sosok Valentino Rossi. Padahal dia udah jadi juara dunia sampai 5 atau 7 kali? (hehe...nah lo, iya kan gak tau pastinya?). Baru sekarang ngeh dan tergila-gila? Alamak pliss deh....hehe...
Saya memang sering diajak nonton balapan suami, sejak masa pacaran dulu. Mulai dari balapan motor bebek di stadion sampai orang latihan gestrek (grass-track) di kampung gitu. Tapi saya tetep nggak ngeh balapan, cuma nemenin aja.
Semua itu berawal gara-gara mulai ikutan suami nonton GP di tivi. Soalnya gak ada lagi saluran lain yang ’diijinkan’ dilihat kalau remote udah di tangan suami, apalagi pas ada GP. Akhirnya sambil tiduran aja saya lihat sepintas lalu. Awalnya, bosen banget nih motor mutar-muter gak habis-habis. ”Berapa lap lagi pa?,” begitu tanya saya berulang-ulang pada suami. Kalau suami perhatikan betul racingnya, biasanya saya lebih suka mantengin wajah pembalapnya yang pas berlaga (biasanya) keliatan keren n cool abis dengan kacamata hitam itu.
Eh, pas giliran GP di Estoril Portugal, tentu suami tak absen mantengin tivi (Trans7). Mulai dari siaran 250CC, cuplikan siaran ulang 125CC, lalu tiba giliran 500CC atau GP itu. Mata saya mulai mengikuti gerak-gerik nomer 46, si Rossi yang beberapa waktu gak naik podium terus (berdasarkan info dari suami juga). ”Yah, Rossi kalah lagi nggak ya pa? Males ah nonton,” tanya saya. Saya lalu memejamkan mata dan tidur-tidur ayam di samping suami yang melototin tivi sambil tangan kanannya pegang remote erat-erat (biar gak diambil alih saya hehe...).
”Ma!Ma! Rossi ngejar ma, lihat tuh!!,” mendadak suami membangunkan saya. Entah mengapa, lantas saya bangun dan duduk, wuih Rossi tadinya di urutan agak belakang, mulai ngejar satu-satu tuh si ’Ducati’ Casey Stoner, ”Hah, ayo Rossi. Kamu bisa!! Ayo dong...,” sorak saya. Suami saya senyam-senyum. Jantung mulai deg-deg-an, takut Rossi jatuh. Sudah gitu, “Yes!! Rossi bisa ngejar Pedrosa di depannya, yes!! Ayo Rossi!!” Kala Rossi kembali dibalap Pedrosa, saya mulai gelisah, “Perasaan nggak gini-gini amat deh dulu,” celetuk suami saya. Saya mulai gelisah, antara takut Rossi kebalap Stoner di belakangnya dan kemungkinan dia bisa jatuh. Aduh! Karena tak tahan, saya keluar dari kamar tv dan menghela napas di ruangan lain, ”Pa, aku nggak nonton aja deh. Nggak tega lihat Rossi.”
Beberapa menit kemudian, suami berteriak, ”Ma, sini ma. Ini Rossi di depan lagi. Ma!” Saya tak bergeming dari kursi, ”Ogah ah, aku mau lihat dia pas udah menang aja.” Tak saya sangka, suami menghampiri saya dan membujuk untuk lihat lagi. Akhirnya saya pun lihat lagi perjuangan Rossi. Leganya, akhirnya Rossi menang!
Nah, mulai dari situ saya lantas tergila-gila Rossi. Saya mulai mencari informasi tentang Rossi di internet, foto-fotonya, kisah-kisahnya, halaman olahraga di koran yang biasanya saya cuekin, kalau ada info GP langsung saya baca. Buku otobiografi tentang dia yang biasanya juga cuma saya lewati selayang pandang di toko buku, kini saya bertekad akan membelinya! Sekarang, saya lebih cerewet memberitahu kabar perkembangan Rossi & jadwal pertandingan GP pada suami saya hehe...
Saya tak lagi ingin ketinggalan menonton balapan GP lainnya termasuk yang di Jepang. Pada balapan di Jepang itu, Rossi memang kalah. Saya sempat sedih bukan kepalang apalagi saya sudah gembira melihat dia di posisi pertama, hanya karena dia harus ganti ban kering dia jadi ketinggalan jauh di posisi 14. Juara dunia dipegang Casey Stoner. Tapi, saya tidak surut menggilainya. Pokoknya Rossi is the best ever! (aneh …padahal baru beberapa kali serius lihat GP). Apalagi pas Rossi dengan sangat sportifnya mengakui kehebatan Stoner yang lebih muda 7 tahun darinya. ”Inilah balapan. Selamat pada Casey. Jika ada pembalap lain yang menjadi juara dunia, saya bangga orang itu adalah fans saya,” katanya. Memang Stoner adalah fans berat Rossi dan pada kemenangannya sebagai juara dunia itu, Stoner mendedikasikan kemenangannya pada Rossi, idolanya. Hiks...mengharukan.
Balapan selanjutnya di Australia, terus di Sepang Malaysia. Sampai-sampai berangan-angan andai bisa ke Sepang …… “Udah nak, kita nonton orang-orang latihan grass track dulu di desa sebelah ya. Kalau mau ketemu Rossi, kita harus dari nol dulu. Hehe…,” ucap saya bergurau pada anak saya di dalam perut. Nggak peduli ah, mau menang atau kalah Rossi tetap ”The Doctor” who can heal his million of fans with his charismatic figur. Viva Valentino!!!

Tuesday, September 4, 2007

ANAK PENJAJA TOPENG MONYET

Sore itu, hujan rintik-rintik di luar sana. Kuambil secangkir teh yang dibuat Karlina, istriku. Sambil memandangi kaca jendela yang makin buram oleh air hujan, aku menikmati kehangatan teh sambil membaui uap yang keluar dari cangkir itu. Hmm… kental dan terasa agak pahit. Aku gemar minum teh kental, diseduh dengan air panas yang barusan mendidih. Bagiku rasanya melebihi jenis minuman apapun. Entah mengapa aroma teh itu tiba-tiba mengingatkanku pada masa lalu.

***

“Bagus pergi ke pasar!” Dung-dung-dung…. teriak bapak di tengah kerumunan anak-anak kecil. Bagus berjalan memutar sambil membawa payung dan keranjang kecil. Bapak mengarahkan gerakan Bagus memutar ke kanan dan ke kiri, kadang menghampiri anak-anak di dekatnya lalu terdengarlah teriakan mereka karena ketakutan. Dan aku, tugasku adalah memukul kendang untuk mengiringi pertunjukan topeng monyet bapak. Aku memang tidak setiap hari menemaninya keluar masuk gang-gang sempit di kota Yogyakarta untuk menghibur anak-anak itu. Hanya pada hari libur saja aku kadang ikut bapak.
Itulah jalan yang ditempuh bapak demi menghidupi ketiga anaknya. Aku, Fajar, anak paling tua, Tami adikku nomer dua dan Hadi si bungsu. Ibuku, seorang kuli gendong di pasar Beringharjo.
Sebelum menjadi penjaja topeng monyet, bapak pernah menjadi kuli gendong, tetapi sakit ambeien memaksanya berhenti mengerjakan profesi yang memerlukan tenaga ekstra itu. Ia pun bekerja serabutan. Menjadi tukang kebun, membantu tetangga mengecat rumah atau membersihkan rumput di rumah mereka, hingga membantu Koh Aseng yang punya toko besi. Namun karena penyakitnya itu, ia tidak mampu melakukan pekerjaan berat seperti mengangkut barang, bapak hanya melayani pembeli.
Kami bertiga besar dalam kondisi yang amat bersahaja. Ibu sering memasak telur dadar untuk sarapan pagi kami semua. Untuk menghemat, biasanya ibu menambahkan tepung terigu agar telur itu mengembang besar dan bisa dibagi lima. Dengan pelengkap sebotol kecap dan kerupuk, menu itu terasa nikmat. Kalau ada rejeki lebih, biasanya bapak membelikan bakmi goreng dengan tambahan balungan ayam di dalamnya untuk makan malam.
Ibu menjalani profesi buruh gendong hingga suatu hari sebuah truk menyenggol karung goni yang dipanggulnya dan ia terpelanting diterima motor berkecepatan tinggi. Kaki kanannya patah. Sejak itu ia sering merasa kesemutan dan ngilu bila berdiri terlalu lama, apalagi dengan beban di punggungnya. Ibu pun terpaksa berhenti menjadi buruh gendong dan menjadi buruh cuci piring di sebuah warung makan padang yang tak besar.
Sebagai anak sulung, aku merasa bertanggung jawab atas adik-adikku. Bapak dan ibu selalu berpesan apapun yang terjadi kami harus terus sekolah. Syukurlah, sekolah memberikan subsidi untuk Tami dan aku khususnya uang buku dan SPP. Demi membantu bapak menopang keluarga, aku pun menjajal berjualan di atas bis antar kota. Titipan dari distributor seperti permen, snack, batere, mainan, sampai kaos kaki pernah aku jualkan. Sepulang sekolah, aku siap di terminal dan menjajakan dagangan dari bis ke bis.
Suatu hari seorang kawan bapak menawarkan seekor monyet bersama perlengkapan topeng monyet –sebuah kotak dorong dan aksesoris si monyet– pada bapak. Entah bagaimana caranya, monyet dan perlengkapannya itu bisa jatuh ke tangannya dengan harga Rp 100.000,-
“ Koh Aseng yang bantu bayar separo,” kata bapak sambil tersenyum.
“ Apa bapak tahu cara mengendalikan monyet itu. Tami dan Hadi saja menjerit-jerit begitu bapak pulang membawa monyet itu,” tanyaku.
“ Si Bagus maksudmu, Le? Dia sudah jinak, asal kita rawat dan beri makan teratur. Lagipula pak Gatot teman bapak yang punya Bagus itu mau melatih bapak,” ujarnya bangga.
“ Jadi bapak akan menjadi tukang topeng monyet? Nggak kerja di Koh Aseng lagi?,” tanyaku menyelidiki.
“ Koh Aseng orang baik tapi rasanya bapak tidak banyak membantu di tokonya. Mau angkut-angkut takut penyakit bapak kambuh dan malah jadi beban orang lagi. Kalau tukang topeng monyet kan tinggal dorong kotaknya saja,” kembali bapak menjelaskan.
Aku terdiam sejenak. Aku merasa tidak siap mempunyai bapak berprofesi tukang topeng monyet. Aku membayangkan bagaimana tanggapan teman-teman di sekolahku, mereka pasti akan mengejek, aku tak kan punya teman. Bagaimana dengan Tami adikku, dia juga pasti akan diejek temannya.
Seakan tahu bahasa tubuhku, ayah menepuk bahuku sambil berkata, “ Le, kamu jangan malu punya orang tua seperti bapak. Ini bapak lakukan untuk menyekolahkan kamu. Ingat Le, apapun nanti yang terjadi yang penting ini dan ini,” jelasnya sambil menunjuk kepala dan dadanya.
“ Pikiran dan hatimu harus seluas samudera. Kamu harus berjiwa besar. Terimalah segala pernyataan dan sikap orang lain yang tidak menyukaimu atau mengejekmu dengan keikhlasan dan biarkan itu tenggelam oleh maafmu. Nanti kamu akan merasa legowo, bebas melangkah,” pesan ayah sambil berjalan menarik rantai Bagus, ia telah menjawab tanyaku tentang kepala dan dada yang ditunjuknya.
Maka ayah yang sudah beralih profesi itu mulai bergerilya dari satu gang ke gang lainnya sambil memukul kendangnya. Sekali pentas, ia menarik ongkos hanya Rp 3000 – 5000. Kalau sedang ramai lumayan uang yang diperolehnya. Demi menghemat, ibu tak jarang membekali nasi bungkus dan sebotol teh manis untuk makan siang bapak. Tapi sering juga bapak hanya membawa pulang uang Rp 5000 karena sepi. Pernah suatu hari ketika menjajakan makanan di atas bis, aku memergoki bapak tertidur di kursi penumpang paling belakang dengan kotak topeng monyetnya berisi Bagus. Rupanya demi sesuap nasi ia harus menjelajah seluruh wilayah. Aku tak tahan melihatnya, demi mencegah air mataku tak jatuh, aku segera turun dan pindah ke bis lain.
Dan seperti yang kuduga sebelumnya, teman-teman mulai menyadari aku anak si tukang topeng monyet. Tak jarang ada yang sengaja berjalan di depanku sambil menyuarakan “Dung..dung...dung kamu nggak pergi ke pasar Jar?” Telingaku meradang mendengarnya. Ingin kutinju mulut mereka kalau saja aku tak ingat pesan bapak. Suatu siang Tami terbirit pulang sambil menangis. Katanya dia baru saja diejek temannya. Ketika sedang berjalan pulang temannya berkata, “Eh...ada monyet lagi jalan sendiri!” Mendengar cerita dari kami sepulang kerja, bapak berdesah keras. Setelah menyeruput teh nasgitel buatan ibu, ia beranjak ke kamar mandi. Bapak mengusap kepalaku dan menunjuk kepala dan dadanya lagi. Aku ingat apa artinya. Berjiwa besar.
***

Selama beberapa tahun lamanya, keringat bapak dan ibu membuahkan hasil. Dari jerih payahnya, ibu bisa membuat warung kecil-kecilan menjajakan gorengan. Aku bisa tamat STM, Tami sekolah perawat dan Hadi bisa melanjutkan SMU. Setamat STM, aku tidak serta merta bisa bekerja. Aku harus keluar masuk perusahaan kecil menjadi pegawai paruh waktu, sebelum akhirnya diterima di sebuah perusahaan otomotif besar di Jakarta. Aku menjadi karyawan bagian assembly atau perakitan piranti motor. Awalnya, gajiku hanya cukup untuk menyewa kamar kos, makan dan transport.
Dulu aku sempat ragu beranjak ke Jakarta. Tetapi bapak mendorongku,“ Pergilah sejauh mungkin. Hidupmu pasti akan berubah, hanya hati-hatilah dan ingatlah ini...dan ini,” itu pesannya yang kesekian kali sambil menunjuk kepala dan dadanya. Demikianlah, bagiku bapak bukan penjaja topeng monyet biasa. Dia adalah motivator terhebat yang kumiliki. Pesan itu terpatri dalam hatiku. Aku dan adik-adikku harus menjadi orang yang berjiwa besar dan berpikir luas hingga keadaan tidak akan membuat kami berkecil hati dan enggan untuk melangkah meraih masa depan kami masing-masing.

***

Lambat laun waktu membawaku pada perubahan itu. Kini aku sudah menjadi supervisor dan memiliki seorang istri bernama Karlina. Kami tinggal di rumah yang kubeli sedikit demi sedikit dari gaji kami berdua. Karlina adalah seorang guru TK. Lima tahun menikah kami belum dikaruniai anak. Kami menerima kenyataan ini dengan berbesar hati seperti pesan bapak.
Hujan masih saja membuat kaca yang kupandangi kabur, tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Aku tak kuasa menahan air mata keluar dari pelupuk mataku. Aku menunduk sambil memandangi cangkir teh yang sudah separuh kosong.
“ Ada apa mas? Kenapa menangis?,” tanya istriku memergokiku.
“ Aku hanya ingat bapak. Aku menyesal tidak ada di sana ketika gempa merenggut nyawanya,” jawabku terbata sambil berusaha tenang. Pikirku menerawang lagi.

***

Kala itu Sabtu, 27 Mei 2006. Pagi-pagi benar aku masih bermalas-malas tidur waktu istriku menggoncang tubuhku dan mengabari bahwa Jogja dilanda gempa berkekuatan 5,9 SR. Rumahku termasuk berada di wilayah terparah. Kami coba menghubungi handphone Tami dan mengirim sms tetapi tidak bisa. Berita di televisi semakin membuatku panik hingga kuputuskan untuk pulang hari itu juga.
Kakiku melemah kala senja itu kupijakkan kaki ke gang menuju rumah bapak. Rumah-rumah telah rata hancur. Makin lemas ketika kulihat bendera putih di depan gang rumah Bapak. Diiringi guyuran hujan kulihat sebuah meja di pelataran beratapkan terpal yang sudah melengkung karena menahan air hujan, di atasnya terbujur sesosok yang entah siapa. Bapak? Ibu? Achh tidak! Aku lari dan membuka penutupnya.
“Bapak!,” tubuhku terguncang-guncang oleh tangisku. “Maafkan Fajar....baru memelukmu kali ini, seandainya bapak dan ibu mau tinggal bersama kami di Jakarta,” kataku tercekat di dekat telinganya. Wajahnya lebam dan luka memenuhi kepalanya. Kulihat rumah bapak sudah rubuh. Hatiku tersayat. Hadi menghampiri dan menenangkanku.
“ Hadi, dimana ibu?,” tanyaku padanya sambil memapahku duduk di bawah terpal yang bocor sana-sini. Aku paham kenapa jasad bapak hanya dibiarkan di pelataran. Kala itu tak ada seorang pun berani berlama-lama di dalam rumah. Gempa itu membuat orang trauma, apalagi malam itu listrik masih padam dan hujan turun dengan derasnya. Aku pasrah.
“ Ibu masih di rumah sakit. Mbak Tami yang menungguinya. Alhamdulilah, ibu hanya luka ringan. Tetapi beliau masih shock kehilangan bapak, mas,” jelas Hadi sambil membawakan teh hangat.
Ia melanjutkan, “Pagi tadi ibu baru melangkah keluar akan ke pasar. Tiba-tiba gempa terjadi dan semua begitu cepat. Kata ibu, bapak sedang selesai mandi dan sedang bersenda gurau dengan si Bagus”
Aku menengok pada Hadi ketika ia menyebut Bagus.
“ Iya, bapak masih keliling dengan Bagus. Terakhir mas Fajar menengok bapak waktu lebaran itu, bapak sengaja menitipkan Bagus ke Koh Aseng biar mas Fajar nggak lihat bapak masih nopeng monyet. Kami nggak bisa melarang, mas. Sepertinya bapak sudah tidak bisa lepas dari Bagus begitu juga Bagus. Dia juga mati seketika tadi pagi, tertindih tembok bersama bapak,” Hadi menunduk.
“ Maafkan Hadi mas, malam sebelumnya Hadi menginap di rumah teman di kota. Hadi juga menyesal tidak bisa menyelamatkan bapak,” air mata meleleh di pelupuk Hadi.
Aku tergetar mendengar kesaksian Hadi. Bagaimana mungkin semua ini ditutup rapi oleh bapak. Aku sudah melarang bapak keliling membawa Bagus. Ternyata ia masih curi-curi kesempatan untuk menjajakan topeng monyet itu. Tapi dalam hati kecilku, aku mengaguminya.
Sebelum dimakamkan, aku sekali lagi menyempatkan melihat bapak. Aku melihat wajahnya sekalipun lebam, tetapi terlihat tentram seperti orang yang sedang tidur. Ia legowo, ikhlas menerima semuanya. Kemiskinan tidak membuatnya berkecil hati untuk terus berusaha, kini setelah semua harapan bagi kami bertiga terwujud, bapak harus meninggal dengan cara yang mengenaskan.
“ Kamu harus berbesar hati menerima kenyataan hidup,” aku membayangkan bapak mengatakannya di depanku.
“ Bahkan kematian pun tidak meniadakan kebesaran jiwamu,” batinku, mataku tertuju pada sebuah kotak biru yang catnya sudah mengelupas di sana sini. Kotak itu tergencet tembok dan besi. Aku bisa melihat kendang yang dulu kumainkan bersama bapak mengiringi Bagus. (*)

Handphone

Sebenarnya, aku masih belum rela melepaskan kepergianmu. I miss you much...

“Tolong kasih penjelasan yang masuk akal padaku, siapa sebenarnya Yona? Apa artinya ini?,” begitu tanya Theo pacarku selama 5 tahun yang kini jadi tunanganku dengan geramnya pada suatu kali memergoki sebuah sms dalam handphone-ku.
Kali lain, dia bilang, “Aku berhak dong merasa cemburu. Jangan menebar harapan pada setiap lelaki yang mengenalmu.”
“Tenang Theo, jangan emosi. Yona itu rekan baruku. Biasalah, itu percakapan rubish. Aku nggak anggap serius,” aku coba menerangkan ketika Theo menginterogasiku. Waktu itu, aku lupa menghapus pesan yang bernada ‘rayuan gombal’ dari Yona, mitra kerjaku di Surabaya.
Walau sebenarnya alasan yang kuberikan juga itu bohong. Aku tidak mau menyakiti hati Theo. Aku cuma lupa menghapus pesan Yona. Itu saja yang kuanggap sebagai kesalahan besar hingga membawa kami pada pembahasan tentang Yona setiap aku dan Theo bertemu.
“ Apa Yona masih sms kamu? Jangan bohong,” Theo memohon padaku sambil merebut hanphoneku. Dia mulai mengutak-atik kotak surat di dalamnya.
“ Fuh...untung kali ini aku tidak lupa menghapus jejak,” batinku.
“ Tidak. Aku tidak bohong. Jangan seperti anak kecil deh,” aku selalu dibakar rasa marah setiap kali Theo coba menyelidiki.
Aku sadar resiko ini. Berbohong bahwa aku tak pernah menganggap sms Yona berarti. Sedari awal sudah aku sadari. Tapi entah kenapa aku menikmatinya. Mungkin aku sedang merasa jenuh. Jenuh karena hubungan yang sudah terlampau lama. Bosan dengan Theo yang amat baik padaku. Bosan yang aneh, karena tidak ada yang salah dengan Theo dan hubungan kami.
Aku dan Yona, setahun terakhir berhubungan. Yona bekerja pada mitra perusahaan di Surabaya. Kami bertemu di sebuah acara gathering. Setelah dua kali bertemu, barulah kami sering berkirim pesan melalui handphone. Awalnya rasa itu tidak ada sama sekali, tetapi gaya Yona yang smart dan gentle itu menumbuhkan rasa suka dalam hatiku. Pada awal perkenalan kami, Yona sudah kuberi tahu bahwa aku bertunangan dengan Theo, tetapi kenyataan itu tidak menyurutkannya menaruh perhatian kapadaku. Beberapa kali sms-nya berisi kalimat yang menggoda perasaanku.
Maukah kamu kalau aku menunggumu? Sms Yona kubaca suatu kali ketika sedang menunggu pesawat di bandara Juanda untuk kembali ke Jakarta. Seketika itu juga hatiku berdegup kencang, perasaan aneh yang tidak pernah lagi kurasakan selama 5 tahun terakhir. Perasaan seperti jatuh cinta lagi. Keringat dingin membasahi tanganku dan aku bingung mencari kata untuk membalasnya. Pikiranku berkecamuk saat itu, terus terang aku memang jatuh cinta lagi pada pria bernama Yona, tetapi aku tidak mungkin memalingkan perasaan dari orang yang amat mengasihiku selama ini.
Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, kemudian jari kananku dengan gemetar memilih huruf demi huruf.
“Jangan menungguku, aku pasti akan mengecewakanmu, “ begitu bunyinya. Setengah tak percaya kubaca ulang kalimat itu. Benarkah? Aku bertanya dalam hati sekali lagi. Tetapi jariku memencet tombol send. “Ufh...aku telah melewatkannya,” batinku sambil menghapus pesan dari Yona itu dari handphone-ku.

******
Demi meredam ketegangan antara aku dan Theo tiap kali bertemu, aku berpesan pada Yona untuk mengirim sms hanya pada jam-jam kerja dan tengah malam. Karena saat-saat itulah, aku dan Theo tidak bertemu. Yona menyanggupi, tetapi dalam hati aku merasa bersalah karena rasa-rasanya Yona hanya menjadi pelarian perasaan bosanku pada Theo. Meski sebenarnya, ingin rasanya aku tega untuk meninggalkan Theo dan menjadi kekasih Yona, seperti yang diharapkannya. Begitupun sebaliknya aku merasa bersalah karena secara diam-diam aku telah berselingkuh perasaan dari Theo.
Aku tak mengerti mengapa saat bersama Theo, aku kangen pada Yona. Bahkan pernah, ketika sedang jalan bareng Theo, aku minta ijin menelepon Yona. Aku pura-pura beralasan urgent menelepon Yona karena urusan perusahaan. Padahal aku melakukannya karena rindu mendengar suaranya. Theo mengijinkan! Saat itu Theo belum berprasangka buruk terhadap Yona. Begitulah setiap hari, separuh otakku hanya memikirkan Yona.
Suatu malam, handhponeku berbunyi, kubaca identitas peneleponnya Yona. Biasanya Yona hanya missed call, begitu kuangkat dia mematikannya. Kali ini aku sengaja langsung angkat HP.
“Halo!,” lalu aku diam. Tetapi kali ini lain, Yona tidak menutupnya.
Dari seberang kudengar ia membalas ucap, “Hai...met malam. Lagi apa? Aku kangen banget sama kamu. Gimana kabarmu?”
“ Ehm.. eh..aku baik-baik aja. Lagi baca buku. Kamu ngapain?,” aku mencoba menutupi kegugupanku.
“ Aku lagi nelpon. He..he... aku mau ngabarin aja kalau mulai bulan depan aku dimutasi ke Balikpapan. Jauh ya?,” ujarnya tanpa ngalor-ngidul.
“ Oya? Hm.. jauh dari apa dan siapa. Yaa, kalau itu baik buat masa depan karirmu, kenapa tidak?,” ucapku sok memberi semangat. Bagiku toh sama saja, Yona di Surabaya dan Yona di Balikpapan. Yang membuat kami ‘dekat’ selama setahun terakhir hanya Handphone.
“ Makin jauh dari kamu lah. Ya udah deh, aku cuma mau ngasih tahu itu,” Yona seperti hampir menyudahi pembicaraan.
“ Jangan tutup teleponmu Yona,” pintaku dalam hati.
Yona memang bukan pria yang suka berlama-lama ngobrol, tapi pada setiap pembicaraan baik ketika langsung bertemu maupun hanya tersirat melalui sms, selalu meninggalkan kesan dalam hatiku. Yona, pria yang simpatik. Mengingat jawaban yang pernah kuberikan padanya saat dia mengharapkan hatiku, aku tahu Yona pria yang menghormati keputusanku. Dia tidak memaksakan kehendaknya sekalipun aku tahu betul dia amat mengharapkan diriku.
“ Mey, aku suka sekali sama kamu. Tapi cuma bisa di hati aja ya?,” katanya lagi.
“ Duh... Yon, jangan bikin aku nangis dong. Ehm, kuakui sebenarnya perasaanku nggak jauh beda sama kamu kok. Tapi kamu tahu keadaanku saat ini tidak memungkinkanku memilih. Biarlah perasaan ini jadi rahasia kita berdua ya.,” jelasku memberi pengakuan sambil menahan kelu di tenggorokan.
“ Oke, kucoba ya. He..he.. oke met bobok. Sampai jumpa,” Yona benar-benar menyudahi pembicaraan kami.
Aku tertegun sebentar. Lalu mengijinkan air mataku tumpah. Yona...Theo...oh...Tuhan, manakah yang harus kupilih?
****
Itulah kali terakhir Yona meneleponku. Sejak itu ia tak lagi berkirim kabar lewat sms pada jam-jam istimewa yang kucanangkan padanya. Aku coba tidak gegabah mengirimkan sms sekedar bertanya apa kabar. Selain gengsi juga, aku tahu pasti itu akan kembali mengoyak perasaan kami berdua.
Pikiranku masih teguh memegang janji untuk tidak meninggalkan Theo. Dia amat baik kepadaku. Meskpiun setiap kami bertemu, satu hal yang segera ia lakukan adalah menscreening handphoneku. Kalau-kalau masih ada jejak percakapan atau sms antara Yona dan aku. Aku selalu berhasil mengelabuhi Theo, aku selalu meyakinkannya bahwa tidak ada lagi komunikasi lagi antara aku dan Yona. Kali ini kenyataannya memang betul. Padahal sebenarnya aku ingin berkata jujur, “Theo, kamu baik sekali padaku. Bisakah kita sudahi hubungan kita selama ini?” Hanya orang gila yang tega melakukannya. Oh..andai bisa....tidak, aku tidak mungkin setega itu!
“May, aku hanya punya usaha kecil. Di luar sana memang banyak lelaki yang lebih baik posisinya. Aku tahu kamu bisa lepas dariku. Aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Asal aku bisa melihatmu bahagia, itu sudah cukup bagiku,” tiba-tiba saja barisan kalimat yang tak biasa kudengar itu meluncur dengan lancarnya dari mulut tunanganku, Theo. Ia mengatakannya sambil berkaca-kaca.
Kamu pikir aku cewek matre? Aku cuma bosan. Itu saja, aku nggak punya penjelasan kenapa! “Theo, kenapa kamu tanyakan itu? Kamu tahu kita akan menikah tahun depan,” balasku sambil masih saja dalam hati aku setengah gembira membayangkan bahwa aku diijinkan untuk memutuskan hubungan kami oleh Theo sendiri! Kenapa Theo menanyakannya? Adakah ia tahu bahasa tubuhku yang sedang ingin berpisah dengannya? Ataukah dia pernah menghubungi Yona dan menanyakan keadaan yang sebenarnya? Oh...kepalaku berputar cepat untuk mencari jawaban itu.
“Mungkin Yona lebih baik buatmu,” penjelasan berikutnya seperti ketapel mengenai ulu hatiku. Adakah Theo tahu aku sedang jatuh cinta lagi pada orang lain bernama Yona? Daripada aku bicara dalam keadaan kalut sekedar mencoba meluruskan yang sebenarnya, aku memilih diam. Karena aku juga tidak yakin apakah hatiku akan berkata jujur untuk menerangkan yang sebenarnya pada Theo.
Sejak pernyataan Theo itu, aku jadi berpikir keras. Perasaan bersalah menyelimuti hatiku. Tidak hanya kepada Theo, karena aku telah mengkhianati komitmen kami karena alasan bosan yang aneh itu, tetapi juga kepada Yona. Mengapa jujur kuutarakan perasaan pada Yona waktu itu? Bukankah dengan begitu aku memberinya harapan? Mengapa dulu aku tidak menghindarinya sehingga dengan jelas Yona tahu cintanya bertepuk sebelah tangan?
Hari-hari berlalu tanpa sms dari Theo lagi. Sekalinya bersms, ia hanya memberi tahuku tak bisa menjemputku lagi. Tanpa Theo aku merasakan keanehan yang merasuk hatiku. Perasaan antara lega dan takut. Lega karena memang ini yang kuinginkan, putus dari Theo (dan menerima Yona) tetapi anehnya aku juga masih takut kehilangan Theo, mengingat apa yang sudah kami lalui selama ini. Ah, apakah aku memang perempuan paling plin-plan di dunia ini?
Tanpa kuduga, suatu hari Theo menjemputku dan mengajakku makan malam di restoran favorit kami. Inilah saat yang tepat aku memberinya penjelasan, batinku. Biasanya Theo hanya perlu beberapa hari untuk meredakan emosinya dan memaafkan kesalahanku. Anehnya, mulutku tak juga segera membuka untuk sekedar minta maaf dan ingin kembali melanjutkan hubungan kami hingga menikah kelak. Theo justru memesan makanan favorit kami dan kami makan hingga selesai tanpa sepatah kata pun. Aneh...
“ May, aku ingin mengatakan sesuatu,” Theo membuka percakapan sambil meluruskan posisi duduknya.
“Lebih baik kita sudahi saja hubungan kita ini. Aku tidak ingin memaksamu mencintaiku dan mengorbankan perasaanmu yang sebenarnya. Aku rela May, kamu harus bahagia.”
Apa lagi ini? Kepalaku seakan ditinju, pening rasanya untuk meyakinkan diriku bahwa Theo betul-betul memutuskan aku! Dia mengatakannya sambil mengembalikan cincin pertunangan kami yang tersemat di jari manisnya. Aku ingin berteriak tidak! Tetapi aku hanya bisa tertegun sambil melelehkan air mata. Kudengar Theo hanya menarik napas panjang dan dia pergi meninggalkan aku sendiri. Ya sendiri.... “May yang bodoh! Malapetaka ini hanya disebabkan oleh May seorang!,” aku mengumpat diriku sendiri berulang-ulang.
Beberapa hari aku menyesali diri. Theo, kini tak lagi menjadi tunanganku. Kini aku sendiri. Bukankah itu yang kuinginkan? Apa lagi? Oya, Yona! Pria itu kembali muncul di benakku. Yona, sekarang aku sendiri. Sekarang aku bisa mengatakan Ya pada kamu. Tapi bagaimana caranya?
Setelah menimbang-nimbang, menyingkirkan segala gengsiku, aku beranikan diri mengambil handphoneku. “Aku akan meneleponnya sekarang,” ujarku mantap dalam hati.
Kupencet 12 digit nomor handphone Yona. Aku sudah bayangkan suaranya. “Maaf. Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar.” Begitu jawaban yang kuperoleh. Kucoba lagi, lagi dan lagi. Tetap saja jawabnya sama. Wahai Yona, dimanakah kamu? Aku mulai gelisah. Setiap kali kucek handphone adakah Yona menelepon atau mengirim selarik sms. Tapi itu tak kunjung terjadi, hingga berbulan-bulan lamanya. Mungkinkah nomer Yona sudah ganti? Aku berharap bisa menemukan jawabnya.
“ Tau rasa kini kau, May. Theo meninggalkanmu, Yona pun tak kau ketahui rimbanya. Ketika kau bimbang memilih di antara keduanya, kau justru kehilangan dua-duanya!” kata hatiku mengomeli diriku sendiri. Ya, air mataku membanjir. Kini aku benar-benar sendiri. Hanya handphoneku itu kupandangi, sambil terus berharap, Yona...meneleponlah... (*)

Sunday, August 26, 2007

Ladies….It’s The Baby Inside!

Oh my God….beneran nih?
Itulah kalimat pertama yang terluncur manakala mata saya melototin sebuah test pack. Ya, saya hamil!! Secepat itukah? Ya! Kalau Anda membaca tulisan saya yang terdahulu (2 SR Pasca Pernikahan), saya menceritakan bagaimana tidak menentunya kondisi emosional saya waktu itu. Hm….ternyata ada penyebab yang tidak bisa diabaikan menurut saya. Mungkin memang janin dalam perut saya sedang mencoba berkomunikasi, mengatakan, “Mama, papa, aku udah di sini lho…. Ayo dong perhatiin ma, jangan capek-capek kerjanya. Papa juga ya, jangan sibuk-sibuk amat sampai lupa tanya kabarku.” Hehe....mungkin ia coba menggedor-gedor pintu rahim saya agar mamanya ini tahu ada seseorang di dalam sana.
Ya, begitulah. Gara-gara saya tidak peka terhadap kondisi kehamilan saya yang masih amat muda ini, saya mengalami flek. Sekali lagi, karena ketidakpekaan, saya masih berpikir flek itu adalah menstruasi saya. Sebenarnya saya agak curiga awalnya, karena saya memang telat datang bulan. Tetapi itu saya anggap sebagai perubahan hormonal yang wajar terjadi pada wanita pasca menikah, apalagi kondisi emosi saya waktu itu amat sangat naik turun. Saya pikir waktu bercak kecoklatan itu terjadi, saya dapat haid yang siklusnya berubah. Yang menjadi aneh adalah ketika saya sadari bahwa ‘haid’ saya itu berlangsung seminggu lebih. Wah, ini tidak beres pasti ada sesuatu yang terjadi.
Lalu, iseng-iseng saya beli test pack, dua buah sekaligus beda merk. Yang satu mahal diklaim 99% akurat, yang lain lebih murah jadi saya pikir ada perbandingan lah. Dua kali test, saya terkejut karena semua menunjukkan dua garis alias positif. “Lalu, apakah bercak kecoklatan itu?,” saya jadi merinding. Akhirnya setelah memastikan ke dokter, terjawab sudah bahwa saya memang lagi berbadan dua.
Dokter mengatakan, bahwa bercak kecoklatan itu adalah flek, biasanya bisa terjadi di awal kehamilan, karena janin sedang berupaya menanamkan dirinya dalam rahim. Namun, ada kemungkinan lain yang saya mendadak takuti. Bisa jadi, flek pertanda bahaya terjadinya keguguran. Kemungkinan flek saya disebabkan kecapekan. Langsung saja, saya terima saran dokter untuk bedrest selama seminggu penuh.
Dan tahukah Anda? Setelah mengetahui kehamilan ini, kondisi emosi saya mulai stabil lagi. Semua perasaan tidak menentu yang pernah saya ceritakan sebelumnya, mendadak sirna. Reaksi suami saya, dia sangat bahagia mendengar kabar ini. Sekarang dia jadi lebih perhatian lagi. Hehe, ada milik kami berdua dalam perut saya yang harus dirawat dengan ekstra hati-hati. Saya mengalami yang biasanya ibu hamil alami. Mual-mual, mudah letih dan mengantuk. Untunglah rekan kerja di kantor memahami keadaan ini, jadi saya sering minta break sebentar untuk sekedar berbaring beberapa menit di kantor. Mudah-mudahan kondisi kandungan saya tetap sehat dan kuat hingga saatnya nanti dilahirkan. Kini, saya merasa tidak sendirian. Ada seseorang di dalam sana yang sedang merenda kehidupannya. Mudah-mudahan rahim saya menjadi media yang hangat tempatnya bertumbuh menjadi bayi sehat. God... thanks, I’m glad to be a woman!

2 Skala Richter Pasca Pernikahan


Bukannya ingin melebih-lebihkan keadaan, hingga saya pilih judul di atas. Saya cuma sekedar pengen menggambarkan suasana biduk rumah tangga saya setelah hampir 2 bulan ini berjalan. Boleh dikata sebulan terakhir, saya tengah dilanda euforia pasca pernikahan. Semuanya meledak-ledak. Mulai dari senang, sedih, bete, marah semua ada. Pokoknya rasanya seperti makan permen nano-nano. Pada seminggu setelah hari H, pasti semua mantan pengantin merasakan surga dunia yang tak ingin mereka tinggalkan. Itu juga yang saya rasakan. Masa bulan semanis madu berdua, semua manis dan indah. sedih rasanya kalau harus mengakhiri masa-masa itu. Tapi apa boleh buat, kami harus segera ‘bangun’ dari tidur. Masa cuti cuma seminggu dan kami harus bekerja lagi. Sedih rasanya meninggalkan masa bulan madu itu.
Saya kembali bekerja di Salatiga dan suami saya bekerja di Yogya. Kami ‘terpaksa’ berjauhan karena hal ini telah menjadi kesepakatan sebelum menikah bahwa untuk setahun ke depan, saya akan tetap bekerja di Salatiga dulu hingga suami saya mendapatkan kejelasan mengenai status pekerjaannya. Kami menganggap pekerjaan saya lebih dapat dijamin keberlangsungannya dibandingkan pekerjaan suami saya yang hampir habis masa kontraknya. Waktu itu sih, saya enteng saja menyetujuinya (toh itu keinginan saya yang didukung oleh suami). Hanya Sabtu dan Minggu saja kami bertemu dan menghabiskan sepanjang hari dengan berekreasi, ya jalan-jalan, ya di kamar (hehe...).
Tetapi mendadak terjadi perubahan pada diri saya yang saya sendiri tidak pahami dari mana datangnya. Bukan perubahan fisik, tetapi perubahan suasana hati. Tiba-tiba saja, saya menjadi luar biasa melo dan cengeng seperti anak SD yang enggan ditinggal ibunya ketika sekolah. Padahal selama 8 tahun berpacaran dengan suami saya, saya tahu benar cengeng bukan saya banget gitu lho. Bahkan hal-hal yang dulu saya anggap biasa saja bahkan tidak terpikirkan, sekarang sangat penting untuk dibahas (baca : diperdebatkan). Misalnya saja, kalau dia terpaksa lembur di kantor atau dia telat bersms. Aduh, hari-hari hanya saya isi dengan kemarahan yang tidak kenal kompromi. Keinginan untuk didengar dan diperhatikan saja. Seringkali, tiap hari dia gelisah apa lagi yang akan menjadi ‘bahan peledak’ saya? Saya cukup prihatin dengan kondisi emosi saya yang sungguh tidak stabil sebulan belakangan karena saya sendiri merasa lelah yang luar biasa.
Jarak yang dulunya saya anggap tidak menjadi masalah, kini sangat berarti. Setiap hari saya lewatkan begitu saja kebersamaan dengannya di rumah. Saya lewatkan peran saya sebagai istrinya. Sesuatu yang menjadi alasan mengapa saya ingin menikah. Saya tidak sekedar ingin menjadi istri semata, tetapi ingin memainkan peran itu dengan baik. Kini, demi periuk nasi (atau keegosian saya?), kami harus berpisah, sekalipun jumpa tiap weekend tapi hal ini saya akui cukup membuat saya senewen selain mungkin pengaruh perubahan hormon kewanitaan saya kali ya? Maka saya memakai hal-hal sederhana yang tadinya biasa saja menjadi umpan untuk menyalurkan kesenewenan saya tadi.
Dalam kamus para pria rasanya hanya ada kelugasan, sesuatu yang tidak di awang-awang, sesuatu yang harus dikatakan, harus diterangkan, bukan diumpakan. Seperti suami saya. Setiap kali bertengkar karena hal-hal yang sepele tadi, dia selalu bertanya, “Lalu, mama pengen papa seperti apa?” Aduh, itu pertanyaan tabu buat saya. Karena saya berpikir, kalau saya bilang papa harus A, B, C maka apa yang dia lakukan semata supaya saya tidak marah lagi. Bukan lagi dilakukan dari kesadarannya. (Lagi-lagi) suami saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hal menarik lainnya yang membuat saya lebih kenal mantan pacar saya ini adalah, kebiasaan dia menguasai sebuah kotak bernama televisi. Benar yang pernah dirilis oleh banyak buku psikologi, dalam hal penguasa remote, lelaki lah rajanya. Setiap kali menonton bersama, dia mempersilakan saya menonton kesukaan saya misalnya acara Insert di TransTV (partisipan gosip club member). Tapi belum selesai satu berita, ia sudah ambil alih remote TV dan ia mulai pencet sana-sini tanpa arah lalu kembali lagi ke mata acara yang saya sukai tadi (basi lah kabarnya udah lewat). Dia baru berhenti kalau saya sudah meliriknya atau dia lihat berita olahraga. Kebiasaan dia menggunakan kipas angin atau fan ketika tidur, juga sempat mengganggu saya. Saya paling anti dengan fan yang secara langsung mengenai tubuh saya, bisa masuk angin. Tapi suami saya sangat menikmati hembusan putaran angin itu kala tidur. Ketika saya tanya kenapa harus pakai fan meskipun udara dingin. Jawabnya, “Aku suka dengar suara fan ketika tidur.” Alasan ini sungguh tidak ilmiah dan saya dibuat tertawa ngakak. Alhasil kalau tidur, saya selalu pakai selimut dari ujung leher hingga kaki, sedangkan dia justru topless bagaimanapun dinginnya J
Belum lagi, kebiasaan memencet odol (pasta gigi). Bagi saya, memencet odol di atas sikat gigi tentu sudah baku dan jamak. Tapi tidak dengan suami saya, saya terkejut ketika dia memencet odol langsung ke mulutnya baru dia gosok gigi. Awalnya saya marah-marah karena berarti tube pasta gigi sudah tidak higienis lagi, tahu apa reaksinya? Dia cuma tertawa, “Hehe....” Aneh ya?
Makanya saya umpamakan hiruk pikuk yang terjadi selama 2 bulan pernikahan saya sebagai getaran-getaran gempa yang amat kecil skalanya. Saking kecilnya, kadang saya tak sadari bahwa sebab musababnya harusnya dibicarakan, supaya yang kecil itu nantinya tidak menjadi besar dan berpengaruh serius bagi rumah tangga saya kelak. Salah satunya, getaran ‘gempa’ yang diakibatkan jetleg kebiasaan berdua yang amat sangat kontras ditambah kondisi emosional suami istri yang tidak sama stabilnya.
Hingga kini, saya masih terus belajar menyesuaikan diri. Saya pikir begitu juga dengan suami saya. Bagaimanapun emosinya saya di kala tertentu, saya amat menyayanginya, terutama kalau ingat senyumnya. Hihi...cute seperti anak kecil. So, kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya ya. Doakan kami.

Tuesday, August 7, 2007

SO OTHERS MAY LIVE

Maraknya kecelakaan kapal yang terjadi selama beberapa bulan ini sungguh sangat memprihatinkan bangsa kita. Bagaimana tidak? Saya baru sadar kalau untuk mengarungi samudera dengan kapal ternyata sama besar resikonya ketika naik pesawat atau alat tranportasi apapun. Nyawa semua penumpang dengan alat transportasi apapun di negeri ini (seharusnya) sama berharganya. Keprihatinan itu menginspirasi saya untuk menonton sebuah film berjudul Guardian. Seorang teman merekomendasikan film buatan tahun 2006 ini kepada saya, cocok dengan tema kecelakaan kapal baru-baru ini.
Jika diterjemahkan judulnya kira-kira berarti “Penjaga”. Diawali oleh sebuah narasi. Konon, di lautan Amerika dipercayai sebuah legenda. Ada seorang yang hidup di bawah laut. Dia selalu ada untuk menolong korban kecelakaan kapal di laut, terutama mereka yang sudah hampir putus asa diombang-ambingkan air selama berhari-hari dan merasa sendirian karena pertolongan yang tak kunjung datang.
Ini kisah seorang Jack Randall. Sebuah adegan mempertunjukkan Randall dan tim Penjaga Laut dan Pantai AS sedang mengevakuasi penumpang kapal yang karam di tengah laut lepas. Di antara mayat-mayat yang terapung, Helikopter berhasil menyelamatkan sepasang suami istri. Dalam perjuangan pasangan itu di tengah kepungan mayat-mayat, si suami berusaha merebut pelampung istrinya. Bahkan untuk melakukannya si suami mencekik leher istrinya. Mengetahui hal ini, dengan geram Randall meninju si suami agar pingsan dan tidak berulah hingga akan membuat proses evakuasi terhambat. Semua anggota tim sudah memutuskan meninggalkan lokasi karena yakin semua penumpang sudah tewas terapung-apung, tetapi sebuah tembakan api muncul dari permukaan. Berarti ada yang masih hidup! Randall ingin memeriksa sekali lagi dan ia memaksa diri turun kembali meskipun anggota tim lainnya menolak karena bahan bakar menipis.
Randall memeriksa satu-satu mayat yang terapung-apung itu. Akhirnya ditemukannya seorang pemuda yang pucat pasi dan hampir putus asa. Randall segera menalikan pemuda itu dalam keranjang evakuasi. Ketika itu tim di helikopter memperingatkan Randall untuk cepat-cepat menaikkan pemuda itu, namun tiba-tiba sebuah papan dari kapal yang karam terbang oleh ombak yang tinggi dan mengenai helikopter hingga si heli kehilangan kendali dan meledak di atas. Randall tertegun sejenak kemudian beralih memandang si pemuda yang semakin pucat dan ketakutan itu. “Kau akan baik-baik saja,” katanya sambil memeluk pemuda kuat-kuat pada sebuah keranjang yang sedianya akan ditarik helikopter. Baru saja ia membisikkan kata itu, tiba-tiba si pemuda dalam keranjangnya, tersedot ke dalam air dan hilang entah kemana. Rupanya karena ia masih terikat pada helikopter tadi, si pemuda ikutan nyungslep ke laut.
Seorang temannya yang berhasil selamat akhirnya meninggal dalam pelukkannya karena lamanya petolongan datang.
Peristiwa itu membuat Randall trauma berat dan harus rela tidak lagi melakukan tugas di laut. Atas petunjuk atasannya, Randall akhirnya menerima keputusan untuk mengajar di sekolah yang mencetak pada Guardian. Di lain pihak, istri Randall yang sudah capek ditinggal-tinggal dan diabaikan karena tugasnya, meminta cerai. Dalam keadaan dilematis ini, Randall tetap keukeh dengan panggilan hatinya, menjadi Guardian.
Guardian punya motto yang cukup menyentuh hati : So others may live (hingga orang lain bisa hidup!). Membayangkan makna motto mereka, jelas bahwa siapapun yang masuk ke sekolah Guardian hanya punya satu motivasi yakni panggilan hidup untuk menyelamatkan nyawa orang lain khususnya para korban kecelakaan di laut. Meskipun untuk menjadi Guardian, mereka harus menempuh pelajaran berat. Bertahan mengapung di kolam renang selama 1 jam, ditambah bongkahan es di dalamnya, berpasang-pasangan menyelam sambil memindahkan beban dan hanya diijinkan mengambil nafas ke permukaan sekali setelah yang lain mendorong beban itu ke depan, dsb. Nantinya mereka harus siap sewaktu-waktu mendapat panggilan berangkat ke laut lepas dan menolong para korban. Wuih....keren banget yak?
Seorang murid pria (maaf saya lupa namanya) yang diperankan Aston Kutcher menunjukkan prestasi cemerlang. Ia punya pengalaman pahit di masa lalunya hingga ia bertekad bisa menjadi The Guardian agar rasa bersalahnya terobati. Ketika masih kecil, ia kehilangan 2 temannya mati tenggelam ketika mereka sedang menaiki perahu di sebuah danau dan ia tak mampu menyelamatkan mereka.
“Berapa orang yang telah kau selamatkan?,” tanya pemuda itu pada Randall. Pertanyaan ini tak kunjung dijawab hingga suatu hari sang murid kembali menanyakannya dan Randal menjawab, “Dua Puluh Dua.” Murid itu tertegun heran, selama ini yang didengarnya Randall adalah pahlawan di laut, banyak orang sudah diselamatkan berkat jasanya, tetapi padanya Randall hanya menyebut angka sekecil itu? “Dua puluh dua yang tidak bisa kuselamatkan. Hanya itu yang selalu kuingat,” jelas Randall menjawab tanya di kepala muridnya.
Di bawah gemblengan Randall, pemuda itu termasuk satu dari segelintir murid yang berhasil lulus dengan baik. Tugas pertamanya menyelamatkan dua orang yang terjebak dengan kanonya di sebuah gua. Bersama Randall, ia turun ke laut dan mengeluarkan mereka dari dalam gua. Sang murid berhasil mengevakuasi, tidak demikian dengan Randall. Di tengah ia berusaha mencapai pintu gua bersama seorang korban, bayangan peristiwa ketika heli yang ditumpangi kawannya meledak, seorang pemuda yang akan ditolongnya nyungslep ke laut, kawannya harus mati di tengah lautan, terus membayangi hingga ia merasa takut. Akhirnya, si murid mencapai gua kembali dan membantu Randall & korban perahu kano keluar dengan selamat.
Sejak itulah, Randall memutuskan berhenti menjadi Guardian. Ia merasa dengan traumanya itu justru bisa mencelakakan orang lain. “Aku akan memancing saja,” katanya pada muridnya yang menahannya pergi. Randall pun menemui istrinya untuk menyerahkan surat cerai yang sudah ditandatanganinya dan cincin pernikahan mereka. Sebenarnya istri Randall sudah berpikir ulang untuk memaafkan dan kembali kepadanya tetapi mulutnya tak kunjung mengatakan hingga Randall meninggalkannya.
Dalam perjalanan untuk membereskan barangnya di kantor, Randall mendengar dari radio, ada kecelakaan kapal di laut dan sang murid sedang ditugaskan melakukan evakuasi. Namun murid itu justru terkunci di dalam dek kapal untuk menolong sang nahkoda, maka diperlukan seorang lagi Guardian untuk terjun menolongnya. Sayang tak ada anggota Guardian yang saat itu standby, kecuali Randall yang sudah memutuskan berhenti itu.
Segera Randall bergegas siap dengan perlengakapannya dan dibawa ke lokasi evakuasi. Singkat cerita, Randall berhasil mendobrak pintu dek dan mereka berdua keluar untuk naik ke heli. Ironisnya, si nahkoda dalam cerita itu akhirnya mati tertimpa tabung gas.
Di sinilah kisah akhir yang begitu mencekat tenggorokan itu dimulai. Ketika Randall dan sang murid sedang ditarik ke atas, mereka dengan satu tangan masing-masing berpegangan pada tali. Baru setengah perjalanan ditarik, talinya hampir putus. Sang murid panik dan berteriak agar tim di heli mempercepat penarikan. Tetapi tali tetap mengelupas sedikit-demi sedikit dan posisi Randall sudah hampir jatuh. Sang murid berkata, “Aku akan tetap memegang tanganmu. Bertahanlah,” teriaknya menyemangati gurunya.
“Tidak. Tali ini hanya cukup untuk satu orang. Itu berarti kau,” kata Randall sambil memandang sang murid yang masih panik. Randall pun melepaskan sarung tangannya dan ...jatuhlah ia kembali ke lautan nan gelap itu. Murid itu berhasil naik ke heli, sambil meratapi kepergian gurunya yang tak tampak lagi di permukaan. Setelah berhari-hari pencarian tidak membuahkan hasil, Randall pun dinyatakan hilang.
Hingga suatu ketika, jauh setelah insiden itu terjadi, sang murid yang telah menjadi The Gurdian sedang mengevakuasi seorang penumpang kapal karam. Ketika dibawa naik ke heli, si penumpang itu berkata, “Di mana dia? Di mana dia?”
“Dia siapa? Tidak ada orang lain selain Anda, pak,” jawabnya.
“Orang yang memakai baju oranye. Dia yang menyelamatkan saya tadi, dia terus menemani saya saat terombang-ambing di laut. Dia meyakinkan saya untuk tidak menyerah karena pertolongan pasti akan datang,” terangnya.
Sang murid pun kembali tertegun sambil melihat ke bawah. Ia teringat peristiwa ketika Randall, gurunya menceburkan diri ke laut demi dirinya waktu itu, Randall memakai baju dinas berwarna oranye. Sang murid tersenyum. Di bawah sana Jack Randall masih menolong orang. So, others may live! (*)

Wednesday, July 11, 2007

Sindroma

(Sebenarnya tulisan ini akan saya posting jauh hari sebelum tanggal pernikahan saya, 1 Juli kemarin, tetapi karena nggak sempat, baru dua minggu setelahnya deh saya post, mudah-mudahan tetep relevan)

Kata orang, menjelang hari pernikahan, ada saja ‘ujian’ yang bakal dihadapi oleh calon mempelai. Mulai dari godaan dari mantan-mantan, rasa sebal, rasa jealous pada pasangan, dll. Dulu sih aku nggak terlalu percaya, tergantung orangnya sih, batinku. Eh...ternyata hal itu menimpaku juga! Hari pernikahanku tinggal dihitung dengan jari, ya sekitar 10 hari menjelang hari istimewa itu. Aku dicekam perasaan tak menentu. Biasanya sih rasa itu muncul sepulang kerja. Kebetulan pasanganku juga bekerja tapi di lain kota (jadi long distance nich ceritanya, meskipun kota dimana aku bekerja cuma 3 jam dengan bus dari kota tempat pasanganku bekerja). Pada hari-hari biasa, selama bekerja kami jarang berkirim sms, itu sudah hal biasa bagiku, paling pulang kerja kami bertelepon ria. Eh, nggak tahu kenapa hari-hari belakangan ini aku sensitif banget. Nggak disms seharian aja udah gondok banget, bukan itu saja. Pikiranku lalu bikin-bikin opini sendiri. Jangan-jangan dia udah nggak perhatian lagi, jangan-jangan dia keasyikan dengan teman-temannya di kantor jadi lupa aku. Kalau sudah begitu, rasa sebal kubawa waktu dia meneleponku. Bukannya kata-kata sayang terluncur, eh malah menyelidiki kenapa nggak sms seharian ini, dsb2 yang berakhir dengan meledaknya emosiku padanya. Kalau sudah begini, dia biasanya minta maaf, dan aku? Aku melulu merasa benar :-p (padahal dalam hati aku juga bertanya-tanya aku ini kenapa, kok segitunya?)
Terus ada lagi, suatu hari dia memutuskan menjual barang miliknya. Sebelumnya, aku tidak pernah merasa keberatan kalau dia mau menjual barang yang dia beli sendiri dari hasil keringatnya, aku merasa itu haknya. Asal dia memberitahuku. Tapi kali ini lain. Begitu aku tahu dia menjualnya, aku naik pitam. Aku bilang kepadanya kalau aku merasa tidak ada artinya. “Kalau kamu bisa memutuskan segala sesuatu tanpa meminta pertimbanganku, silakan saja. Berarti lain kali kalau aku mau jual kalung kesayanganku untuk biaya tambahan bulanan, tanpa pertimbanganmu, itu berarti sah-sah saja!,” kataku geram. Lagi-lagi, setelah berargumen yang berakhir dengan derai air mata, dia pun (lagi-lagi) mengalah, meminta maaf padaku. Dan aku? Hehe...yup betul! Merasa benar.
Aku juga tiba-tiba melarangnya begadang dan memintanya untuk tinggal di rumah saja sepulang kerja. Padahal aku tahu, sehari-hari dia bukan tipe orang yang bisa duduk diam di rumah sepulang kerja. Biasanya dia nongkrong di warung dekat rumah dan ngobrol-ngobrol sampai kantuk menyerang, baru dia pulang tidur. Biasanya aku bisa menerima kebiasaan ini, tapi kali ini tidak. Aku betul-betul mengultimatum dia untuk tidak melakukannya lagi. Bahkan parahnya aku melarangnya ikut ronda! Padahal tahu sendiri, kalau di kampung, ini suatu kewajiban bagi para bapak dan pemuda. Lagi-lagi argumentasi melalui telepon selalu berakhir dengan ‘kemenanganku’ yang lalu kurevisi setelah beberapa saat dia menutup teleponnya.
Kalau dia tanya,”Ada apa denganku?” aku pun tidak yakin bisa menjawab dengan benar. Karena aku betul-betul tidak tahu aku ini kenapa. Apa mungkin aku sudah terserang sindrom pranikah itu? Lalu mengapa semua yang mulanya biasa-biasa saja, menjadi sesuatu yang serius dan harus dibicarakan? Bahkan sebuah harga mati bagiku yang dia tak boleh menawarnya.
Aku pun menjadi letih karena tekanan emosional yang tidak menentu ini. Tidak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara dan mau memahami aku. Maka kuputuskan untuk merenung sendirian. Aku menelisik, kalau memang ini sindrom, mengapa hal-hal tadi begitu mudahnya memicu pertengkaran kami menjelang hari H ini. Analisis awalku adalah, bahwa masalah-masalah yang ‘sepele’ itu nyatanya tidak betul-betul bisa dianggap ringan. Dulu saja aku hanya menganggap lalu, mestinya aku menyatakan keberatan atau ketidaksetujuanku sejak dulu. Namun semua kuendapkan dan tanpa kusadari endapan-endapan itulah yang keluar manakala emosiku meledak. Misalnya saja, kebiasaan kami tidak bersms sepanjang bekerja, sebenarnya aku tidak menyukai habit ini. Aku ingin dia mengirim kabar sedang apa begitu pula aku ingin demikian padanya. Tetapi karena aku pikir itu tak jadi soal dan terutama aku gengsi memulainya, ya sudah kuanggap hal itu bisa dikompromikan. Lalu, kebiasaan dia nongkrong di warung dekat rumah, aku sebenarnya tidak suka kalau dia setiap malam melakukannya. Tetapi sekali lagi aku melihat apa urgentnya hal itu dibahas, karena toh selama ini kami berjauhan kota. Terus kebiasaan dia memutuskan segala sesuatu sendiri, dalam hatiku yang terdalam, aku merasa tersinggung, terhina dan merasa diabaikan. Tapi aku coba redam saja isu ini karena aku merasa kami masih baik-baik saja berjalan bersama.
Rupanya harapanku untuk mewujudkan diam itu emas berbuah mengecewakan. Aku selalu mengharapkan lelaki bisa membaca pikiran wanita, apa yang dimaui wanita tanpa kita harus mengatakannya secara langsung. Ternyata itu SALAH BESAR! Lelaki tidak bisa melakukannya. Wanitalah yang harus mengucapkannya (kasihan wanita yang gengsinya tinggi seperti aku). Lelaki hanya bisa membaca bahwa setelah berargumentasi dan bertengkar hebat dan berakhir ‘damai’ maka wanita akan segera melupakan akar masalahnya. Semua tampak kembali normal dan baik-baik saja. Padahal kebiasaan menyimpan akar masalah yang tidak tuntas tercerabut itu akan meninggalkan bekas dalam hati wanita dan seperti yang kualami, pada saat-saat ‘genting’, akar itulah yang menceruat ke permukaan. Si pria pun terbengong-bengong, “Kok aneh, kebiasaan ini kan sudah lama kulakukan, mengapa baru sekarang marah-marah?”.
Jadi begitulah rupanya, ada sejarah yang berkontrbusi besar memunculkan sindrom pranikah itu (minimal dalam kasusku). Sedangkan penyebab mengapa emosi-emosi itu meledak menjelang hari H, mungkin karena setelah hari H, aku merasa tidak bisa lagi semaunya meninggalkannya karena kemauanku tidak dituruti, begitupun sebaliknya. Pernikahan adalah sebuah komitmen seumur hidup, apapun yang terjadi tidak boleh ada kata berpisah karena tidak cocok, itu yang dijunjung tinggi agama yang kuanut. So, para wanita...mungkin salah kita juga kalau suka gengsi lalu pura-pura fine-fine saja melihat kebiasaan pasangan yang tidak kita sukai. Speak up! Jangan disimpan seperti aku, mereka pasti mendengar (at least beberapa menit) lalu syukur-syukur dia mau memperbaiki, kalau tidak, ingatkan saja terus. And...hey Men! Treating us like a lady all the time is not enough, listen to us and please give us some spaces in your mind to be considered. Okey??
Dan sekarang tinggal 9 hari lagi. Aku tidak sabar menanti apa yang akan terjadi berikutnya. Tunggu di sekuel selanjutnya ya....

Thursday, March 29, 2007

Sorry or Maaf?

Tak sedikit di antara kita (termasuk saya) di negeri Indonesia ini, yang kalau ngrasa salah atau ditegur orang lain karena berbuat salah, bukannya bilang “Maaf, ya” tapi “Sorry ya”. Ya nggak salah sih secara substansi. Dua-duanya sama-sama dimaksudkan untuk meminta maaf pada orang lain. Bedanya yang satu pakai bahasa Inggris. Tapi, meskipun sama maknanya kayaknya lidah kita lebih ngrasa nyaman bilang sorry dibanding maaf. Pada kata maaf, rasa-rasanya di dalamnya terkandung unsur ketulusan dan pernyataan yang sungguh-sungguh bahwa kita menyesal dan tidak gengsi meminta pengampunan. Sedangkan pada kata sorry (apalagi kalau kita bilang sorry pada sesama orang Indonesia), kesannya terasa sebenarnya kita berbasa-basi saja, tidak benar-benar ingin meminta maaf, ada unsur gengsi atau malu-malu mengakui kesalahan kita.
Bobot kesungguhan pada kata maaf dan sorry itu jadi beda. Kadangkala mengakui kesalahan dan berkata “Maaf” kepada orang lain sungguh memerlukan keberanian. Biasanya kita selalu merasa benar. Kalaupun kita memang salah, kita seringkali meyakinkan diri bahwa pihak kita (sebenarnya) sudah benar dan orang lain saja yang salah menanggapi atau parahnya kita malah tidak peduli. Kita lalu mencari-cari alasan untuk bisa membenarkan diri.
Di sebuah harian nasional, pada satu halaman yang sama, saya menemukan 2 artikel dengan judul besar berbunyai “ Eurico Guteres Meminta Maaf “ dan “Menteri Pertahanan Malaysia Minta Maaf “. Masing-masing menyangkut masalah yang berbeda, Guteres berhubungan dengan kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur sedangkan Menhan Malaysia berhubungan dengan kasus Ambalat. Bukanlah sebuah ketidaksengajaan rasanya kalau judul kedua artikel itu ditulis besar hingga menarik perhatian mata untuk membaca isinya. Media ini mengangkat “Maaf” mereka sebagai sesuatu yang menunjukkan sikap ksatria yang bermakna tulus dan patut dihormati. Ketika selesai membacanya, orang bukannya mencemooh tapi justru merasa lebih menghargai pernyataan sikap ini.
Jadi moral ceritanya apa nih? Ya jangan sungkan kita melatih diri untuk benar-benar meminta maaf bila kita melakukan kesalahan. Sekecil atau sesepele apapun kesalahan itu menurut kita, bisa jadi bagi orang lain sudah sangat menyakitkan. Saking menyakitkannya, sampai kata “sorry” pun tidak cukup. Pilihan kata “maaf” untuk menyatakan penyesalan lebih tepat. Ya mirip-mirip dengan kebiasaan mengungkapkan rasa sayang misalnya pada pacar atau orang tua. Alih-alih menggunakan “Aku sayang kamu” kita lebih enak pake “I love you”. Sama-sama maknanya tapi lebih dalam yang mana?
Ini pendapat dari kacamata saya lho, sifatnya lebih subyektif. Nggak semua yang saya utarakan ini benar menurut orang lain. Yah, kalau gitu, saya minta maaf kalau pendapat ini terlalu menggurui.(*)

Thursday, March 22, 2007

Phase of My Life (Part 1)

Akhirnya masa ini datang juga. Saya harus tunduk pada waktu dan harapan. Saya harus puas melepas 28 tahun bersama ego dan kesenangan. Saya segera menjadi dua, tetapi satu. Saya tidak ingin menyia-nyiakan masa yang tinggal 3 bulan ini! Saya kembali memutar ulang kaset memori saya.
Kala saya TK, saya punya 2 orang sobat kental namanya Tari dan Lusi. Saking akrabnya kami kemana-mana bertiga. Sampai-sampai kami dijuluki DeTaLu girls. Di antara kami bertiga, sayalah paling suka molor bangunnya. Bisa dijamin ketika dua teman karib saya itu menghampiri untuk berangkat sekolah, saya masih tidur. Akhirnya mereka menunggui saya, lebih sering mereka akhirnya berangkat duluan.
Kala saya masih SD, saya adalah anak yang sangat cengeng. Hobinya menangis kalau ditinggalkan ibu yang senantiasa menungguiku di luar kelas. Apalagi kalau telat dijemput dari sekolah. Aduh, aku bisa menangis meraung-raung. Kebiasaan itu tidak surut meskipun dalam seminggu aku bisa lebih dari 2 kali menangis ketika bapak atau ibu telat menjemput. Ibu guruku sepertinya mahfum, paling-paling tugasnya menemaniku sampai jemputan datang.
Pernah suatu ketika, karena belum dijemput, aku nekat mengikuti seorang teman laki-lakiku yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumahku. Namanya Bambang. “Mbang, aku ikut kamu,” ujarku mantap. Meski Bambang bengong sebentar dia lalu menjawab, “Aku mau ke rumah nenekku. Aku nggak dijemput. Jalan kaki.” Dan jawabku mungkin membuatnya sebal, “Iya, aku ikut jalan kaki.” Saya berjalan berpuluh kilo hingga sampai di rumah nenek Bambang dan dimarahi. Lalu mereka mengantar saya pulang.
Waktu itu, saya paling suka dijemput bapak atau ibu lalu kami mampir ke warung atau toko, makan siang atau mengantar ibu belanja. Oya, pada masa SD inilah, saya sudah mendapat menstruasi pertama, tepatnya di kelas 4 SD! Bisa dibayangkan betapa paniknya saya. Peristiwa ini juga sempat membuat saya stress jadi saya berubah seperti orang bingung. Saya paling sebal kalau ada teman laki-laki yang naksir saya, bahkan melirik saya, saya bisa naik pitam. Saya sempat dibawa ke psikiater dan sang ahli mengatakan itu karena perubahan hormonal saja. Leganya…..
Ketika SMP, penampilan abadi saya sejak TK hingga SD terus saya bawa. Rambut panjang dikepang kuda plus poni di depan. Saya ikut ekstra kurikuler baris berbaris dan menempati sab ke dua dari depan. Lumayan kan tinggi saya. Selain itu saya ikut ekstra musik, pegang suling  Di SMP saya ikut bermacam lomba, selain baris berbaris juga lomba ensemble musik. Oya, saya mulai bergabung dengan kegiatan organisasi juga, salah satunya GEMA. Itu adalah wadah para pelajar SMP & SMU di Yogya yang hobi menulis. Tiap minggu, kami disediakan 1 halaman khusus di koran lokal namanya BERNAS yang harus digarap bersama-sama. Saya tidak punya pacar dan masih takut dengan cowok. Pernah, seorang teman cowok dari lain kelas naksir dan ingin berkenalan. Saat istirahat, itu cowok mendatangi saya dan duduk di samping saya. Tahu apa yang saya perbuat? Begitu dia duduk, saya lari tunggang langgang! Not even a word at all. Teman-teman mentertawakan saya. Oya, kebiasaan buruk saya, datang terlambat  Pasti tiap pagi saya masuk kelas tepat pukul 7, tidak pernah mengerjakan PR apalagi kalau matematika. Jadi begitu sampai kelas tergopoh-gopoh, saya lalu merepotkan teman sebangku namanya Lita Andini. Saya pinjam PR dia, hehe…. Lita sering saya buat marah. Dimana ya dia sekarang? Satu hal yang paling saya sebal adalah olahraga khususnya senam. Kenapa? Karena saya paling tidak bisa salto ke belakang. Saya selalu stucked sampai berdiri di atas kepala saja dan sulit untuk menjungkirkan badan ke belakang dalam keadaan seperti itu. Saat ujian akhir, salah satu materi senam yang harus lolos adalah salto ke belakang itu. Semua teman-teman saya berhasil melakukannya, sedangkan saya harus diberi jam tambahan oleh guru olahraga. Jadi ketika teman-teman sudah asyik menikmati jajanan di kantin setelah ujian itu, saya masih jungkir jempalitan di ruang olahraga! Tahu apa hasilnya?
Guru saya bertanya , “Kamu ikut ekskul apa sih?”
“ Musik.”
“Pegang apa di musik?”
“Suling, pak.”
“Oh, pantesan kamu cuma bisa lurus berdiri di atas kepala dan nggak bisa berguling ke belakang.”
“Sialan,” umpat saya.
Oya, di kelas 3 SMP rekor saya pecah. Apa itu? Memotong rambut! Ya, rambut panjang yang sudah dipelihara sejak lahir, TK, SD sampai SMP saya putuskan untuk di-po-tong.
Masa SMA. Ini adalah masa saya paling bandel, bebal dan keras kepala (yang terakhir ini sampai sekarang masih hehe…). Keaktifan saya di organisasi semakin banyak. Selain masih tekun di GEMA -karena GEMA itulah saya jadi sedikit beken karena dikenal teman-teman suka nulis di koran BERNAS- maka saya dipercaya mengelola mading sekolah, saya bergabung dengan OSIS, organisasi keagamaan seperti PSK (Persekutuan Siswa Kristen), menggelar event rohani seperti natal dan paskah di sekolah maupun bersama sekolah lainnya. Saya masih juga tidak punya pacar. Catatan : saya tidak lagi ikut baris berbaris karena di masa SMA, justru saya paling pendek. Hehe…Saya sudah mulai suka melirik cowok. Kriterianya, tinggi, suka main basket, bergaya pemimpin, aktivis di sekolah, bisa musik. Dan itu semua ada di Ketua OSIS!! Haha…tapi ya kami beda prinsip dan itu saya pegang teguh daripada nantinya malah kepentok (sok ke depan banget pikirannya yak..).Anehnya, saya tetap tidak suka cowok (terutama yang nggak saya sukai) naksir saya. Beberapa kali teman cowok bertandang ke rumah, saya cuekin. Bahkan ada yang datang baru parkir motor, saya sudah wanti-wanti ke ibu untuk bilang saya nggak ada. Padahal saya sembunyi di kamar. Ibu selalu berbohong untuk ‘menyelamatkan’ saya. Dia hanya tertawa melihat ini.
Saya juga suka pulang larut malam. Saya kan hobi banget nonton konser musik di mana-mana. Pernah suatu kali, saya nggak pamit nonton konser sama dua teman saya. Lokasi konser lumayan dekat tapi kalau jalan kaki udah telat. Akhirnya kami naik becak. Sialnya kami, becak diserempet motor berkecepatan tinggi dari sebelah kanan dan tuiiing si becak pun bermanuver entah bagaimana bentuknya tahu-tahu saya udah ada di posisi paling bawah tertindih 2 teman saya itu. Becaknya jadi penyok dan saya pun memar-memar. Tapi kami masih juga bersikeras nonton konser hingga larut malam dan saya kena marah ibu ketika sampai rumah.
Saya berjanji pada ibu tidak lagi pulang malam. Tapi janji itu tidak kekal, cuma bertahan 2 minggu. Setelah itu kumat lagi. Kali ini karena keasyikan dengan hobi menulis di GEMA. Biasanya hari Jumat-Sabtu, saya gunakan di markas GEMA kongkow-kongkow dengan teman-teman setelah seharian mengerjakan halaman khusus pelajar itu dan saya suka lupa waktu. Tak jarang saya masih pakai seragam sekolah ketika pulang dari markas sekitar jam 9 malam. Biasanya saya mengendap-endap supaya tidak ketauan ibu. Tapi pernah ketika mengendap-endap eh nggak taunya mereka sedang berkumpul bersama di ruang keluarga, lagi berdoa! (doain saya yang bandel ini). Merasa berdosa sekali saya. Yang bikin berang orang tua ketika satu malam saya pulang sudah hampir jam 12 malam! Saya keasyikan meliput acara bersama artis ibukota kala itu. Berjalan di gang menuju rumah ternyata sudah dijaga oleh para peronda. Aduh… muka saya mau ditaruh dimana? Tatapan mereka sangat sadis seakan menyimpulkan saya yang tidak-tidak. Aduh…maaf bapak dan ibu….
Kebandelan saya yang bertubi-tubi dan tak bisa dikendalikan itu akhirnya terbalas. Masa menjadi mahasiswa. Saya harus memutuskan menerima kenyataan untuk ‘dijauhkan’ dari orang-orang terkasih. Pasalnya saya diterima melalui jalur non-tes di universitas negeri di Solo. Memang kota ini lumayan dekat dengan Yogya tapi rasanya berat meninggalkan keluarga, meskipun akhirnya setiap minggu sekali saya pulang juga. Awal-awal menjadi perantau di kota Solo sangat menggelikan kalau diingat-ingat. Kebiasaan saya waktu itu adalah terserang sindrom jam 5 sore. Apakah itu? Maklum baru sekali ini jadi anak kos dan jauh dari ayah-ibu. Jadi kata orang Jawa “mbok-mboken”. Setiap menjelang jam 5 sore, saya selalu menangis berurai-urai air mata. Saya gelisah dan takut. Untuk menghibur diri, saya pergi ke rumah teman di kos sebelah. Apa yang terjadi? Ternyata teman saya itu (yang juga baru pertama kali ngekos) juga sedang menangis! Haha…jadilah kami bertangis-tangisan di kamarnya. Begitulah setiap sore hampir selama 3 bulan pertama di Solo, saya selalu bertandang ke kos teman saya itu. Akhirnya kami berdua nggak jadi nangis bersama tetapi berbincang-bincang dan ini cukup lumayan membantu kami melupakan sejenak perasaan melo itu.
Di Solo kegiatan organisasi saya mulai terpangkas lambat laun. Saya merasa iklimnya beda jauh dengan Yogya, cenderung bikin malas melakukan apapun. Hanya saya masih aktif di PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) di tingkat fakultas maupun universitas. Saya punya 3 teman karib yang sama-sama aktif di PMK. Saking akrabnya, kami memberi julukan geng kami Empat Menguak Takdir (plesetan dari julukan bagi Sutan takdir Alisjabana cs “Tiga Menguak Takdir). Di fakultas, saya tidak terlalu menonjol. Tadinya ikutan kegiatan KineKlub bagi penggemar film-film tapi berhenti karena malas ikut kegiatan tambahannya semacam diskusi dan panitia-panitia gitu. Saya cuma senang nontonnya doang. Di masa inilah, pada semester 3, akhirnya saya tunduk pada panah asmara. Saya ketemu cowok dan memutuskan berpacaran. Rupanya cowok itu datang tepat waktunya. Karena selang sebulan saya pacaran, saya harus kehilangan ibunda saya terkasih karena penyakit jantungnya (kalau ingat kebandelan saya di masa lalu, saya sering menyesal mungkinkah saya yang menyebabkan penyakit jantung ibu kambuh lagi?). Saya betul-betul kehilangan motivasi dan pegangan. Dunia rasanya gelap, rasa melo yang sudah terkubur jauh kembali muncul. Sejak kepergiannya, saya suka menyendiri. Kemana pun. Tetapi kekasih saya itu sangat pengertian dan setia. Dia tidak suka menggurui. Dia hanya memberikan sebuah buku tentang bagaimana menyikapi kehilangan seseorang. Rupanya dia juga membacanya ketika harus kehilangan ayah-ibunya dalam waktu berdekatan. Begitulah, Tuhan selalu tepat mendatangkan pertolongan. Tepat maksudnya dan tepat waktu-Nya.
Kuliah saya cenderung mulus sampai akhirnya lulus tahun 2002 sebagai sarjana sosial. Usai kuliah, saya bekerja di sebuah dealer motor di Yogya dan hanya selang 3 bulan setelah bekerja itu saya mendapat pekerjaan yang lebih baik di kota Salatiga. Kini saya masih di Salatiga, bekerja sebagai Asisten Dirlak di sebuah LSM berbasis gereja. Saya masih berpacaran dengan kekasih saya yang dulu. Tujuh tahun sudah kami menjalani masa pacaran dan bila Tuhan mengijinkan, kami akan berjanji sehidup semati di depan altar Tuhan pada bulan Juli 2007 nanti.
Pada waktu dan masa, terima kasih atas kenangan yang kau toreh di memoriku. Buat ayah dan ibu, terima kasih telah menjadi pelakon utama yang mengisi diari hidupku. Sekarang saya harus siap menjalani etape selanjutnya dari episode kehidupan ini. Semoga Tuhan menolong saya. (to be continued).

Friday, March 16, 2007

Everyday Is A Blessing

Ketika kita memperhatikan hal-hal kecil yang sederhana di sekeliling kita, tanpa disangka-sangka hal-hal itu memberi pelajaran dan inspirasi hingga kita bisa berucap hidup hari ini adalah sebuah berkat. Percaya nggak?
Setiap pagi, ketika bangun tidur saya selalu tidak merasa segar. Malas sekali beranjak. Biasanya saya tidur lagi. Sampai setengah jam sebelum jam kantor baru deh saya siap-siap. Pokoknya kacau deh. Sampai kantor, baru jam 10 aja udah nguap, ngantuk. Dan itu berlangsung berulang-ulang selama 3 tahun kerja. Teman-teman kos juga bilang penampilan saya tiap pagi nggak segar dipandang mata. Ini baru saya sadari! Ternyata teman-teman di kos memperhatikan saya. Soalnya saya biasa pergi pagi pulang sore atau malam (bukan karena lembur tapi karena main game di komputer dulu!) dan kebanyakan waktu malam hari saya habiskan di kamar. Kadang-kadang temen kos bertandang ke kamar terus ngobrol sampai saya ngantuk. Terus tidur, terus bangun lagi, ngantor lagi, pulang, di kamar, tidur, bangun, dan seterusnya. Rasanya irama hidup dan aktivitas saya seperti kaset yang diputar dari side A ke B, B ke A, terus begitu dan parahnya isi lagunya sama!
Jadi hari-hari biasa saya lalui dengan banyak de javu. Kayaknya kemarin saya udah pernah melakukan ini atau eh kayaknya aku pernah baca itu. Apalagi penampilan, aduh itu jadi prioritas kesekian deh. Hem atau T-Shir plus celana jins, sepatu kets, cukup. Saya nggak pernah mikiin orang lain mau perhatikan atau tidak, cuek aja. Yang penting saya nyaman. Yang penting saya, saya, saya, dan saya. Ehm...self oriented banget deh.
Ini terjadi terus hingga suatu pagi. Saat itu seperti biasa, saya bangun ngaret, badan rasanya tidak segar sudah biasa. Nggak pake babibu, langsung loncat dari dipan, ambil perlengkapan mandi, ngloyor ke kamar mandi, pake pakaian, terus memakai bedak (tipis banget) dan lipgloss! Saya suka risih lihat cewek berdandan. Pas mau berangkat, saya ambil jam tangan, eh, apa nggak salah lihat? Kok baru jam setengah delapan (saya ngantor start jam 9). Ya ampun, karena buru-buru, saya pikir kesiangan bangun ternyata pagi itu saya justru terlalu awal bangun (dari hari biasanya).
Iseng-iseng buat ngisi waktu, saya ambil kamera di handphone saya, terus potret-potret diri deh (narsis banget yak?). Semua gaya sudah saya coba, rambut diurai tak ketinggalan. Ceprat cepret berulang kali. Kini giliran saya lihat hasil pemotretan. “Oh no!! Is that really me?!! Kok nggak ada yang bagus dari angel manapun?!” teriak hati saya. Oke, barangkali dengan mengubah gaya rambut. Rambut saya cepit ke belakang, poni dibelah pinggir kanan (biasanya tengah!), pake senyum, sisi kanan, kiri dan depan. Sudah. Sekarang lihat lagi hasilnya. Dan.....nggak bisa dikomentari deh. Saya sendiri kaget melihat look saya. Bawah mata ada lingkaran hitam, senyum terasa dipaksakan, yang paling ngeri adalah sorot mata saya betul-betul tidak menyala! Sekali lagi saya nggak nyerah, mungkin ini perasaan saya aja. Lagi, saya ambil kamera, kali ini saya khususkan menembak daerah wajah, full face, close-up. Cepret..cepret...berapa kali. Hasilnya....oh no!!! Lagi-lagi. Kini saya mulai melihat ada garis di sekitar hidung dan mulut. Saya seperti dimake-up tapi ketika siang, make-up di wajah itu pecah dan guratan make up membentu garis. Aduh saya aging!! Wajah saya seperti tertarik ke bawah, biar pun pasang senyum, tidak ada yang istimewa.
Oh rupanya begitu ya penampilan saya yang tampak luar dan dilihat orang? Pantes aja mereka bilang I’m not fresh at all! Saya aja males lihatnya, apalagi orang lain ya? Hehe... tapi cerita belum selesai. Pas mau berangkat kerja, 15 menit sebelumnya saya makan dulu ceritanya di warung langganan. Ketika mengantre ambil sayur, di depan saya ada seorang ibu dan seorang bapak tua. Si ibu lagi nyiduk sayur dalam plastik untuk dibawa pulang kira-kira. Si bapak menunggui di sebelahnya. Saya sabar menunggu di belakang si ibu. Ibu itu menyangul rambutnya ke belakang dengan semacam sumpit yang ada gantungannya. Memakai anting. Nggak ada pikiran apapun, sampai si ibu itu menengok ke belakang ke arah saya. “Halo, silakan ambil nak. Maaf menutupi ya?, “ katanya sambil tersenyum dan menggeser posisinya agar saya bisa maju. Begitu saya tatap wajah si ibu itu, nggak tahu kenapa hati saya ngrasa damai banget. “Silakan ini sendoknya,” ujarnya lagi pada saya. Ya ampun, saya kembali lihat wajah si ibu itu. Wow! So brightful. Saya tidak merasakan ada nada basa-basi di situ. Ada gurat dan garis memenuhi wajahnya tetapi tutur sapa, senyum dan nada bicaranya..wow!! Ibu itu tampak sangat cantik sekali di usia senjanya. Ketika saya makan, mereka (ibu dan bapak tua yang kira-kira suaminya) melangkah keluar sambil berujar lagi, “Mari nak...,” lagi-lagi sambil tersenyum dan ia menggandeng suaminya itu. God! Is she YOU?
Saya merasa ditampar dua kali pagi itu. Hei! Menjaga penampilan secantik dan sebagus mungkin itu sah-sah saja dan tidak pernah merugikan orang lain. Menegor orang dengan ramah dan menjaga attitude, juga nggak bakal merugikan saya. Ketika saya berpikir tentang diri saya sendiri, apa yang enak dan nyaman buat saya sendiri, ternyata membuat saya menjadi individu paling egois. Saya ngerasa sendiri, ketika si ibu yang sudah tua itu tersenyum pada saya, saya merasakan ada energi yang membuat saya damai. Kenapa saya tidak bisa begitu? Dengan senyum dan tutur kata serta didukung penampilannya yang sederhana tetapi tertata, si ibu tua itu tampak sangat cantik dan mata saya suka melihatnya.
Hari itu si ibu menjadi berkat untuk saya. Saya jadi sadar apa yang saya lakui tiap hari yang sudah seperti kaset side A dan B atau de javu itu, ternyata akibat ulah saya sendiri. Saya tidak mencoba membuat sesuatu yang baru setiap hari. Bangun siang, nggak ada streching atau olah tubuh yang bisa bikin saya lebih segar. Pikiran saya pun stucked pada rutinitas yang jadi membosankan. Apalagi penampilan, ah capek deh...
Mulai hari itu, saya mencoba bertekad mengubah gaya hidup yang acak adul. Saya mulai coba bangun lebih pagi, sebelum mandi paling 15 menit gerak badan dulu atau latihan yoga sesuai petunjuk buku. Terus ya, penampilan meskipun masih pakai hem atau T-Shirt dan jins, paling tidak make-up saya tambah sedikit sana-sini (di atas jam 12 siang udah hilang hehe...ya kan masih dalam proses mencoba!). Yang tadinya polos-polos aja, saya mulai pakai aksesoris seperti kalung dan gelang imitasi. Saya juga usahakan pulang kantor tepat waktu dan yang penting sampai di kos, saya sisihkan beberapa jam untuk ngobrol dengan teman kos. Dari situ saya belajar mendengar. Suer sulit banget! Kadang kita terbiasa untuk didengar sih. Saya juga lagi belajar bersikap tulus. Ini juga sulit banget, kadang ketika senyum atau tertawa, meskipun saya yakinkan kalau itu tulus tapi mulut ini ternyata capek. Pertanda nggak tulus kan? Tapi saya tetap berusaha!
Itulah kenapa saya bilang setiap hari itu berkat. Dari hal kecil dan tampak sepele, kalau dilakukan dengan tulus, bisa berdampak buat orang lain. Saya yakin, hari ini saya ada bukan karena kebetulan saja, tetapi hari ini memang sudah dirancang untuk saya agar saya menjadi berkat juga. Tinggal gimana saya peka aja. Kayak seruan teman-teman kos saya suatu hari ketika akan berangkat kantor.
“Cie...tumben nih good looking!” Ehm...ternyata kalau orang lain ikut senang, saya pun merasa ‘different’. I feel the energy to live forward...

Monday, March 12, 2007

Elegi Untuk Garuda Boeing 737-400 Jakarta-Jogja 070307

Naaah...baru saja dirasani (dibicarakan), kejadian juga. Lagi-lagi kecelakaan pesawat, kali ini di kota saya, Jogja. Barusan saya tulis pengalaman tanggal 4 Maret lalu ketika saya lihat adegan akrobatik dua pesawat di angkasa pada malam hari, kini saya harus menelan ludah melihat kenyataan pesawat Garuda terbakar di bandara Adi Sucipto. Sebelum menyampaikan uneg-uneg, saya lebih dulu ingin berbelasungkawa kepada keluarga para korban kecelakaan pesawat ini. Kiranya ketabahan dikaruniakan pada setiap anggota keluarga yang ditinggalkan.
Suatu pagi yang cerah. Pagi yang seharusnya menjadi awal kesegaran diri setiap orang. Mungkin saat itu tiap orang yang menumpang pesawat nahas tersebut memiliki rencana yang tersusun panjang sesampainya di kota gudeg. Bangun tidur, penuh semangat menuju bandara, check in dan masuk waiting room, boarding, duduk manis, take off, melayang di udara dan siap-siap meluruskan kembali sandaran kursi karena pesawat segera landing, pesawat mulai terbang rendah, turun dan turun dan dash!!! Pesawat terus melaju dengan kencang di landas pacu, semua penumpang sampai mengerem kaki masing-masing, berharap pesawat segera berhenti, tetapi tidak!! Tidak ada yang berubah, pesawat tetap laju dan crash!!
Ya Tuhan, jauhkanlah kami dari semua ini. Siapa yang menyangka mungkin sejam lalu, kita masih antre check in, telepon sana-sini memastikan keberangkatan kita pada orang-orang tercinta, mungkin 45 menit yang lalu, kita memasang sabuk pengaman, mengambil permen yang ditawarkan sang pramugari, mungkin 15 menit yang lalu, kita menikmati suasana Jogja dari atas yang tampak seperti maket itu. Kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi pada 5,10 atau 15 menit yang akan datang. Mungkinkah kita lolos menuruni anak tangga pesawat, melambaikan tangan pada kekasih atau penjemput kita yang tersenyum di anjungan, menunggu bagasi keluar, tak sabar memeluk kekasih kita atau siapapun penjemput kita di ruang kedatangan. Menjalankan rencana panjang di kota gudeg. Ataukah rencana itu menjadi kenangan, lalu kita kehilangan atau kita sendiri yang “hilang”?
Ahh...Tuhan, di udara, di laut bahkan di darat pun nyawa kami tak dapat kami jaga sendiri. Hanya Engkau yang empunya semua yang menempel pada raga kami. Lindungilah kami dan bangsa kami. Lindungilah kami dalam duduk, berdiri dan berjalan. Di manapun kami berada. Amiin. (*)

Monday, March 5, 2007

Sesama Pesawat Dilarang Saling Mendahului

Alamak! Saya punya cerita seru nih (seru gak ya?). Ini terjadi pada suatu malam, tepatnya tanggal 4 Maret 2007 sekitar jam 21.00 lebih lah. Malam itu saya sedang bermotor-ria melintasi sebuah jalan di pinggir persawahan. Saya melihat di langit kejauhan sebelah timur (saya ada di kota Jogja utara), ada titik putih kecil berkelip-kelip. Saya bertanya-tanya kelip-kelip itu pesawat atau pemancar ya. Tetapi makin lama makin jelas kelip-kelip yang terus bergerak itu menunjukkan sebuah pesawat yang akan mendarat di Bandara Adi Sucipto.
Oh...biasa saja. Iya, sampai di sini memang biasa. Yang kemudian menjadi tidak biasa -minimal bagi saya- adalah ketika pesawat itu makin terbang rendah menuju arah barat untuk memutar sebelum melakukan pendaratan (mungkin), eh...tiba-tiba sebuah pesawat lain baru saja take off dari arah barat dan sepertinya akan menuju ke timur nyelonong, juga melakukan manuver belok pada ketinggian yang tidak jauh jaraknya dari pesawat yang akan mendarat tadi. Adegannya sangat membuat deg-degan bagi saya, orang awam yang menonton. Saya sengaja menghentikan laju sepeda motor untuk melihat apa yang akan terjadi. Karena jarak antara dua pesawat sangat dekat!!! Pandangan mata telanjang dari bawah sih jarak pesawat yang akan mendarat kira-kira ada dalam hitungan meter di atas pesawat yang membelok ke arah timur. Saya bisa melihat laju pesawat di bawahnya itu begitu cepat (seperti maksa membelok supaya tidak terjadi tabrakan kali). Deket banget!! Sayang saya tak bawa kamera yang bisa mengabadikan peristiwa itu. Mungkin saya yang berlebihan tapi apakah adegan ‘akrobat’ yang baru sekali itu saya lihat tadi wajar. Tapi saya berpikir, untung malam itu tidak ada awan tebal yang mengharuskan pesawat di atas (yang akan mendarat tadi) harus menurunkan ketinggian lagi pada saat yang bersamaan. Kalau iya, waduh, bisa-bisa keduanya bertumpukan dan blarrrr!! Hii ngeri deh...
Dulu pernah juga sih lihat pesawat tempur AU melayang rendah di sebalah timur di atas Bandara Adi Sucipto, dalam waktu sepersekian detik, sebuah pesawat Garuda melakukan take-off ke arah timur juga. Jadi adegannya sama akrobatiknya. Pesawat tempur lewat sementara Garuda naik (posisi masih miring geto). Saya heran bagaimana mungkin kesibukan naik-turun pesawat di bandara ‘diatur’ sedemikian mengerikan. Bandara ini memang mulai padat dengan jadwal pesawat tapi ya mbok jangan sembrono juga mengatur kapan naik kapan turunnya. Hargailah nyawa segelintir orang yang ada di pesawat itu. Mereka mungkin pulang atau pergi untuk menemui orang-orang yang mereka kasihi. Bayangkan apa yang terjadi kalau pesawat-pesawat di udara jadi seperti bis yang di jalan yak-yakan lajunya. Saling mendahului sambil membunyikan klakson sepanjang jalan. Saling potong jalan sana-sini hanya untuk berbelok. Hiii ngeri....

Welcome to my CILOQUE!

Why I call it Ciloque? Karena Ciloque adalah nama beken dari snack kesukaanku. Itu yang bentuknya bulet seperti bakso, dari tepung tok. Kadang-kadang di tengahnya ada sisipan putih telur tapi kuecil buanget. Makannya pake lidi, ditusuk sambil dicelupin saos (kadang bukan saos asli dari tomat atau cabe, hehe..). Harganya dari 100 sampai 250 ada! Oya, cilok itu bisa ditemukan di mana-mana. Beda-beda nama sih. Di jawa biasanya orang bilang cilok, sojek (bakso ojek), salome. Di Kalimantan aku pernah juga rasa namanya penthol. Bedanya di sini cuma tepung, kalau di sana pake telur puyuh. Untuk membeli cilok aku harus 'mematikan' dulu urat malu, karena aku mesti mampir ke depan SD atau sekolahan, bergerombol sama anak-anak SD sampai abang penjualnya nggak keliatan itu. Maklum itu cemilan (harusnya) buat anak-anak. Kalau di kantor lagi nggak ada bos, trus ada penjual cilok lewat, aku cegat aja dia. Tapi kalau bos ada, aku ndak berani hehe...kadang-kadang itu penjual gara-gara udah apal jadi ngetem trus di depan kantor. Welcome to my first blog, CILOQUE.