Thursday, September 27, 2007

Ngidam Valentino Rossi



Aneh juga ternyata. Dulu saya sering berpikir, kok bisa-bisanya wanita hamil punya keinginan macam-macam. Ah, dibuat-buat tuh kayaknya biar diperhatikan suaminya. Hehe...walhasil tahun-tahun pun berlalu, dan kini saya mendapat kesempatan itu. Saya hamil 3 bulan. Saya masih tidak terlalu yakin apa saya akan ngidam sesuatu, pengen makan aneh-aneh di jam-jam yang langka pula. Syukurlah hingga kini, saya tidak terlalu ngidam pengen makanan jenis tertentu, semua terlahap dengan sukses. Tetapi beberapa waktu belakangan saya jadi merasa seperti ada yang berubah. Bukan cuma badan yang sepertinya tambah melar, tetapi juga kegilaan saya melihat aksi seorang pembalap GP kenamaan Valentino Rossi.
Siapa sih nggak kenal dia? Mungkin cuma saya. Betul! Sebelum hamil ini, mana ngeh saya nonton motoGP, apalagi sosok Valentino Rossi. Padahal dia udah jadi juara dunia sampai 5 atau 7 kali? (hehe...nah lo, iya kan gak tau pastinya?). Baru sekarang ngeh dan tergila-gila? Alamak pliss deh....hehe...
Saya memang sering diajak nonton balapan suami, sejak masa pacaran dulu. Mulai dari balapan motor bebek di stadion sampai orang latihan gestrek (grass-track) di kampung gitu. Tapi saya tetep nggak ngeh balapan, cuma nemenin aja.
Semua itu berawal gara-gara mulai ikutan suami nonton GP di tivi. Soalnya gak ada lagi saluran lain yang ’diijinkan’ dilihat kalau remote udah di tangan suami, apalagi pas ada GP. Akhirnya sambil tiduran aja saya lihat sepintas lalu. Awalnya, bosen banget nih motor mutar-muter gak habis-habis. ”Berapa lap lagi pa?,” begitu tanya saya berulang-ulang pada suami. Kalau suami perhatikan betul racingnya, biasanya saya lebih suka mantengin wajah pembalapnya yang pas berlaga (biasanya) keliatan keren n cool abis dengan kacamata hitam itu.
Eh, pas giliran GP di Estoril Portugal, tentu suami tak absen mantengin tivi (Trans7). Mulai dari siaran 250CC, cuplikan siaran ulang 125CC, lalu tiba giliran 500CC atau GP itu. Mata saya mulai mengikuti gerak-gerik nomer 46, si Rossi yang beberapa waktu gak naik podium terus (berdasarkan info dari suami juga). ”Yah, Rossi kalah lagi nggak ya pa? Males ah nonton,” tanya saya. Saya lalu memejamkan mata dan tidur-tidur ayam di samping suami yang melototin tivi sambil tangan kanannya pegang remote erat-erat (biar gak diambil alih saya hehe...).
”Ma!Ma! Rossi ngejar ma, lihat tuh!!,” mendadak suami membangunkan saya. Entah mengapa, lantas saya bangun dan duduk, wuih Rossi tadinya di urutan agak belakang, mulai ngejar satu-satu tuh si ’Ducati’ Casey Stoner, ”Hah, ayo Rossi. Kamu bisa!! Ayo dong...,” sorak saya. Suami saya senyam-senyum. Jantung mulai deg-deg-an, takut Rossi jatuh. Sudah gitu, “Yes!! Rossi bisa ngejar Pedrosa di depannya, yes!! Ayo Rossi!!” Kala Rossi kembali dibalap Pedrosa, saya mulai gelisah, “Perasaan nggak gini-gini amat deh dulu,” celetuk suami saya. Saya mulai gelisah, antara takut Rossi kebalap Stoner di belakangnya dan kemungkinan dia bisa jatuh. Aduh! Karena tak tahan, saya keluar dari kamar tv dan menghela napas di ruangan lain, ”Pa, aku nggak nonton aja deh. Nggak tega lihat Rossi.”
Beberapa menit kemudian, suami berteriak, ”Ma, sini ma. Ini Rossi di depan lagi. Ma!” Saya tak bergeming dari kursi, ”Ogah ah, aku mau lihat dia pas udah menang aja.” Tak saya sangka, suami menghampiri saya dan membujuk untuk lihat lagi. Akhirnya saya pun lihat lagi perjuangan Rossi. Leganya, akhirnya Rossi menang!
Nah, mulai dari situ saya lantas tergila-gila Rossi. Saya mulai mencari informasi tentang Rossi di internet, foto-fotonya, kisah-kisahnya, halaman olahraga di koran yang biasanya saya cuekin, kalau ada info GP langsung saya baca. Buku otobiografi tentang dia yang biasanya juga cuma saya lewati selayang pandang di toko buku, kini saya bertekad akan membelinya! Sekarang, saya lebih cerewet memberitahu kabar perkembangan Rossi & jadwal pertandingan GP pada suami saya hehe...
Saya tak lagi ingin ketinggalan menonton balapan GP lainnya termasuk yang di Jepang. Pada balapan di Jepang itu, Rossi memang kalah. Saya sempat sedih bukan kepalang apalagi saya sudah gembira melihat dia di posisi pertama, hanya karena dia harus ganti ban kering dia jadi ketinggalan jauh di posisi 14. Juara dunia dipegang Casey Stoner. Tapi, saya tidak surut menggilainya. Pokoknya Rossi is the best ever! (aneh …padahal baru beberapa kali serius lihat GP). Apalagi pas Rossi dengan sangat sportifnya mengakui kehebatan Stoner yang lebih muda 7 tahun darinya. ”Inilah balapan. Selamat pada Casey. Jika ada pembalap lain yang menjadi juara dunia, saya bangga orang itu adalah fans saya,” katanya. Memang Stoner adalah fans berat Rossi dan pada kemenangannya sebagai juara dunia itu, Stoner mendedikasikan kemenangannya pada Rossi, idolanya. Hiks...mengharukan.
Balapan selanjutnya di Australia, terus di Sepang Malaysia. Sampai-sampai berangan-angan andai bisa ke Sepang …… “Udah nak, kita nonton orang-orang latihan grass track dulu di desa sebelah ya. Kalau mau ketemu Rossi, kita harus dari nol dulu. Hehe…,” ucap saya bergurau pada anak saya di dalam perut. Nggak peduli ah, mau menang atau kalah Rossi tetap ”The Doctor” who can heal his million of fans with his charismatic figur. Viva Valentino!!!

Tuesday, September 4, 2007

ANAK PENJAJA TOPENG MONYET

Sore itu, hujan rintik-rintik di luar sana. Kuambil secangkir teh yang dibuat Karlina, istriku. Sambil memandangi kaca jendela yang makin buram oleh air hujan, aku menikmati kehangatan teh sambil membaui uap yang keluar dari cangkir itu. Hmm… kental dan terasa agak pahit. Aku gemar minum teh kental, diseduh dengan air panas yang barusan mendidih. Bagiku rasanya melebihi jenis minuman apapun. Entah mengapa aroma teh itu tiba-tiba mengingatkanku pada masa lalu.

***

“Bagus pergi ke pasar!” Dung-dung-dung…. teriak bapak di tengah kerumunan anak-anak kecil. Bagus berjalan memutar sambil membawa payung dan keranjang kecil. Bapak mengarahkan gerakan Bagus memutar ke kanan dan ke kiri, kadang menghampiri anak-anak di dekatnya lalu terdengarlah teriakan mereka karena ketakutan. Dan aku, tugasku adalah memukul kendang untuk mengiringi pertunjukan topeng monyet bapak. Aku memang tidak setiap hari menemaninya keluar masuk gang-gang sempit di kota Yogyakarta untuk menghibur anak-anak itu. Hanya pada hari libur saja aku kadang ikut bapak.
Itulah jalan yang ditempuh bapak demi menghidupi ketiga anaknya. Aku, Fajar, anak paling tua, Tami adikku nomer dua dan Hadi si bungsu. Ibuku, seorang kuli gendong di pasar Beringharjo.
Sebelum menjadi penjaja topeng monyet, bapak pernah menjadi kuli gendong, tetapi sakit ambeien memaksanya berhenti mengerjakan profesi yang memerlukan tenaga ekstra itu. Ia pun bekerja serabutan. Menjadi tukang kebun, membantu tetangga mengecat rumah atau membersihkan rumput di rumah mereka, hingga membantu Koh Aseng yang punya toko besi. Namun karena penyakitnya itu, ia tidak mampu melakukan pekerjaan berat seperti mengangkut barang, bapak hanya melayani pembeli.
Kami bertiga besar dalam kondisi yang amat bersahaja. Ibu sering memasak telur dadar untuk sarapan pagi kami semua. Untuk menghemat, biasanya ibu menambahkan tepung terigu agar telur itu mengembang besar dan bisa dibagi lima. Dengan pelengkap sebotol kecap dan kerupuk, menu itu terasa nikmat. Kalau ada rejeki lebih, biasanya bapak membelikan bakmi goreng dengan tambahan balungan ayam di dalamnya untuk makan malam.
Ibu menjalani profesi buruh gendong hingga suatu hari sebuah truk menyenggol karung goni yang dipanggulnya dan ia terpelanting diterima motor berkecepatan tinggi. Kaki kanannya patah. Sejak itu ia sering merasa kesemutan dan ngilu bila berdiri terlalu lama, apalagi dengan beban di punggungnya. Ibu pun terpaksa berhenti menjadi buruh gendong dan menjadi buruh cuci piring di sebuah warung makan padang yang tak besar.
Sebagai anak sulung, aku merasa bertanggung jawab atas adik-adikku. Bapak dan ibu selalu berpesan apapun yang terjadi kami harus terus sekolah. Syukurlah, sekolah memberikan subsidi untuk Tami dan aku khususnya uang buku dan SPP. Demi membantu bapak menopang keluarga, aku pun menjajal berjualan di atas bis antar kota. Titipan dari distributor seperti permen, snack, batere, mainan, sampai kaos kaki pernah aku jualkan. Sepulang sekolah, aku siap di terminal dan menjajakan dagangan dari bis ke bis.
Suatu hari seorang kawan bapak menawarkan seekor monyet bersama perlengkapan topeng monyet –sebuah kotak dorong dan aksesoris si monyet– pada bapak. Entah bagaimana caranya, monyet dan perlengkapannya itu bisa jatuh ke tangannya dengan harga Rp 100.000,-
“ Koh Aseng yang bantu bayar separo,” kata bapak sambil tersenyum.
“ Apa bapak tahu cara mengendalikan monyet itu. Tami dan Hadi saja menjerit-jerit begitu bapak pulang membawa monyet itu,” tanyaku.
“ Si Bagus maksudmu, Le? Dia sudah jinak, asal kita rawat dan beri makan teratur. Lagipula pak Gatot teman bapak yang punya Bagus itu mau melatih bapak,” ujarnya bangga.
“ Jadi bapak akan menjadi tukang topeng monyet? Nggak kerja di Koh Aseng lagi?,” tanyaku menyelidiki.
“ Koh Aseng orang baik tapi rasanya bapak tidak banyak membantu di tokonya. Mau angkut-angkut takut penyakit bapak kambuh dan malah jadi beban orang lagi. Kalau tukang topeng monyet kan tinggal dorong kotaknya saja,” kembali bapak menjelaskan.
Aku terdiam sejenak. Aku merasa tidak siap mempunyai bapak berprofesi tukang topeng monyet. Aku membayangkan bagaimana tanggapan teman-teman di sekolahku, mereka pasti akan mengejek, aku tak kan punya teman. Bagaimana dengan Tami adikku, dia juga pasti akan diejek temannya.
Seakan tahu bahasa tubuhku, ayah menepuk bahuku sambil berkata, “ Le, kamu jangan malu punya orang tua seperti bapak. Ini bapak lakukan untuk menyekolahkan kamu. Ingat Le, apapun nanti yang terjadi yang penting ini dan ini,” jelasnya sambil menunjuk kepala dan dadanya.
“ Pikiran dan hatimu harus seluas samudera. Kamu harus berjiwa besar. Terimalah segala pernyataan dan sikap orang lain yang tidak menyukaimu atau mengejekmu dengan keikhlasan dan biarkan itu tenggelam oleh maafmu. Nanti kamu akan merasa legowo, bebas melangkah,” pesan ayah sambil berjalan menarik rantai Bagus, ia telah menjawab tanyaku tentang kepala dan dada yang ditunjuknya.
Maka ayah yang sudah beralih profesi itu mulai bergerilya dari satu gang ke gang lainnya sambil memukul kendangnya. Sekali pentas, ia menarik ongkos hanya Rp 3000 – 5000. Kalau sedang ramai lumayan uang yang diperolehnya. Demi menghemat, ibu tak jarang membekali nasi bungkus dan sebotol teh manis untuk makan siang bapak. Tapi sering juga bapak hanya membawa pulang uang Rp 5000 karena sepi. Pernah suatu hari ketika menjajakan makanan di atas bis, aku memergoki bapak tertidur di kursi penumpang paling belakang dengan kotak topeng monyetnya berisi Bagus. Rupanya demi sesuap nasi ia harus menjelajah seluruh wilayah. Aku tak tahan melihatnya, demi mencegah air mataku tak jatuh, aku segera turun dan pindah ke bis lain.
Dan seperti yang kuduga sebelumnya, teman-teman mulai menyadari aku anak si tukang topeng monyet. Tak jarang ada yang sengaja berjalan di depanku sambil menyuarakan “Dung..dung...dung kamu nggak pergi ke pasar Jar?” Telingaku meradang mendengarnya. Ingin kutinju mulut mereka kalau saja aku tak ingat pesan bapak. Suatu siang Tami terbirit pulang sambil menangis. Katanya dia baru saja diejek temannya. Ketika sedang berjalan pulang temannya berkata, “Eh...ada monyet lagi jalan sendiri!” Mendengar cerita dari kami sepulang kerja, bapak berdesah keras. Setelah menyeruput teh nasgitel buatan ibu, ia beranjak ke kamar mandi. Bapak mengusap kepalaku dan menunjuk kepala dan dadanya lagi. Aku ingat apa artinya. Berjiwa besar.
***

Selama beberapa tahun lamanya, keringat bapak dan ibu membuahkan hasil. Dari jerih payahnya, ibu bisa membuat warung kecil-kecilan menjajakan gorengan. Aku bisa tamat STM, Tami sekolah perawat dan Hadi bisa melanjutkan SMU. Setamat STM, aku tidak serta merta bisa bekerja. Aku harus keluar masuk perusahaan kecil menjadi pegawai paruh waktu, sebelum akhirnya diterima di sebuah perusahaan otomotif besar di Jakarta. Aku menjadi karyawan bagian assembly atau perakitan piranti motor. Awalnya, gajiku hanya cukup untuk menyewa kamar kos, makan dan transport.
Dulu aku sempat ragu beranjak ke Jakarta. Tetapi bapak mendorongku,“ Pergilah sejauh mungkin. Hidupmu pasti akan berubah, hanya hati-hatilah dan ingatlah ini...dan ini,” itu pesannya yang kesekian kali sambil menunjuk kepala dan dadanya. Demikianlah, bagiku bapak bukan penjaja topeng monyet biasa. Dia adalah motivator terhebat yang kumiliki. Pesan itu terpatri dalam hatiku. Aku dan adik-adikku harus menjadi orang yang berjiwa besar dan berpikir luas hingga keadaan tidak akan membuat kami berkecil hati dan enggan untuk melangkah meraih masa depan kami masing-masing.

***

Lambat laun waktu membawaku pada perubahan itu. Kini aku sudah menjadi supervisor dan memiliki seorang istri bernama Karlina. Kami tinggal di rumah yang kubeli sedikit demi sedikit dari gaji kami berdua. Karlina adalah seorang guru TK. Lima tahun menikah kami belum dikaruniai anak. Kami menerima kenyataan ini dengan berbesar hati seperti pesan bapak.
Hujan masih saja membuat kaca yang kupandangi kabur, tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Aku tak kuasa menahan air mata keluar dari pelupuk mataku. Aku menunduk sambil memandangi cangkir teh yang sudah separuh kosong.
“ Ada apa mas? Kenapa menangis?,” tanya istriku memergokiku.
“ Aku hanya ingat bapak. Aku menyesal tidak ada di sana ketika gempa merenggut nyawanya,” jawabku terbata sambil berusaha tenang. Pikirku menerawang lagi.

***

Kala itu Sabtu, 27 Mei 2006. Pagi-pagi benar aku masih bermalas-malas tidur waktu istriku menggoncang tubuhku dan mengabari bahwa Jogja dilanda gempa berkekuatan 5,9 SR. Rumahku termasuk berada di wilayah terparah. Kami coba menghubungi handphone Tami dan mengirim sms tetapi tidak bisa. Berita di televisi semakin membuatku panik hingga kuputuskan untuk pulang hari itu juga.
Kakiku melemah kala senja itu kupijakkan kaki ke gang menuju rumah bapak. Rumah-rumah telah rata hancur. Makin lemas ketika kulihat bendera putih di depan gang rumah Bapak. Diiringi guyuran hujan kulihat sebuah meja di pelataran beratapkan terpal yang sudah melengkung karena menahan air hujan, di atasnya terbujur sesosok yang entah siapa. Bapak? Ibu? Achh tidak! Aku lari dan membuka penutupnya.
“Bapak!,” tubuhku terguncang-guncang oleh tangisku. “Maafkan Fajar....baru memelukmu kali ini, seandainya bapak dan ibu mau tinggal bersama kami di Jakarta,” kataku tercekat di dekat telinganya. Wajahnya lebam dan luka memenuhi kepalanya. Kulihat rumah bapak sudah rubuh. Hatiku tersayat. Hadi menghampiri dan menenangkanku.
“ Hadi, dimana ibu?,” tanyaku padanya sambil memapahku duduk di bawah terpal yang bocor sana-sini. Aku paham kenapa jasad bapak hanya dibiarkan di pelataran. Kala itu tak ada seorang pun berani berlama-lama di dalam rumah. Gempa itu membuat orang trauma, apalagi malam itu listrik masih padam dan hujan turun dengan derasnya. Aku pasrah.
“ Ibu masih di rumah sakit. Mbak Tami yang menungguinya. Alhamdulilah, ibu hanya luka ringan. Tetapi beliau masih shock kehilangan bapak, mas,” jelas Hadi sambil membawakan teh hangat.
Ia melanjutkan, “Pagi tadi ibu baru melangkah keluar akan ke pasar. Tiba-tiba gempa terjadi dan semua begitu cepat. Kata ibu, bapak sedang selesai mandi dan sedang bersenda gurau dengan si Bagus”
Aku menengok pada Hadi ketika ia menyebut Bagus.
“ Iya, bapak masih keliling dengan Bagus. Terakhir mas Fajar menengok bapak waktu lebaran itu, bapak sengaja menitipkan Bagus ke Koh Aseng biar mas Fajar nggak lihat bapak masih nopeng monyet. Kami nggak bisa melarang, mas. Sepertinya bapak sudah tidak bisa lepas dari Bagus begitu juga Bagus. Dia juga mati seketika tadi pagi, tertindih tembok bersama bapak,” Hadi menunduk.
“ Maafkan Hadi mas, malam sebelumnya Hadi menginap di rumah teman di kota. Hadi juga menyesal tidak bisa menyelamatkan bapak,” air mata meleleh di pelupuk Hadi.
Aku tergetar mendengar kesaksian Hadi. Bagaimana mungkin semua ini ditutup rapi oleh bapak. Aku sudah melarang bapak keliling membawa Bagus. Ternyata ia masih curi-curi kesempatan untuk menjajakan topeng monyet itu. Tapi dalam hati kecilku, aku mengaguminya.
Sebelum dimakamkan, aku sekali lagi menyempatkan melihat bapak. Aku melihat wajahnya sekalipun lebam, tetapi terlihat tentram seperti orang yang sedang tidur. Ia legowo, ikhlas menerima semuanya. Kemiskinan tidak membuatnya berkecil hati untuk terus berusaha, kini setelah semua harapan bagi kami bertiga terwujud, bapak harus meninggal dengan cara yang mengenaskan.
“ Kamu harus berbesar hati menerima kenyataan hidup,” aku membayangkan bapak mengatakannya di depanku.
“ Bahkan kematian pun tidak meniadakan kebesaran jiwamu,” batinku, mataku tertuju pada sebuah kotak biru yang catnya sudah mengelupas di sana sini. Kotak itu tergencet tembok dan besi. Aku bisa melihat kendang yang dulu kumainkan bersama bapak mengiringi Bagus. (*)

Handphone

Sebenarnya, aku masih belum rela melepaskan kepergianmu. I miss you much...

“Tolong kasih penjelasan yang masuk akal padaku, siapa sebenarnya Yona? Apa artinya ini?,” begitu tanya Theo pacarku selama 5 tahun yang kini jadi tunanganku dengan geramnya pada suatu kali memergoki sebuah sms dalam handphone-ku.
Kali lain, dia bilang, “Aku berhak dong merasa cemburu. Jangan menebar harapan pada setiap lelaki yang mengenalmu.”
“Tenang Theo, jangan emosi. Yona itu rekan baruku. Biasalah, itu percakapan rubish. Aku nggak anggap serius,” aku coba menerangkan ketika Theo menginterogasiku. Waktu itu, aku lupa menghapus pesan yang bernada ‘rayuan gombal’ dari Yona, mitra kerjaku di Surabaya.
Walau sebenarnya alasan yang kuberikan juga itu bohong. Aku tidak mau menyakiti hati Theo. Aku cuma lupa menghapus pesan Yona. Itu saja yang kuanggap sebagai kesalahan besar hingga membawa kami pada pembahasan tentang Yona setiap aku dan Theo bertemu.
“ Apa Yona masih sms kamu? Jangan bohong,” Theo memohon padaku sambil merebut hanphoneku. Dia mulai mengutak-atik kotak surat di dalamnya.
“ Fuh...untung kali ini aku tidak lupa menghapus jejak,” batinku.
“ Tidak. Aku tidak bohong. Jangan seperti anak kecil deh,” aku selalu dibakar rasa marah setiap kali Theo coba menyelidiki.
Aku sadar resiko ini. Berbohong bahwa aku tak pernah menganggap sms Yona berarti. Sedari awal sudah aku sadari. Tapi entah kenapa aku menikmatinya. Mungkin aku sedang merasa jenuh. Jenuh karena hubungan yang sudah terlampau lama. Bosan dengan Theo yang amat baik padaku. Bosan yang aneh, karena tidak ada yang salah dengan Theo dan hubungan kami.
Aku dan Yona, setahun terakhir berhubungan. Yona bekerja pada mitra perusahaan di Surabaya. Kami bertemu di sebuah acara gathering. Setelah dua kali bertemu, barulah kami sering berkirim pesan melalui handphone. Awalnya rasa itu tidak ada sama sekali, tetapi gaya Yona yang smart dan gentle itu menumbuhkan rasa suka dalam hatiku. Pada awal perkenalan kami, Yona sudah kuberi tahu bahwa aku bertunangan dengan Theo, tetapi kenyataan itu tidak menyurutkannya menaruh perhatian kapadaku. Beberapa kali sms-nya berisi kalimat yang menggoda perasaanku.
Maukah kamu kalau aku menunggumu? Sms Yona kubaca suatu kali ketika sedang menunggu pesawat di bandara Juanda untuk kembali ke Jakarta. Seketika itu juga hatiku berdegup kencang, perasaan aneh yang tidak pernah lagi kurasakan selama 5 tahun terakhir. Perasaan seperti jatuh cinta lagi. Keringat dingin membasahi tanganku dan aku bingung mencari kata untuk membalasnya. Pikiranku berkecamuk saat itu, terus terang aku memang jatuh cinta lagi pada pria bernama Yona, tetapi aku tidak mungkin memalingkan perasaan dari orang yang amat mengasihiku selama ini.
Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, kemudian jari kananku dengan gemetar memilih huruf demi huruf.
“Jangan menungguku, aku pasti akan mengecewakanmu, “ begitu bunyinya. Setengah tak percaya kubaca ulang kalimat itu. Benarkah? Aku bertanya dalam hati sekali lagi. Tetapi jariku memencet tombol send. “Ufh...aku telah melewatkannya,” batinku sambil menghapus pesan dari Yona itu dari handphone-ku.

******
Demi meredam ketegangan antara aku dan Theo tiap kali bertemu, aku berpesan pada Yona untuk mengirim sms hanya pada jam-jam kerja dan tengah malam. Karena saat-saat itulah, aku dan Theo tidak bertemu. Yona menyanggupi, tetapi dalam hati aku merasa bersalah karena rasa-rasanya Yona hanya menjadi pelarian perasaan bosanku pada Theo. Meski sebenarnya, ingin rasanya aku tega untuk meninggalkan Theo dan menjadi kekasih Yona, seperti yang diharapkannya. Begitupun sebaliknya aku merasa bersalah karena secara diam-diam aku telah berselingkuh perasaan dari Theo.
Aku tak mengerti mengapa saat bersama Theo, aku kangen pada Yona. Bahkan pernah, ketika sedang jalan bareng Theo, aku minta ijin menelepon Yona. Aku pura-pura beralasan urgent menelepon Yona karena urusan perusahaan. Padahal aku melakukannya karena rindu mendengar suaranya. Theo mengijinkan! Saat itu Theo belum berprasangka buruk terhadap Yona. Begitulah setiap hari, separuh otakku hanya memikirkan Yona.
Suatu malam, handhponeku berbunyi, kubaca identitas peneleponnya Yona. Biasanya Yona hanya missed call, begitu kuangkat dia mematikannya. Kali ini aku sengaja langsung angkat HP.
“Halo!,” lalu aku diam. Tetapi kali ini lain, Yona tidak menutupnya.
Dari seberang kudengar ia membalas ucap, “Hai...met malam. Lagi apa? Aku kangen banget sama kamu. Gimana kabarmu?”
“ Ehm.. eh..aku baik-baik aja. Lagi baca buku. Kamu ngapain?,” aku mencoba menutupi kegugupanku.
“ Aku lagi nelpon. He..he... aku mau ngabarin aja kalau mulai bulan depan aku dimutasi ke Balikpapan. Jauh ya?,” ujarnya tanpa ngalor-ngidul.
“ Oya? Hm.. jauh dari apa dan siapa. Yaa, kalau itu baik buat masa depan karirmu, kenapa tidak?,” ucapku sok memberi semangat. Bagiku toh sama saja, Yona di Surabaya dan Yona di Balikpapan. Yang membuat kami ‘dekat’ selama setahun terakhir hanya Handphone.
“ Makin jauh dari kamu lah. Ya udah deh, aku cuma mau ngasih tahu itu,” Yona seperti hampir menyudahi pembicaraan.
“ Jangan tutup teleponmu Yona,” pintaku dalam hati.
Yona memang bukan pria yang suka berlama-lama ngobrol, tapi pada setiap pembicaraan baik ketika langsung bertemu maupun hanya tersirat melalui sms, selalu meninggalkan kesan dalam hatiku. Yona, pria yang simpatik. Mengingat jawaban yang pernah kuberikan padanya saat dia mengharapkan hatiku, aku tahu Yona pria yang menghormati keputusanku. Dia tidak memaksakan kehendaknya sekalipun aku tahu betul dia amat mengharapkan diriku.
“ Mey, aku suka sekali sama kamu. Tapi cuma bisa di hati aja ya?,” katanya lagi.
“ Duh... Yon, jangan bikin aku nangis dong. Ehm, kuakui sebenarnya perasaanku nggak jauh beda sama kamu kok. Tapi kamu tahu keadaanku saat ini tidak memungkinkanku memilih. Biarlah perasaan ini jadi rahasia kita berdua ya.,” jelasku memberi pengakuan sambil menahan kelu di tenggorokan.
“ Oke, kucoba ya. He..he.. oke met bobok. Sampai jumpa,” Yona benar-benar menyudahi pembicaraan kami.
Aku tertegun sebentar. Lalu mengijinkan air mataku tumpah. Yona...Theo...oh...Tuhan, manakah yang harus kupilih?
****
Itulah kali terakhir Yona meneleponku. Sejak itu ia tak lagi berkirim kabar lewat sms pada jam-jam istimewa yang kucanangkan padanya. Aku coba tidak gegabah mengirimkan sms sekedar bertanya apa kabar. Selain gengsi juga, aku tahu pasti itu akan kembali mengoyak perasaan kami berdua.
Pikiranku masih teguh memegang janji untuk tidak meninggalkan Theo. Dia amat baik kepadaku. Meskpiun setiap kami bertemu, satu hal yang segera ia lakukan adalah menscreening handphoneku. Kalau-kalau masih ada jejak percakapan atau sms antara Yona dan aku. Aku selalu berhasil mengelabuhi Theo, aku selalu meyakinkannya bahwa tidak ada lagi komunikasi lagi antara aku dan Yona. Kali ini kenyataannya memang betul. Padahal sebenarnya aku ingin berkata jujur, “Theo, kamu baik sekali padaku. Bisakah kita sudahi hubungan kita selama ini?” Hanya orang gila yang tega melakukannya. Oh..andai bisa....tidak, aku tidak mungkin setega itu!
“May, aku hanya punya usaha kecil. Di luar sana memang banyak lelaki yang lebih baik posisinya. Aku tahu kamu bisa lepas dariku. Aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Asal aku bisa melihatmu bahagia, itu sudah cukup bagiku,” tiba-tiba saja barisan kalimat yang tak biasa kudengar itu meluncur dengan lancarnya dari mulut tunanganku, Theo. Ia mengatakannya sambil berkaca-kaca.
Kamu pikir aku cewek matre? Aku cuma bosan. Itu saja, aku nggak punya penjelasan kenapa! “Theo, kenapa kamu tanyakan itu? Kamu tahu kita akan menikah tahun depan,” balasku sambil masih saja dalam hati aku setengah gembira membayangkan bahwa aku diijinkan untuk memutuskan hubungan kami oleh Theo sendiri! Kenapa Theo menanyakannya? Adakah ia tahu bahasa tubuhku yang sedang ingin berpisah dengannya? Ataukah dia pernah menghubungi Yona dan menanyakan keadaan yang sebenarnya? Oh...kepalaku berputar cepat untuk mencari jawaban itu.
“Mungkin Yona lebih baik buatmu,” penjelasan berikutnya seperti ketapel mengenai ulu hatiku. Adakah Theo tahu aku sedang jatuh cinta lagi pada orang lain bernama Yona? Daripada aku bicara dalam keadaan kalut sekedar mencoba meluruskan yang sebenarnya, aku memilih diam. Karena aku juga tidak yakin apakah hatiku akan berkata jujur untuk menerangkan yang sebenarnya pada Theo.
Sejak pernyataan Theo itu, aku jadi berpikir keras. Perasaan bersalah menyelimuti hatiku. Tidak hanya kepada Theo, karena aku telah mengkhianati komitmen kami karena alasan bosan yang aneh itu, tetapi juga kepada Yona. Mengapa jujur kuutarakan perasaan pada Yona waktu itu? Bukankah dengan begitu aku memberinya harapan? Mengapa dulu aku tidak menghindarinya sehingga dengan jelas Yona tahu cintanya bertepuk sebelah tangan?
Hari-hari berlalu tanpa sms dari Theo lagi. Sekalinya bersms, ia hanya memberi tahuku tak bisa menjemputku lagi. Tanpa Theo aku merasakan keanehan yang merasuk hatiku. Perasaan antara lega dan takut. Lega karena memang ini yang kuinginkan, putus dari Theo (dan menerima Yona) tetapi anehnya aku juga masih takut kehilangan Theo, mengingat apa yang sudah kami lalui selama ini. Ah, apakah aku memang perempuan paling plin-plan di dunia ini?
Tanpa kuduga, suatu hari Theo menjemputku dan mengajakku makan malam di restoran favorit kami. Inilah saat yang tepat aku memberinya penjelasan, batinku. Biasanya Theo hanya perlu beberapa hari untuk meredakan emosinya dan memaafkan kesalahanku. Anehnya, mulutku tak juga segera membuka untuk sekedar minta maaf dan ingin kembali melanjutkan hubungan kami hingga menikah kelak. Theo justru memesan makanan favorit kami dan kami makan hingga selesai tanpa sepatah kata pun. Aneh...
“ May, aku ingin mengatakan sesuatu,” Theo membuka percakapan sambil meluruskan posisi duduknya.
“Lebih baik kita sudahi saja hubungan kita ini. Aku tidak ingin memaksamu mencintaiku dan mengorbankan perasaanmu yang sebenarnya. Aku rela May, kamu harus bahagia.”
Apa lagi ini? Kepalaku seakan ditinju, pening rasanya untuk meyakinkan diriku bahwa Theo betul-betul memutuskan aku! Dia mengatakannya sambil mengembalikan cincin pertunangan kami yang tersemat di jari manisnya. Aku ingin berteriak tidak! Tetapi aku hanya bisa tertegun sambil melelehkan air mata. Kudengar Theo hanya menarik napas panjang dan dia pergi meninggalkan aku sendiri. Ya sendiri.... “May yang bodoh! Malapetaka ini hanya disebabkan oleh May seorang!,” aku mengumpat diriku sendiri berulang-ulang.
Beberapa hari aku menyesali diri. Theo, kini tak lagi menjadi tunanganku. Kini aku sendiri. Bukankah itu yang kuinginkan? Apa lagi? Oya, Yona! Pria itu kembali muncul di benakku. Yona, sekarang aku sendiri. Sekarang aku bisa mengatakan Ya pada kamu. Tapi bagaimana caranya?
Setelah menimbang-nimbang, menyingkirkan segala gengsiku, aku beranikan diri mengambil handphoneku. “Aku akan meneleponnya sekarang,” ujarku mantap dalam hati.
Kupencet 12 digit nomor handphone Yona. Aku sudah bayangkan suaranya. “Maaf. Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar.” Begitu jawaban yang kuperoleh. Kucoba lagi, lagi dan lagi. Tetap saja jawabnya sama. Wahai Yona, dimanakah kamu? Aku mulai gelisah. Setiap kali kucek handphone adakah Yona menelepon atau mengirim selarik sms. Tapi itu tak kunjung terjadi, hingga berbulan-bulan lamanya. Mungkinkah nomer Yona sudah ganti? Aku berharap bisa menemukan jawabnya.
“ Tau rasa kini kau, May. Theo meninggalkanmu, Yona pun tak kau ketahui rimbanya. Ketika kau bimbang memilih di antara keduanya, kau justru kehilangan dua-duanya!” kata hatiku mengomeli diriku sendiri. Ya, air mataku membanjir. Kini aku benar-benar sendiri. Hanya handphoneku itu kupandangi, sambil terus berharap, Yona...meneleponlah... (*)