Wednesday, December 19, 2007

Suatu Ketika Di Borneo Tengah


Selama seminggu saya berkesempatan untuk yang ketiga kalinya bertandang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Bedanya, dua kali kunjungan terdahulu, status saya masih single dan tujuan saya ke sana sekedar berlibur dan berkenalan dengan keluarga pacar saya. Tapi kali ini lain, saya ke sana ke rumah mertua, alias sudah tidak single lagi. Ya, Juli lalu saya sudah dipersunting (cieeeh) oleh seorang lelaki Dayak (lihat fotonya waktu manten, di atas). Waktu itu, kami menggelar syukuran pernikahan di Jogja. Nah, empat bulan kemudian, saya bergantian melakukan kunjungan ke tempat kelahiran suami saya untuk sebuah acara yang diberi nama Pakaja Menantu. Orang Jawa menyebutnya Ngunduh Mantu.
Pakaja Menantu memang serupa dengan Ngunduh Mantu. Pihak mempelai putri beserta keluarganya diundang keluarga mempelai pria. Di sana, digelar acara serupa seperti syukuran pernihakan, hanya lebih sederhana.
Dari Jogja, saya, suami, bapak & ibu serta kakak dan keponakan saya angkut semua, menggunakan jasa pesawat Mandala ke Banjarmasin. Sebenarnya ada penerbangan langsung ke Palangkaraya, tetapi harus via Jakarta dan tentu saja itu membutuhkan kocek lebih banyak. Itung-itung untuk menghemat, kami memilih via Banjarmasin. Tiba di Banjarmasin sudah gelap, kami harus transit semalam di sana. Dasar orang Jawa, begitu tiba waktunya makan malam, ada saja yang menjadi pergumulan. Jelas dibandingkan di Jawa, ongkos makan per kepala di sana 2 kali lipat lebih mahal. Kalau di Jawa (Jogja minimal) seorang bisa Rp 5000,- makan dengan telur plus air minum, di sana kami harus merogoh Rp 10.000-15.000. Di sana berasnya juga tidak sama seperti yang kita makan di Jawa. Beras di sana disebut beras Banjar, bentuknya kecil-kecil, kalau dimasak mudah ambyar (terpisah-pisah) tidak lengket seperti di sini. Sedikit banyak lidah kami harus menyesuaikan dengan makanan di sana yang umumnya bernuansa ikan-ikan dan daging. Teh manis yang disuguhkan pada makan malam di warung kaki lima malam itu, berasa seperti vanili (padahal teh ini buatan Jawa Timur, teh Golpara namanya). Lalu yang unik lagi, nasi goreng di sana warnanya merah muda, karena menggunakan saus yang warnanya lain tidak seperti yang umumnya dipakai di Jawa. Di sana jarang memakai kecap manis mungkin dan jarang ada kerupuk hehe.... Jadilah untuk makan malam itu nasi goreng dan pecel lele di kaki lima, kami habis Rp 60.000,- berempat. Hm....
Esok harinya menggunakan mobil kami menempuh jalan darat dari Banjarmasin menuju Palangka Raya. Perjalanan memakan waktu 3-4 jam. Awalnya dari Banjarmasin menuju Kapuas, jalanan masih kerap terasa terjal, banyak aspal bolong-bolong di tengah dan di pinggir. Mungkin karena sering dilewati truk bermuatan berat. Tetapi hal ini makin berkurang seiring mobil keluar dari perbatasan Kalimantan Selatan-Kalimantan Tengah itu. Jalanan mulai halus, beraspal tetapi bergelombang. Tak jarang, perut kami berdesir karena saking lajunya mobil melewati gelombang aspal yang tak kami sadari, berada di depan kami.
Sepanjang jalan hanya hamparan lahan tidur kami temui, lengkap dengan rerumputan liar dan ilalang, sesekali rumah-rumah berdiri dengan jarak yang amat jarang satu sama lain. Sejurus kemudian, kami melihat beberapa kompleks rumah berarsitektur Bali, dengan pura dan tempat sembahyang yang terletak di depan halaman rumah. Aha! Inilah tempat para transmigran asal pulau Dewata yang sudah bertahun-tahun merantau ke tanah Borneo, saya lupa mencatat apa nama daerah itu. Sangat mengagumkan, sekalipun sudah beranak pinak di situ, mereka tetap tidak meninggalkan jati diri dan budaya mereka sendiri. Serasa melewati Bali gitu, kalau berpotret di depan puranya, mungkin sudah disangka berlibur ke pulau Dewata.
Kami tidak melewati atau menemukan hutan dalam perjalanan kami. Entahlah di mana hutan itu persisnya. Kurang lebih dua jam meninggalkan Banjarmasin, kami tiba di Pulang Pisau. Di situ kami berhenti sebentar melepas penat duduk berjam-jam di mobil. Kebetulan ada rumah makan yang memang disediakan untuk pemberhentian travel dan biasa digunakan pengemudi kendaraan beristirahat setelah menempuh perjalanan. Di situ, ada orang berjualan buah-buahan seperti mangga dan pisang, keripik, jajanan lainnya adalah lemang (seperti ketan lemper tapi tidak diisi apapun, hanya ketan ini dibakar dalam batang bambu dan dibungkus daun pisang) rasanya gurih..., dan ...... bakso pentol! Betul! Jajanan ini sangat khas ditemukan di sana. Bisa ditebak, yang jual biasanya orang Jawa yang merantau ke sana. Bakso pentol yang akrab disapa Cilok di sini, di sana dihargai Rp 500 per bijinya. Jangan heran karena bukan sekedar tepung kanji, melainkan diisi dengan telur puyuh bulat-bulat (tidak separo atau seperempat), bentuknya pun lebih besar dari cilok-cilok yang dijual di Jawa. Cita rasanya juga agak lain, ada yang dicelup saos saja, ada juga penjual yang menyediakan kuah seperti kuah bakso biasanya itu. Saya membelanjakan uang Rp 6000,- untuk melahap bakso pentol tersebut. Yang berjualan pentol pun rata-rata mengendarai sepeda motor. Rupanya meskipun hanya berjualan pentol, para perantau itu secara ekonomi sudah mulai mapan. Dengan kerja kerasnya, mereka sukses menaikkan kelas bakso pentol menjadi makanan jajanan bagi tua muda di sana.
Dari Pulang Pisau, perjalanan dilanjutkan sekitar 1,5 jam hingga tiba di Palangkaraya. Dibandingkan 2-3 tahun lalu, kota ini tambah ramai saja. Ada satu mal berdiri megah di tepi bundaran besar. Namanya Palangkaraya Mal, biasa disebut PalMal. Meskpiun terbilang baru dibuka sekitar 2 tahun lalu, melihat volume kendaraan di parkiran serta lalu lalang orang di dalam, rasanya mal ini masih sepi pengunjung. Dari geliatnya, saya merasakan bahwa kota ini tengah dalam masa berkembang untuk tumbuh menjadi kota besar, apalagi di era otonomi daerah seperti sekarang ini.

Pakaja Menantu : Sebuah Penghormatan Bagi Sang Menantu
Acara Pakaja Menantu bagi masyarakat Dayak Ngaju khususnya, adalah sebuah acara dimana keluarga mempelai pria menyambut kehadiran anggota keluarga baru yakni menantu wanita. Acaranya diawali dengan penyambutan kedua mempelai pria dan wanita oleh orang tua atau yang dituakan dari pihak keluarga pria. Biasanya mereka sepasang orang tua, membawa kain yang lantas akan diselempangkan hingga kain itu mengerudungi kepala dan separuh badan kedua mempelai pria dan wanita. Sambil memegang ujung kain kanan dan kiri, masih berkerudungkan kain tersebut, kedua mempelai masuk ke dalam rumah mempelai pria, mulai dari serambi, ruang tengah, hingga ke dapurnya. Maknanya adalah memperkenalkan menantu wanita pada tempat kediaman keluarga mempelai pria dari muka hingga belakang rumah.
Pada kesempatan tersebut, dilakukan pula upacara Tampung Tawar, di mana orang tua atau pihak-pihak yang dituakan akan memberikan doa restu kepada kedua mempelai. Ritualnya sederhana saja, keduanya didudukan di atas lampit atau tikar dari rotan, sambil berselonjor dua kaki. Bahan ritual sudah dipersiapkan sebelumnya dalam wadah tertentu, terdiri dari segelas air wangi, beras, uang dan emas. Satu per satu orang tua memanjatkan doa sambil memercikkan air dari dalam gelas menggunakan daun pandan. Air dalam gelas itu sudah dicampur dengan minyak wangi. Maknanya adalah, harapan agar nama kita menjadi harum atau baik di mata orang. Setelah itu, mereka menaburkan beras dari ujung kaki hingga kepala kedua mempelai satu per satu, maknanya adalah kesejahteraan dan kemakmuran bagi mempelai berdua. Uang dan emas adalah lambang kekayaan atau hidup berkecukupan bagi mempelai. Upacaranya berlangsung sangat singkat.

Pesta Sebenar-benarnya
Kalau udah bertandang ke rumah suami di Palangkaraya, rasa-rasanya waktu terasa lambat berjalan. Bukan berarti saya tidak menikmati, khususnya bagi yang baru pertama kali berkunjung, seperti bapak dan ibu saya. Di sana, jam 5 pagi, matahari sudah bersinar cerah, sedangkan jam 6 sore sudah terasa seperti jam 8 malam. Hehe...jadi kalau tidak ada yang dilakukan, wah benar-benar meniti waktu. Biasanya di Jogja, jam 7 malam baru keluar makan malam, di sana jam segitu rasanya udah pengen tidur, saking terasa udah malam padahal masih jam 7.
Di sana pun, kalau ada acara kumpulan bersama keluarga besar atau mengundang tetangga, tak jarang keluarga tuan rumah memasak masakan istimewa dan berat. Seperti keluarga suami saya, untuk syukuran pakaja menantu ini, mereka menghidangkan masakan dari bahan daging ayam, ikan, babi dan anjing. Lalu, juhu atau sayurnya adalah sayur Singkah, yang bahannya dibuat dari umbi pohon kelapa sawit. Jadi pohon itu ditebang dan hanya diambil umbinya saja. Umbi itu lalu dipilih yang muda dan diiris-iris tipis. Bentuknya seperti rebung. Dimasak tidak dengan santan (jarang masakan di sana memakai santan), bumbunya pun sederhana, seperti bawang putih, bawang merah, lengkuas, sereh, kunyit. Sayur atau juhu ini khas dimasak pada pesta atau pertemuan besar.
Tak tanggung-tanggung, mereka lebih suka memasak atau mengolah sendiri masakan tersebut. Kalau perlu, membeli babi dan anjing hidup-hidup. Bahkan ikan pun dibersihkan sendiri, mereka tampak sangat cekatan menggarap bahan-bahan mentah ini dengan cepatnya. Mungkin karena sudah biasa memasak besar-besaran begitu, hingga rasanya saya sendiri kewalahan mau membantu yang mana? Akhirnya saya memilih yang ’aman-aman’ saja, seperti memotong bawang, memotong daging atau menyiapkan bumbu. Para wanita di sana, kalau sudah ngumpul selalu saja ada bahan pembicaraan yang kedengarannya tak putus-putus alias sambung menyambung. Nggak ada tuh suasana hening jeda, ada saja yang nyeletuk, kayaknya asyiiik banget. Apalagi saya belum terlalu bisa berbahasa Dayak, jadi ketika para ibu itu tengah asyik mengobrol dengan bahasa Dayak, lalu tertawa, saya terdiam saja. Pokoknya saya seperti hilang ditelan keramaian.
Tapi senang sekali bisa menghabiskan seminggu di sana di tengah keluarga suami. Bahasa memang kendala utama saya. Mudah-mudahan lain kali saya sudah lebih pintar berbahasa Dayak.