Thursday, June 26, 2008

Oleh-oleh Cuti


Halo, saya kembali! Dua bulan terakhir menjadi bulan yang berasa permen nano-nano. Kabar gembiranya saya sudah melahirkan! Tepatnya tanggal 31 Maret 2008 lalu. Panjang ceritanya, sampai saya sendiri bingung gimana mulainya. Dua bulan terakhir pernuh dengan antusiasme ibu baru, ngurusin anak. Penuh dengan gedubrakan, error dan undo deh. Maklum emak baru lahir juga kan barengan lahirnya si kecil ini. Oya, namanya Valereo Satrianda Tumon. Hehe…mau tau artinya? Valereo ini plesetan dari Valentino Rossi, yup yup pembalap motoGP juara dunia 7 kali itu. Saya dan suami memang fans beratnya apalagi sejak hamil dulu. Trus Satrianda tentunya harapan kiranya anak ini nantinya bisa bersikap, berpikir dan bertindak layaknya ksatria (yang benar lho) pada siapa saja, menjadi ksatrianya Tuhan. Lalu Tumon itu marganya bapaknya, orang Dayak.
Well darimana dulu ya ceritanya. Oke, bagaimana proses kelahiran Eyo (panggilan dari Valereo, mudah di lidah, mudah diingat dan diucapkan bukan? :p)
Saya ambil cuti melahirkan terlalu cepat, karena HPL (perkiraan lahirnya aja tanggal 3 April 2008) saya ambil 10 Maret. Gara-garanya udah gak enerjik lagi dibawa kemana-mana, kerja juga udah gak enak duduk lama maunya bobooook trus hehehe ini sih bawaan emaknya kali ya? Mana sering kena diare lah, maag lah, kontraksi palsu, dll sementara saya ngekos, otomatis jauh dari suami yang lain kota. Makanya suami minta cepat2 aja cuti daripada jadi pikiran. Ya udah karena direstui, maka saya ambil cuti.
Selama cuti, paling di rumah aja. Seminggu belum terasa, jadi orang rumahan kerjaannya di depan komputer chattingan sama teman kantor, atau bobok aja. Ikutan senam hamil secara intensif biar cepetan lahir, udah gak sabar sih kemana-mana membawa si kecil. Makin tua usia kandungan, makin berat kaki melangkah. Pemeriksaan terakhir seminggu sebelum si kecil lahir, dokter bilang so far bagus, tinggal siap-siap aja cuman memang kepalanya belum masuk panggul. Saya juga dianjurkan mengurangi karbohidrat karena bayi beratnya udah 3,2 kg, takut kebesaran nanti malah susah ngeluarinnya (ngejannya). Dokter menganjurkan untuk banyak-banyak senam lagi. Di kelas senam, nanya sana-sini gimana cara dorong kepala bayi biar cepat masuk panggul, kata instrukturnya latihan berdiri-jongkok kira-kira minimal 30 kali sehari. Tapi saya kok masih males ya praktekin di rumah, belum juga ada feeling bakal lahir dalam 1-2 minggu lagi. Yang suliiit banget dilakukan adalah menghentikan asupan karbohidrat. Lha gimana, tiap sore ada aja jajanan yang dipingini. Malem apalagi, jam sembilan ke atas, perut udah krucuk-krucuk pula. Udah diakalin makan buah kayak apel, pir atau rambutan yang banyak kandungan airnya, teteeep aja perut keroncongan. Apa daya, 1-2 lapis roti tawar atau sekedar semangkuk mie rebus cukup mengganjal perut. Kalau habis makan, saya pasti menyesali, aduuh kenapa makan lagi ya? Takut nih besok nambah berat lagi bayinya. Biasanya suami jadi sebel dengan penyesalan ini, karena secara tidak langsung dia merasa bersalah karena mau menyediakan bahan makanan tersebut hehe…Jalan pagi juga jadi rutinitas, meskipun normalnya orang JJP jam-jam 6 pagi, saya sih sebangunnya, biasanya jam 7-8 baru bangun jadilah di bawah terik matahari pagi (jam 7-an aja udah panas) saya ditemani suami jalan-jalan, sambil cari sarapan.
Lama-lama bosen juga di rumah, kok lama ya nggak lahir-lahir padahal perut udah mulai sering kenceng-kenceng, tendangan si kecil di perut udah nohok ulu hati pula, berarti ruang geraknya udah makin sempit, kok belum ada tanda-tanda bakal lahir.
Di akhir bulan tanggal 29 Maret, iseng-iseng saya ngomong sama si kecil, lahirnya dipasin besok tanggal 1 April aja ya Nak, biar bagus tanggal muda, mama juga lahirnya tanggal 1 lho tapi Juli. Kompakan gitu napa? Saking fokusnya pada harapan tanggal 1 April lahir, saya banyak-banyakin latihan berdiri-jongkok tiap hari di rumah, biar kepala si kecil makin turun. Pas hari Minggu tanggal 30 April, udah ada feeling nih anak mau keluar, karena perut udah keras terus bagian bawah udah kerasa kayak mau buka gitu perasaan.Saya nervous tapi happy karena harapan bakal lahir tanggal 1 April kesampaian. Eh, nggak taunya begitu lihat tanggalan, bulan Maret tuh masih sampai 31! Olalala…padahal latihan keras di rumah sudah cukup membuat si kecil semangat turun ke bawah. Aduh…mudah-mudahan bisa tahan sehari lagi, saya menghentikan latihan berdiri-jongkok, takut lahiran malam itu.
Malam tanggal 30 Maret, ada siaran motoGP. Saya nonton sambil deg-deg-an karena berharap Valentino Rossi bisa naik podium lagi setelah setahun lebih nggak dapet jatah juara. What a lucky, malam itu Rossi menang juara II, saya lupa dimana balapannya. Saya girang bukan kepalang, cihui banget lah. Habis GP, saya nonton konser seleb di Indosiar, dasar Ruben Onsu cs bikin saya ketawa ngakak, sampai perut kontraksi. Suami sampai memperingatkan ketawanya jangan keras-keras, kasihan bayinya keguncang-guncang. Dia aman kok, malah ikutan hepi balas saya.
Di malam inilah cerita dimulai.
Pas kebangun dari tidur, tiba-tiba saya ngerasain air ketuban pecah. Sprei basah kuyup, sontak saya bangunkan suami. Dengan sigap tanpa mengucek mata, dia bangun dan lihat jam, jam 01.30 dinihari! Saya pernah bilang dia, kalau ketuban pecah harus segera ke RS. Maka segeralah saya siap-siap ke RS, suami menyambar 2 tas, satu isi baju-baju saya, satu isi baju si kecil. Karena masih dinihari, kami putuskan naik taksi saja. Setelah 10 menit menunggu, taksi datang. Perjalanan cuman 15 menit karena masih sepi. Sampai di RS langsung ke ruang ibu dan anak, suami urus pendaftaran, saya masuk ruang bersalin. Pertama, saya diobservasi. Ditanya sana-sini sambil diperiksa, tensi, respon syaraf, dll. Para suster memastikan saya memang pecah ketuban. Lalu disarankan menunggu hingga kontraksi kalau kontraksi bagus dan pembukaan sempurna maka lahir normal saja. Tetapi kalau ditunggu tidak kontraksi dan tidak pembukaan, maka induksi dan caesar jadi pilihan berikutnya karena pecah ketuban bayi harus dikeluarkan kurang dari 24 atau 12 jam (saya lupa hehehe), sebab riskan terhadap infeksi. Oke lah saya pilih tetap melahirkan normal dengan induksi saja kalau toh nggak ada kontraksi dan pembukaan. Saya disuruh tandatangan pernyataan mau diinduksi atas keinginan sendiri.
Setelah tubuh bagian bawah dibersihkan, cuci perut dan mandi, saya berbaring menunggu kontraksi, tiap setengah jam suster mengecek, sudah kontraksi belum, berapa cm pembukaannya. Eh ditunggu sampai jam 6 pagi belum juga ada kontraksi dan pembukaan baru 1 cm, maka dokter melalui telepon mengintruksikan suster untuk melakukan induksi segera. Lebih dulu jantung bayi diperiksa dengan monitor yang disambungkan ke semacam sabuk yang dilillitkan di perut saya. Kalau bayi bergerak, saya harus pencet tombol yang saya pegang. Pemeriksaan menunjukkan bayi siap diinduksi. Karena pengalaman pertama, saya nggak tau kalau induksi itu ternyata membuat kontraksi buatan, lebih sakit dari kontraksi alami. Itu sudah dikatakan suster sebelumnya, tapi saya belum bisa membayangkan jadi saya iyakan saja.
Jam 7 mulai masuk ruang tindakan, suami tetap setia menemani meski terkantuk-kantuk. Dia memang bertekad menemani, padahal tadinya saya ragu apa dia berani. Saat sarapan pagi saya lahap makan sajian gudek yang disuguhkan, saya pun masih bisa jalan-jalan. Setelah sarapan, saya mulai diinduksi lewat infus, susternya bilang ini obatnya sangaaaat kecil dosisnya, saya sendiri lihat suster itu mengambil obat memang sedikit sekali. Obat lalu disuntikan melalui selang infus yang sudah sejak tadi terpasang di tangan kiri. Tetes demi tetes infus membanjiri selang. Belum ada pengaruh apa-apa, saya masih bisa ngobrol dengan suami, tertawa-tawa dengan kakak yang datang menjenguk. Minum, makan ke kamar mandi, pokoknya hepi deh. Tiap sentengah jam dicek suster, belum ada kontraksi dan pembukaan juga. Suster menaikkan ritme infus, menjadi semakin cepat tetesannya. Saya mulai merasakan mulas sedikit datang pergi, sekitar setengah jam-an mungkin. Masih bisa tertawa-tawa lah. Begitu seterusnya hingga suster menaikan ritme infus menjadi paling cepat. Nah, inilah saatnya. Saya merasakan sakit luar biasa. “Nah, sakit ini yang ditunggu-tunggu bu, tahan ya. Bagus sekali kontraksinya,” kata suster yang dari tadi bergantian mengecek bukaan saya. What?? Bagus? Sakit seperti ini yang ditunggu? Saya senewen dibuatnya, tapi setelah melahirkan baru saya tahu itulah namanya kontraksi (dengan induksi).
Sakitnya seperti orang mau buang air, ingin sekali mengejan tapi belum boleh karena bukaan masih jauh dari 9-10. Padahal satu bukaan bisa sejam aduuuuh masih lama sekali. Tiap ingin mengejan saya udah nggak bisa mempraktekkan teori senam untuk atur napas. Saya bisanya teriak-teriak, lalu diam kalau sakitnya hilang. Padahal baru aja diam, sakitnya datang lagi. Tiap kontraksi, saya selalu menyebut nama Yesus,Yesus! Tapi saya tetap teriak-teriak hehehe….habis sakit beneran sih. Suami sampai berkali-kali menyarankan saya untuk menghemat tenaga buat mengejan nanti. Ada saatnya saya bilang, saya udah nggak kuat lagi. Suami malah marahin saya, nggak boleh seperti itu nanti anaknya dengar, aduh salah lagi. Suami akhirnya menawarkan, apa mau caesar aja. Dalam kesakitan saya berpikir udah tanggung banget, bukaan udah 7 mau operasi, persiapan kamar operasi aja bisa sejam lebih, ah udah lah tanggung harus terus meskipun kesakitan.
Lama-lama saya rasa udah antara langit dan bumi kali, saking sakitnya sambil merintih mata saya menerawang ke atas nggak ada kedip. Enaaak banget rasanya, ringan kayak melayang. Dipanggil suami, saya masih sadar dan nyahut. Dia terus mengajak bicara dan menyemangati, “Ayo tinggal sebentar lagi, jangan nyerah. Bayangin wajahnya Eyo, kayak gimana, ayo!” Berkali-kali suster yang memeriksa pembukaan, saya pegang erat lengannya, “Suster, sakiiit saya pengen ngeden (ngejan).” Eh si suster dengan entengnya, “Ya belum boleh. Nanti kalau udah 10 baru ngejen ya. Sabar ya.” Oooooooh dunia serasa gelap gulita kala dengar si suster bilang sejam lagi, sejam lagi, kok nggak mbukak-mbukak, sampai saya minta suami melihat bukaannya. “Iya Ma, kurang dikiit lagi” Addduuuh berita tak menggembirakan.
Beberapa kali saya panggil juga nama dokternya, saya minta suami menyusulnya. Ah pokoknya kalau ingat masa itu geli sendiri. Semua teori senam nggak saya pakai, malah sibuk sendiri bikin orang lain emosi. Hehe….
Betapa lega ketika suster mengatakan, “Ya udah boleh ngejan. Ngejan aja kalo nggak tahan.” Maka saya gunakan ijin itu untuk nekat mengejan. Berkali-kali tapi kepala si kecil belum nongol. Belakangan saya dikasih tahu suami, suster mengijinkan ngejan meskipun idealnya belum waktunya, karena saya udah nggak tahan lagi, lagipula rambut si kecil sudah kelihatan berarti tinggal nunggu dokter datang untuk membereskan. Akhirnya, dokter diiringi mahasiswa kedokteran lagi praktek masuk. Checking, kata susternya, “Udah dok nggak usah periksa dalam lagi, itu rambutnya (bayi) udah kelihatan kok.” Lantas si suster naik ke atas saya di belakang saya persisnya untuk membantu mengeluarkan si kecil. Saya disuruh mengejan kalau kontraksi datang. Mengejan pun saya salah, waktu senam saya bisa mengejan tanpa suara tapi apa daya kala itu tenggorokan sampai gatal akibat teriak-teriak. “Ayooo dorong lagi, sekali lagi jangan berhenti-jengan berhenti! Kasian anakmu kejepit itu, ayo…dorong lagi,” kata dokter mengetahui saya berhenti mengejan di jalan. Akhirnya dengan bantuan suster yang mendorong dari atas saya tadi, pada pukul 13.15 WIB lahirlah si kecil Eyo dengan berat 3,035 kg panjang 48 cm. Dia meluncur bersama air ketuban yang hangat rasanya. Seiring akan meluncurnya si kecil, dokter menggunting perineum saya, saya jelas mendengar “krek-krek”.
Plong rasanya, sama sekali tidak ada lagi sakit itu. Bener kata orang yang pernah melahirkan, sakitnya luar biasa tetapi begitu keluar, plong seperti tak ada apa-apa. Si kecil ditangkap oleh dokter dan diserahkan bidan untuk dibersihkan. Seorang lelaki kecil menggeliat di box penghangat, kulitnya merah, matanya sipit memandangi ke arah saya yang masih tergolek. Saya melambaikan tangan, “Halo Eyo…”. Dokternya nanya, lho udah siapin nama ya? Iya, daripada pas di RS kudu mikir, mending siapin dari awal buat cowok dan cewek, tinggal pilih. Selang sesaat, dokter mengeluarkan ari-ari dan minta saya mengejan sedikit baru setelah itu ia menjahit bagian yang digunting tadi. Meskipun udah lega, menjahitnya lumayan terasa juga clekit-clekit. Sekitar tiga jam saya di ruang tindakan, baru dipindah jam 4 sore. Malamnya saya susah tidur, masih kebayang-bayang rasa sakitnya, seluruh badan jadi lemes.
Selama 4 hari di RS, sakit jahitan saya belum hilang juga, kata susternya sih gara-gara saya malas jalan-jalan. Lha gimana mau jalan, sakitnya sampai bikin keringetan dan kepala putar-putar? Ngliat ibu-ibu lain udah tegak berdiri sekalipun masih mringis-mringis nahan sakit, saya iri juga. Cuman rasa nyeri yang tak tertahankan bikin saya malas jalan, makanya tambah sakit karena kata suster, daerah perineum (antara alat kelamin wanita dan anus yang digunting itu) syarafnya banyak, jadi kalau diam darah tidak banyak mengalir lancar itu yang bikin nyeri terus. Tapi, malas mengalahkan segalanya.
Hari-hari di RS diwarnai dengan rasa bahagia, menengok anak di ruang baby, melihat wajahnya yang lucu sedang tidur aaah dahaga yang terpuaskan. Sayang, pada hari ketika seharusnya kami pulang bersama, kami harus merelakan Eyo tinggal di RS karena kena kuning sehingga harus disinar biru untuk menurunkan kadar kuning dalam tubuhnya. Kasihan melihatnya ditinggal sendiri, belum lagi ditambah Eyo nggak mau minum susu botol (ASI saya belum keluar) dan muntah, aduh tambah sedih hati ini. Akhirnya saya dan suami pulang duluan. Rasanya aneh pulang tanpa anak, tasnya si kecil juga ikut dibawa pulang, tetangga bertanya-tanya ada apa?
Seminggu lewat, Eyo belum juga bisa dibawa pulang. Diagnosis dokter bilang ada sedikit pendarahan ringan di selaput otaknya. Apa lagi ini?? Saya makin stres saja, sampai nyeri di jahitan makin menjadi. Tapi yang melegakan, dokter bilang tidak berbahaya, tubuh si kecil bisa menyerap darah akibat pendarahan itu dengan sendirinya seiring pertumbuhannya nanti.
Setiap pagi dan sore, saya coba peras ASI demi kesembuhan Eyo dan mengirimkannya ke RS. Berapapun dapatnya, karena ASI masih sangat kurang. Pernah suatu hari, saya hanya bisa memeras ASI sebanyak setengah sendok teh saja. Karena saya pikir ASI awal-awal masih mengandung kolostrum, saya nekat berikan pada Eyo. Suster jaganya sampai terheran-heran. Baru pada hari-hari selanjutnya, lumayan perasan ASI bisa nambah yah 20ml, lalau 40ml. Rindu rasanya bisa mencapai 60 atau 80ml saja. Karena masih suka muntah, Eyo harus diinfus dan karena tenaga hisapnya terhadap botol susu masih lemah dokter terpaksa memasang sonde (selang lewat hidung). Pedih rasanya melihat Eyo dipasangi selang-selang itu, beberapa kali saya melihatnya diambil sampel darahnya, Eyo menangis keras-keras, hati saya hancur. Oh begini ya rasanya ikatan orang tua dan anak….Sambil berjalan masih pincang-pincang, saya menengok Eyo pagi dan sore. Bukannya pada iba melihat saya pincang-pincang pasca melahirkan normal, malah sempat pakai kursi roda lagi gara-gara nggak kuat jalan, suster-suster di sana malah senyum agak sinis, “Normal kok masih pakai kursi roda? Harusnya sembuh lebih cepat dari operasi lho.” Belakangan, dokter menyatakan saya kurang gizi, nggak banyak makan protein, alhasil lukanya nggak kering-kering. Yah, gimana mau makan enak kalau inget anak masih berjuang di RS sendirian? Tapi sejak itu, saya genjot makan protein, ikan, ayam, telor, tempe, susu protein tinggi, semua saya makan sampai saya gatal-gatal.
Total dua minggu Eyo dirawat di RS, setelah menemui dokter anak dan dokter syaraf serta melihat hasil CT-Scan, mereka memastikan Eyo boleh pulang. Beratnya yang sempat turun menjadi 2,7 kg waktu itu sudah naik lagi jadi 3,00 kg. Eyo sudah tidak muntah lagi dan mau minum susu formula. Puji Tuhan! Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya, sebab pada hari Eyo pulang, saya sudah bisa berjalan tegak dan rasa nyeri sudah hilang! Ajaib!
Hari-hari pertama bersama Eyo di rumah, penuh dengan kepanikan. Tangisannya membuat kalang kabut, kalau pipis atau BAB masih bisa tahu lalu ganti popok, tapi kalau nangisnya makin menjadi, saya dan suami bingung dibuatnya. Apalagi ada 6 jenis obat yang harus diberikan pasca perawatannya di RS. Paling stres kalau harus meminumkan, Eyo masih terlalu kecil untuk dibombardir obat-obatan kimia. Maka kami putuskan mencari opini kedua, mendatangi dokter anak lain. Dari dokter anak itu, kami sedikit lega, karena pendarahan yang dimaksudkan tidak berbahaya, hanya akibat persalinan dulu. Mungkin saya mengejan terlalu awal sebelum waktunya sehingga kepalanya seperti membentur ‘pintu keluar’nya. Dokter tidak memberikan obat sama sekali, hanya menganjurkan saya memberi ASI terus, malah saya yang diberi obat agar ASI lancar keluarnya. Saya pikir, dokter ini bijak juga, mengingat anak saya masih sangat kecil. Dari situ saya hentikan asupan obat-obat kimia dari RS.
Kini, Eyo sudah 2 bulan lebih 17 hari. Bulan depan usia 3 bulan. Eyo sudah bisa ngoceh kalau diajak ngobrol. Sudah mulai miring-miring mencoba tengkurap. Susunya sambung, ASI dan formula. Kami pindah dari Jogja ke Salatiga demi pekerjaan saya.
Anak adalah sebuah kepercayaan. Padanya, ada tantangan dan tanggung jawab. Sekarang, saya dan suami masih terus belajar, belajar mengerti bahasa tangisnya, belajar sabar, belajar bersyukur meskipun secara fisik sedikit melelahkan, tetapi melihat bening kedua matanya, semua terbasuh oleh bahagia.
Saya baru sadar mengapa Tuhan menciptakan manusia sebagai bayi kecil pada awalnya untuk dititipkan, bukan sosok orang dewasa. Karena bayi itu sebenarnya penolong bagi orang tuanya. Ia menolong kita menjadi bahagia, memberi semangat baru setiap harinya.
Valereo…terima kasih ya sudah ada di tengah-tengah kami. Karena kamu, mama bisa sembuh dari sakit, karena kamu juga mama semangat setiap hari untuk bekerja. Tetap sehat dan ceria ya…..
Terima kasih buat teman-teman, rekan kerja dan keluarga yang telah memberi dukungan dan doa pada kami hingga kami bisa melewati masa-masa yang berasa nano-nano tadi. We love you and will pray for you too :)