Thursday, March 29, 2007

Sorry or Maaf?

Tak sedikit di antara kita (termasuk saya) di negeri Indonesia ini, yang kalau ngrasa salah atau ditegur orang lain karena berbuat salah, bukannya bilang “Maaf, ya” tapi “Sorry ya”. Ya nggak salah sih secara substansi. Dua-duanya sama-sama dimaksudkan untuk meminta maaf pada orang lain. Bedanya yang satu pakai bahasa Inggris. Tapi, meskipun sama maknanya kayaknya lidah kita lebih ngrasa nyaman bilang sorry dibanding maaf. Pada kata maaf, rasa-rasanya di dalamnya terkandung unsur ketulusan dan pernyataan yang sungguh-sungguh bahwa kita menyesal dan tidak gengsi meminta pengampunan. Sedangkan pada kata sorry (apalagi kalau kita bilang sorry pada sesama orang Indonesia), kesannya terasa sebenarnya kita berbasa-basi saja, tidak benar-benar ingin meminta maaf, ada unsur gengsi atau malu-malu mengakui kesalahan kita.
Bobot kesungguhan pada kata maaf dan sorry itu jadi beda. Kadangkala mengakui kesalahan dan berkata “Maaf” kepada orang lain sungguh memerlukan keberanian. Biasanya kita selalu merasa benar. Kalaupun kita memang salah, kita seringkali meyakinkan diri bahwa pihak kita (sebenarnya) sudah benar dan orang lain saja yang salah menanggapi atau parahnya kita malah tidak peduli. Kita lalu mencari-cari alasan untuk bisa membenarkan diri.
Di sebuah harian nasional, pada satu halaman yang sama, saya menemukan 2 artikel dengan judul besar berbunyai “ Eurico Guteres Meminta Maaf “ dan “Menteri Pertahanan Malaysia Minta Maaf “. Masing-masing menyangkut masalah yang berbeda, Guteres berhubungan dengan kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur sedangkan Menhan Malaysia berhubungan dengan kasus Ambalat. Bukanlah sebuah ketidaksengajaan rasanya kalau judul kedua artikel itu ditulis besar hingga menarik perhatian mata untuk membaca isinya. Media ini mengangkat “Maaf” mereka sebagai sesuatu yang menunjukkan sikap ksatria yang bermakna tulus dan patut dihormati. Ketika selesai membacanya, orang bukannya mencemooh tapi justru merasa lebih menghargai pernyataan sikap ini.
Jadi moral ceritanya apa nih? Ya jangan sungkan kita melatih diri untuk benar-benar meminta maaf bila kita melakukan kesalahan. Sekecil atau sesepele apapun kesalahan itu menurut kita, bisa jadi bagi orang lain sudah sangat menyakitkan. Saking menyakitkannya, sampai kata “sorry” pun tidak cukup. Pilihan kata “maaf” untuk menyatakan penyesalan lebih tepat. Ya mirip-mirip dengan kebiasaan mengungkapkan rasa sayang misalnya pada pacar atau orang tua. Alih-alih menggunakan “Aku sayang kamu” kita lebih enak pake “I love you”. Sama-sama maknanya tapi lebih dalam yang mana?
Ini pendapat dari kacamata saya lho, sifatnya lebih subyektif. Nggak semua yang saya utarakan ini benar menurut orang lain. Yah, kalau gitu, saya minta maaf kalau pendapat ini terlalu menggurui.(*)

Thursday, March 22, 2007

Phase of My Life (Part 1)

Akhirnya masa ini datang juga. Saya harus tunduk pada waktu dan harapan. Saya harus puas melepas 28 tahun bersama ego dan kesenangan. Saya segera menjadi dua, tetapi satu. Saya tidak ingin menyia-nyiakan masa yang tinggal 3 bulan ini! Saya kembali memutar ulang kaset memori saya.
Kala saya TK, saya punya 2 orang sobat kental namanya Tari dan Lusi. Saking akrabnya kami kemana-mana bertiga. Sampai-sampai kami dijuluki DeTaLu girls. Di antara kami bertiga, sayalah paling suka molor bangunnya. Bisa dijamin ketika dua teman karib saya itu menghampiri untuk berangkat sekolah, saya masih tidur. Akhirnya mereka menunggui saya, lebih sering mereka akhirnya berangkat duluan.
Kala saya masih SD, saya adalah anak yang sangat cengeng. Hobinya menangis kalau ditinggalkan ibu yang senantiasa menungguiku di luar kelas. Apalagi kalau telat dijemput dari sekolah. Aduh, aku bisa menangis meraung-raung. Kebiasaan itu tidak surut meskipun dalam seminggu aku bisa lebih dari 2 kali menangis ketika bapak atau ibu telat menjemput. Ibu guruku sepertinya mahfum, paling-paling tugasnya menemaniku sampai jemputan datang.
Pernah suatu ketika, karena belum dijemput, aku nekat mengikuti seorang teman laki-lakiku yang kebetulan rumahnya dekat dengan rumahku. Namanya Bambang. “Mbang, aku ikut kamu,” ujarku mantap. Meski Bambang bengong sebentar dia lalu menjawab, “Aku mau ke rumah nenekku. Aku nggak dijemput. Jalan kaki.” Dan jawabku mungkin membuatnya sebal, “Iya, aku ikut jalan kaki.” Saya berjalan berpuluh kilo hingga sampai di rumah nenek Bambang dan dimarahi. Lalu mereka mengantar saya pulang.
Waktu itu, saya paling suka dijemput bapak atau ibu lalu kami mampir ke warung atau toko, makan siang atau mengantar ibu belanja. Oya, pada masa SD inilah, saya sudah mendapat menstruasi pertama, tepatnya di kelas 4 SD! Bisa dibayangkan betapa paniknya saya. Peristiwa ini juga sempat membuat saya stress jadi saya berubah seperti orang bingung. Saya paling sebal kalau ada teman laki-laki yang naksir saya, bahkan melirik saya, saya bisa naik pitam. Saya sempat dibawa ke psikiater dan sang ahli mengatakan itu karena perubahan hormonal saja. Leganya…..
Ketika SMP, penampilan abadi saya sejak TK hingga SD terus saya bawa. Rambut panjang dikepang kuda plus poni di depan. Saya ikut ekstra kurikuler baris berbaris dan menempati sab ke dua dari depan. Lumayan kan tinggi saya. Selain itu saya ikut ekstra musik, pegang suling  Di SMP saya ikut bermacam lomba, selain baris berbaris juga lomba ensemble musik. Oya, saya mulai bergabung dengan kegiatan organisasi juga, salah satunya GEMA. Itu adalah wadah para pelajar SMP & SMU di Yogya yang hobi menulis. Tiap minggu, kami disediakan 1 halaman khusus di koran lokal namanya BERNAS yang harus digarap bersama-sama. Saya tidak punya pacar dan masih takut dengan cowok. Pernah, seorang teman cowok dari lain kelas naksir dan ingin berkenalan. Saat istirahat, itu cowok mendatangi saya dan duduk di samping saya. Tahu apa yang saya perbuat? Begitu dia duduk, saya lari tunggang langgang! Not even a word at all. Teman-teman mentertawakan saya. Oya, kebiasaan buruk saya, datang terlambat  Pasti tiap pagi saya masuk kelas tepat pukul 7, tidak pernah mengerjakan PR apalagi kalau matematika. Jadi begitu sampai kelas tergopoh-gopoh, saya lalu merepotkan teman sebangku namanya Lita Andini. Saya pinjam PR dia, hehe…. Lita sering saya buat marah. Dimana ya dia sekarang? Satu hal yang paling saya sebal adalah olahraga khususnya senam. Kenapa? Karena saya paling tidak bisa salto ke belakang. Saya selalu stucked sampai berdiri di atas kepala saja dan sulit untuk menjungkirkan badan ke belakang dalam keadaan seperti itu. Saat ujian akhir, salah satu materi senam yang harus lolos adalah salto ke belakang itu. Semua teman-teman saya berhasil melakukannya, sedangkan saya harus diberi jam tambahan oleh guru olahraga. Jadi ketika teman-teman sudah asyik menikmati jajanan di kantin setelah ujian itu, saya masih jungkir jempalitan di ruang olahraga! Tahu apa hasilnya?
Guru saya bertanya , “Kamu ikut ekskul apa sih?”
“ Musik.”
“Pegang apa di musik?”
“Suling, pak.”
“Oh, pantesan kamu cuma bisa lurus berdiri di atas kepala dan nggak bisa berguling ke belakang.”
“Sialan,” umpat saya.
Oya, di kelas 3 SMP rekor saya pecah. Apa itu? Memotong rambut! Ya, rambut panjang yang sudah dipelihara sejak lahir, TK, SD sampai SMP saya putuskan untuk di-po-tong.
Masa SMA. Ini adalah masa saya paling bandel, bebal dan keras kepala (yang terakhir ini sampai sekarang masih hehe…). Keaktifan saya di organisasi semakin banyak. Selain masih tekun di GEMA -karena GEMA itulah saya jadi sedikit beken karena dikenal teman-teman suka nulis di koran BERNAS- maka saya dipercaya mengelola mading sekolah, saya bergabung dengan OSIS, organisasi keagamaan seperti PSK (Persekutuan Siswa Kristen), menggelar event rohani seperti natal dan paskah di sekolah maupun bersama sekolah lainnya. Saya masih juga tidak punya pacar. Catatan : saya tidak lagi ikut baris berbaris karena di masa SMA, justru saya paling pendek. Hehe…Saya sudah mulai suka melirik cowok. Kriterianya, tinggi, suka main basket, bergaya pemimpin, aktivis di sekolah, bisa musik. Dan itu semua ada di Ketua OSIS!! Haha…tapi ya kami beda prinsip dan itu saya pegang teguh daripada nantinya malah kepentok (sok ke depan banget pikirannya yak..).Anehnya, saya tetap tidak suka cowok (terutama yang nggak saya sukai) naksir saya. Beberapa kali teman cowok bertandang ke rumah, saya cuekin. Bahkan ada yang datang baru parkir motor, saya sudah wanti-wanti ke ibu untuk bilang saya nggak ada. Padahal saya sembunyi di kamar. Ibu selalu berbohong untuk ‘menyelamatkan’ saya. Dia hanya tertawa melihat ini.
Saya juga suka pulang larut malam. Saya kan hobi banget nonton konser musik di mana-mana. Pernah suatu kali, saya nggak pamit nonton konser sama dua teman saya. Lokasi konser lumayan dekat tapi kalau jalan kaki udah telat. Akhirnya kami naik becak. Sialnya kami, becak diserempet motor berkecepatan tinggi dari sebelah kanan dan tuiiing si becak pun bermanuver entah bagaimana bentuknya tahu-tahu saya udah ada di posisi paling bawah tertindih 2 teman saya itu. Becaknya jadi penyok dan saya pun memar-memar. Tapi kami masih juga bersikeras nonton konser hingga larut malam dan saya kena marah ibu ketika sampai rumah.
Saya berjanji pada ibu tidak lagi pulang malam. Tapi janji itu tidak kekal, cuma bertahan 2 minggu. Setelah itu kumat lagi. Kali ini karena keasyikan dengan hobi menulis di GEMA. Biasanya hari Jumat-Sabtu, saya gunakan di markas GEMA kongkow-kongkow dengan teman-teman setelah seharian mengerjakan halaman khusus pelajar itu dan saya suka lupa waktu. Tak jarang saya masih pakai seragam sekolah ketika pulang dari markas sekitar jam 9 malam. Biasanya saya mengendap-endap supaya tidak ketauan ibu. Tapi pernah ketika mengendap-endap eh nggak taunya mereka sedang berkumpul bersama di ruang keluarga, lagi berdoa! (doain saya yang bandel ini). Merasa berdosa sekali saya. Yang bikin berang orang tua ketika satu malam saya pulang sudah hampir jam 12 malam! Saya keasyikan meliput acara bersama artis ibukota kala itu. Berjalan di gang menuju rumah ternyata sudah dijaga oleh para peronda. Aduh… muka saya mau ditaruh dimana? Tatapan mereka sangat sadis seakan menyimpulkan saya yang tidak-tidak. Aduh…maaf bapak dan ibu….
Kebandelan saya yang bertubi-tubi dan tak bisa dikendalikan itu akhirnya terbalas. Masa menjadi mahasiswa. Saya harus memutuskan menerima kenyataan untuk ‘dijauhkan’ dari orang-orang terkasih. Pasalnya saya diterima melalui jalur non-tes di universitas negeri di Solo. Memang kota ini lumayan dekat dengan Yogya tapi rasanya berat meninggalkan keluarga, meskipun akhirnya setiap minggu sekali saya pulang juga. Awal-awal menjadi perantau di kota Solo sangat menggelikan kalau diingat-ingat. Kebiasaan saya waktu itu adalah terserang sindrom jam 5 sore. Apakah itu? Maklum baru sekali ini jadi anak kos dan jauh dari ayah-ibu. Jadi kata orang Jawa “mbok-mboken”. Setiap menjelang jam 5 sore, saya selalu menangis berurai-urai air mata. Saya gelisah dan takut. Untuk menghibur diri, saya pergi ke rumah teman di kos sebelah. Apa yang terjadi? Ternyata teman saya itu (yang juga baru pertama kali ngekos) juga sedang menangis! Haha…jadilah kami bertangis-tangisan di kamarnya. Begitulah setiap sore hampir selama 3 bulan pertama di Solo, saya selalu bertandang ke kos teman saya itu. Akhirnya kami berdua nggak jadi nangis bersama tetapi berbincang-bincang dan ini cukup lumayan membantu kami melupakan sejenak perasaan melo itu.
Di Solo kegiatan organisasi saya mulai terpangkas lambat laun. Saya merasa iklimnya beda jauh dengan Yogya, cenderung bikin malas melakukan apapun. Hanya saya masih aktif di PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen) di tingkat fakultas maupun universitas. Saya punya 3 teman karib yang sama-sama aktif di PMK. Saking akrabnya, kami memberi julukan geng kami Empat Menguak Takdir (plesetan dari julukan bagi Sutan takdir Alisjabana cs “Tiga Menguak Takdir). Di fakultas, saya tidak terlalu menonjol. Tadinya ikutan kegiatan KineKlub bagi penggemar film-film tapi berhenti karena malas ikut kegiatan tambahannya semacam diskusi dan panitia-panitia gitu. Saya cuma senang nontonnya doang. Di masa inilah, pada semester 3, akhirnya saya tunduk pada panah asmara. Saya ketemu cowok dan memutuskan berpacaran. Rupanya cowok itu datang tepat waktunya. Karena selang sebulan saya pacaran, saya harus kehilangan ibunda saya terkasih karena penyakit jantungnya (kalau ingat kebandelan saya di masa lalu, saya sering menyesal mungkinkah saya yang menyebabkan penyakit jantung ibu kambuh lagi?). Saya betul-betul kehilangan motivasi dan pegangan. Dunia rasanya gelap, rasa melo yang sudah terkubur jauh kembali muncul. Sejak kepergiannya, saya suka menyendiri. Kemana pun. Tetapi kekasih saya itu sangat pengertian dan setia. Dia tidak suka menggurui. Dia hanya memberikan sebuah buku tentang bagaimana menyikapi kehilangan seseorang. Rupanya dia juga membacanya ketika harus kehilangan ayah-ibunya dalam waktu berdekatan. Begitulah, Tuhan selalu tepat mendatangkan pertolongan. Tepat maksudnya dan tepat waktu-Nya.
Kuliah saya cenderung mulus sampai akhirnya lulus tahun 2002 sebagai sarjana sosial. Usai kuliah, saya bekerja di sebuah dealer motor di Yogya dan hanya selang 3 bulan setelah bekerja itu saya mendapat pekerjaan yang lebih baik di kota Salatiga. Kini saya masih di Salatiga, bekerja sebagai Asisten Dirlak di sebuah LSM berbasis gereja. Saya masih berpacaran dengan kekasih saya yang dulu. Tujuh tahun sudah kami menjalani masa pacaran dan bila Tuhan mengijinkan, kami akan berjanji sehidup semati di depan altar Tuhan pada bulan Juli 2007 nanti.
Pada waktu dan masa, terima kasih atas kenangan yang kau toreh di memoriku. Buat ayah dan ibu, terima kasih telah menjadi pelakon utama yang mengisi diari hidupku. Sekarang saya harus siap menjalani etape selanjutnya dari episode kehidupan ini. Semoga Tuhan menolong saya. (to be continued).

Friday, March 16, 2007

Everyday Is A Blessing

Ketika kita memperhatikan hal-hal kecil yang sederhana di sekeliling kita, tanpa disangka-sangka hal-hal itu memberi pelajaran dan inspirasi hingga kita bisa berucap hidup hari ini adalah sebuah berkat. Percaya nggak?
Setiap pagi, ketika bangun tidur saya selalu tidak merasa segar. Malas sekali beranjak. Biasanya saya tidur lagi. Sampai setengah jam sebelum jam kantor baru deh saya siap-siap. Pokoknya kacau deh. Sampai kantor, baru jam 10 aja udah nguap, ngantuk. Dan itu berlangsung berulang-ulang selama 3 tahun kerja. Teman-teman kos juga bilang penampilan saya tiap pagi nggak segar dipandang mata. Ini baru saya sadari! Ternyata teman-teman di kos memperhatikan saya. Soalnya saya biasa pergi pagi pulang sore atau malam (bukan karena lembur tapi karena main game di komputer dulu!) dan kebanyakan waktu malam hari saya habiskan di kamar. Kadang-kadang temen kos bertandang ke kamar terus ngobrol sampai saya ngantuk. Terus tidur, terus bangun lagi, ngantor lagi, pulang, di kamar, tidur, bangun, dan seterusnya. Rasanya irama hidup dan aktivitas saya seperti kaset yang diputar dari side A ke B, B ke A, terus begitu dan parahnya isi lagunya sama!
Jadi hari-hari biasa saya lalui dengan banyak de javu. Kayaknya kemarin saya udah pernah melakukan ini atau eh kayaknya aku pernah baca itu. Apalagi penampilan, aduh itu jadi prioritas kesekian deh. Hem atau T-Shir plus celana jins, sepatu kets, cukup. Saya nggak pernah mikiin orang lain mau perhatikan atau tidak, cuek aja. Yang penting saya nyaman. Yang penting saya, saya, saya, dan saya. Ehm...self oriented banget deh.
Ini terjadi terus hingga suatu pagi. Saat itu seperti biasa, saya bangun ngaret, badan rasanya tidak segar sudah biasa. Nggak pake babibu, langsung loncat dari dipan, ambil perlengkapan mandi, ngloyor ke kamar mandi, pake pakaian, terus memakai bedak (tipis banget) dan lipgloss! Saya suka risih lihat cewek berdandan. Pas mau berangkat, saya ambil jam tangan, eh, apa nggak salah lihat? Kok baru jam setengah delapan (saya ngantor start jam 9). Ya ampun, karena buru-buru, saya pikir kesiangan bangun ternyata pagi itu saya justru terlalu awal bangun (dari hari biasanya).
Iseng-iseng buat ngisi waktu, saya ambil kamera di handphone saya, terus potret-potret diri deh (narsis banget yak?). Semua gaya sudah saya coba, rambut diurai tak ketinggalan. Ceprat cepret berulang kali. Kini giliran saya lihat hasil pemotretan. “Oh no!! Is that really me?!! Kok nggak ada yang bagus dari angel manapun?!” teriak hati saya. Oke, barangkali dengan mengubah gaya rambut. Rambut saya cepit ke belakang, poni dibelah pinggir kanan (biasanya tengah!), pake senyum, sisi kanan, kiri dan depan. Sudah. Sekarang lihat lagi hasilnya. Dan.....nggak bisa dikomentari deh. Saya sendiri kaget melihat look saya. Bawah mata ada lingkaran hitam, senyum terasa dipaksakan, yang paling ngeri adalah sorot mata saya betul-betul tidak menyala! Sekali lagi saya nggak nyerah, mungkin ini perasaan saya aja. Lagi, saya ambil kamera, kali ini saya khususkan menembak daerah wajah, full face, close-up. Cepret..cepret...berapa kali. Hasilnya....oh no!!! Lagi-lagi. Kini saya mulai melihat ada garis di sekitar hidung dan mulut. Saya seperti dimake-up tapi ketika siang, make-up di wajah itu pecah dan guratan make up membentu garis. Aduh saya aging!! Wajah saya seperti tertarik ke bawah, biar pun pasang senyum, tidak ada yang istimewa.
Oh rupanya begitu ya penampilan saya yang tampak luar dan dilihat orang? Pantes aja mereka bilang I’m not fresh at all! Saya aja males lihatnya, apalagi orang lain ya? Hehe... tapi cerita belum selesai. Pas mau berangkat kerja, 15 menit sebelumnya saya makan dulu ceritanya di warung langganan. Ketika mengantre ambil sayur, di depan saya ada seorang ibu dan seorang bapak tua. Si ibu lagi nyiduk sayur dalam plastik untuk dibawa pulang kira-kira. Si bapak menunggui di sebelahnya. Saya sabar menunggu di belakang si ibu. Ibu itu menyangul rambutnya ke belakang dengan semacam sumpit yang ada gantungannya. Memakai anting. Nggak ada pikiran apapun, sampai si ibu itu menengok ke belakang ke arah saya. “Halo, silakan ambil nak. Maaf menutupi ya?, “ katanya sambil tersenyum dan menggeser posisinya agar saya bisa maju. Begitu saya tatap wajah si ibu itu, nggak tahu kenapa hati saya ngrasa damai banget. “Silakan ini sendoknya,” ujarnya lagi pada saya. Ya ampun, saya kembali lihat wajah si ibu itu. Wow! So brightful. Saya tidak merasakan ada nada basa-basi di situ. Ada gurat dan garis memenuhi wajahnya tetapi tutur sapa, senyum dan nada bicaranya..wow!! Ibu itu tampak sangat cantik sekali di usia senjanya. Ketika saya makan, mereka (ibu dan bapak tua yang kira-kira suaminya) melangkah keluar sambil berujar lagi, “Mari nak...,” lagi-lagi sambil tersenyum dan ia menggandeng suaminya itu. God! Is she YOU?
Saya merasa ditampar dua kali pagi itu. Hei! Menjaga penampilan secantik dan sebagus mungkin itu sah-sah saja dan tidak pernah merugikan orang lain. Menegor orang dengan ramah dan menjaga attitude, juga nggak bakal merugikan saya. Ketika saya berpikir tentang diri saya sendiri, apa yang enak dan nyaman buat saya sendiri, ternyata membuat saya menjadi individu paling egois. Saya ngerasa sendiri, ketika si ibu yang sudah tua itu tersenyum pada saya, saya merasakan ada energi yang membuat saya damai. Kenapa saya tidak bisa begitu? Dengan senyum dan tutur kata serta didukung penampilannya yang sederhana tetapi tertata, si ibu tua itu tampak sangat cantik dan mata saya suka melihatnya.
Hari itu si ibu menjadi berkat untuk saya. Saya jadi sadar apa yang saya lakui tiap hari yang sudah seperti kaset side A dan B atau de javu itu, ternyata akibat ulah saya sendiri. Saya tidak mencoba membuat sesuatu yang baru setiap hari. Bangun siang, nggak ada streching atau olah tubuh yang bisa bikin saya lebih segar. Pikiran saya pun stucked pada rutinitas yang jadi membosankan. Apalagi penampilan, ah capek deh...
Mulai hari itu, saya mencoba bertekad mengubah gaya hidup yang acak adul. Saya mulai coba bangun lebih pagi, sebelum mandi paling 15 menit gerak badan dulu atau latihan yoga sesuai petunjuk buku. Terus ya, penampilan meskipun masih pakai hem atau T-Shirt dan jins, paling tidak make-up saya tambah sedikit sana-sini (di atas jam 12 siang udah hilang hehe...ya kan masih dalam proses mencoba!). Yang tadinya polos-polos aja, saya mulai pakai aksesoris seperti kalung dan gelang imitasi. Saya juga usahakan pulang kantor tepat waktu dan yang penting sampai di kos, saya sisihkan beberapa jam untuk ngobrol dengan teman kos. Dari situ saya belajar mendengar. Suer sulit banget! Kadang kita terbiasa untuk didengar sih. Saya juga lagi belajar bersikap tulus. Ini juga sulit banget, kadang ketika senyum atau tertawa, meskipun saya yakinkan kalau itu tulus tapi mulut ini ternyata capek. Pertanda nggak tulus kan? Tapi saya tetap berusaha!
Itulah kenapa saya bilang setiap hari itu berkat. Dari hal kecil dan tampak sepele, kalau dilakukan dengan tulus, bisa berdampak buat orang lain. Saya yakin, hari ini saya ada bukan karena kebetulan saja, tetapi hari ini memang sudah dirancang untuk saya agar saya menjadi berkat juga. Tinggal gimana saya peka aja. Kayak seruan teman-teman kos saya suatu hari ketika akan berangkat kantor.
“Cie...tumben nih good looking!” Ehm...ternyata kalau orang lain ikut senang, saya pun merasa ‘different’. I feel the energy to live forward...

Monday, March 12, 2007

Elegi Untuk Garuda Boeing 737-400 Jakarta-Jogja 070307

Naaah...baru saja dirasani (dibicarakan), kejadian juga. Lagi-lagi kecelakaan pesawat, kali ini di kota saya, Jogja. Barusan saya tulis pengalaman tanggal 4 Maret lalu ketika saya lihat adegan akrobatik dua pesawat di angkasa pada malam hari, kini saya harus menelan ludah melihat kenyataan pesawat Garuda terbakar di bandara Adi Sucipto. Sebelum menyampaikan uneg-uneg, saya lebih dulu ingin berbelasungkawa kepada keluarga para korban kecelakaan pesawat ini. Kiranya ketabahan dikaruniakan pada setiap anggota keluarga yang ditinggalkan.
Suatu pagi yang cerah. Pagi yang seharusnya menjadi awal kesegaran diri setiap orang. Mungkin saat itu tiap orang yang menumpang pesawat nahas tersebut memiliki rencana yang tersusun panjang sesampainya di kota gudeg. Bangun tidur, penuh semangat menuju bandara, check in dan masuk waiting room, boarding, duduk manis, take off, melayang di udara dan siap-siap meluruskan kembali sandaran kursi karena pesawat segera landing, pesawat mulai terbang rendah, turun dan turun dan dash!!! Pesawat terus melaju dengan kencang di landas pacu, semua penumpang sampai mengerem kaki masing-masing, berharap pesawat segera berhenti, tetapi tidak!! Tidak ada yang berubah, pesawat tetap laju dan crash!!
Ya Tuhan, jauhkanlah kami dari semua ini. Siapa yang menyangka mungkin sejam lalu, kita masih antre check in, telepon sana-sini memastikan keberangkatan kita pada orang-orang tercinta, mungkin 45 menit yang lalu, kita memasang sabuk pengaman, mengambil permen yang ditawarkan sang pramugari, mungkin 15 menit yang lalu, kita menikmati suasana Jogja dari atas yang tampak seperti maket itu. Kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi pada 5,10 atau 15 menit yang akan datang. Mungkinkah kita lolos menuruni anak tangga pesawat, melambaikan tangan pada kekasih atau penjemput kita yang tersenyum di anjungan, menunggu bagasi keluar, tak sabar memeluk kekasih kita atau siapapun penjemput kita di ruang kedatangan. Menjalankan rencana panjang di kota gudeg. Ataukah rencana itu menjadi kenangan, lalu kita kehilangan atau kita sendiri yang “hilang”?
Ahh...Tuhan, di udara, di laut bahkan di darat pun nyawa kami tak dapat kami jaga sendiri. Hanya Engkau yang empunya semua yang menempel pada raga kami. Lindungilah kami dan bangsa kami. Lindungilah kami dalam duduk, berdiri dan berjalan. Di manapun kami berada. Amiin. (*)

Monday, March 5, 2007

Sesama Pesawat Dilarang Saling Mendahului

Alamak! Saya punya cerita seru nih (seru gak ya?). Ini terjadi pada suatu malam, tepatnya tanggal 4 Maret 2007 sekitar jam 21.00 lebih lah. Malam itu saya sedang bermotor-ria melintasi sebuah jalan di pinggir persawahan. Saya melihat di langit kejauhan sebelah timur (saya ada di kota Jogja utara), ada titik putih kecil berkelip-kelip. Saya bertanya-tanya kelip-kelip itu pesawat atau pemancar ya. Tetapi makin lama makin jelas kelip-kelip yang terus bergerak itu menunjukkan sebuah pesawat yang akan mendarat di Bandara Adi Sucipto.
Oh...biasa saja. Iya, sampai di sini memang biasa. Yang kemudian menjadi tidak biasa -minimal bagi saya- adalah ketika pesawat itu makin terbang rendah menuju arah barat untuk memutar sebelum melakukan pendaratan (mungkin), eh...tiba-tiba sebuah pesawat lain baru saja take off dari arah barat dan sepertinya akan menuju ke timur nyelonong, juga melakukan manuver belok pada ketinggian yang tidak jauh jaraknya dari pesawat yang akan mendarat tadi. Adegannya sangat membuat deg-degan bagi saya, orang awam yang menonton. Saya sengaja menghentikan laju sepeda motor untuk melihat apa yang akan terjadi. Karena jarak antara dua pesawat sangat dekat!!! Pandangan mata telanjang dari bawah sih jarak pesawat yang akan mendarat kira-kira ada dalam hitungan meter di atas pesawat yang membelok ke arah timur. Saya bisa melihat laju pesawat di bawahnya itu begitu cepat (seperti maksa membelok supaya tidak terjadi tabrakan kali). Deket banget!! Sayang saya tak bawa kamera yang bisa mengabadikan peristiwa itu. Mungkin saya yang berlebihan tapi apakah adegan ‘akrobat’ yang baru sekali itu saya lihat tadi wajar. Tapi saya berpikir, untung malam itu tidak ada awan tebal yang mengharuskan pesawat di atas (yang akan mendarat tadi) harus menurunkan ketinggian lagi pada saat yang bersamaan. Kalau iya, waduh, bisa-bisa keduanya bertumpukan dan blarrrr!! Hii ngeri deh...
Dulu pernah juga sih lihat pesawat tempur AU melayang rendah di sebalah timur di atas Bandara Adi Sucipto, dalam waktu sepersekian detik, sebuah pesawat Garuda melakukan take-off ke arah timur juga. Jadi adegannya sama akrobatiknya. Pesawat tempur lewat sementara Garuda naik (posisi masih miring geto). Saya heran bagaimana mungkin kesibukan naik-turun pesawat di bandara ‘diatur’ sedemikian mengerikan. Bandara ini memang mulai padat dengan jadwal pesawat tapi ya mbok jangan sembrono juga mengatur kapan naik kapan turunnya. Hargailah nyawa segelintir orang yang ada di pesawat itu. Mereka mungkin pulang atau pergi untuk menemui orang-orang yang mereka kasihi. Bayangkan apa yang terjadi kalau pesawat-pesawat di udara jadi seperti bis yang di jalan yak-yakan lajunya. Saling mendahului sambil membunyikan klakson sepanjang jalan. Saling potong jalan sana-sini hanya untuk berbelok. Hiii ngeri....

Welcome to my CILOQUE!

Why I call it Ciloque? Karena Ciloque adalah nama beken dari snack kesukaanku. Itu yang bentuknya bulet seperti bakso, dari tepung tok. Kadang-kadang di tengahnya ada sisipan putih telur tapi kuecil buanget. Makannya pake lidi, ditusuk sambil dicelupin saos (kadang bukan saos asli dari tomat atau cabe, hehe..). Harganya dari 100 sampai 250 ada! Oya, cilok itu bisa ditemukan di mana-mana. Beda-beda nama sih. Di jawa biasanya orang bilang cilok, sojek (bakso ojek), salome. Di Kalimantan aku pernah juga rasa namanya penthol. Bedanya di sini cuma tepung, kalau di sana pake telur puyuh. Untuk membeli cilok aku harus 'mematikan' dulu urat malu, karena aku mesti mampir ke depan SD atau sekolahan, bergerombol sama anak-anak SD sampai abang penjualnya nggak keliatan itu. Maklum itu cemilan (harusnya) buat anak-anak. Kalau di kantor lagi nggak ada bos, trus ada penjual cilok lewat, aku cegat aja dia. Tapi kalau bos ada, aku ndak berani hehe...kadang-kadang itu penjual gara-gara udah apal jadi ngetem trus di depan kantor. Welcome to my first blog, CILOQUE.