Thursday, December 18, 2008

Libur Dulu Yach ^__*

Dear visitors,

Terima kasih udah singgah di SatuBumi. Pengumuman nih, SatuBumi mau libur dulu yach. Mo mudik ceritanya. Liburnya cuma 2 minggu aja, mulai tanggal 20 Desember 2008 - 3 Januari 2009. Habis liburan itu, layanan kepada para visitors bakal dilanjutin seperti sedia kala. Buat yg sekedar jjs di SatuBumi silakan, dengan senang kami menyambut Anda.

Oya, tak lupa SatuBumi mengucapkan "Selamat Natal" bagi visitors yang merayakannya dan "Selamat Tahun Baru 2009". Terima kasih untuk Anda yang udah mampir selama ini. Semoga sukses senantiasa di tangan Anda.

Salam....

SatuBumi owner

Monday, October 27, 2008

Ngakak Sepanjang Jaman


Awalnya dapat kiriman imel dari tetangga, ngingetin saya tentang masa lalu yang bernuansa nasional, soalnya dijamin semua anak-anak SD angkatan tahun 90-an pasti masih ingat dengan buku-buku berikut ini. Ngakak juga lihatnya, dinamakan buku paket karena kalau nggak salah dulu memang dapat sepaket pinjaman dari sekolah. Ada capnya Departemen P & K dan itu harus dikembalikan kalau sudah selesai. Hm...kalau saya nggak salah lho, agak lupa sih.

Saya nggak terlalu paham benar mengapa semua harus seragam, tiga serangkai itu Budi, Wati dan adiknya, Bapak Budi, dsb. Jadi ingat juga, pola menggambar yang hampir serentak : dua gunung, hamparan sawah, awan menggumpal dan matahari di antara dua gunung (fiuh...). Apa lagi yang kira-kira secara seragam mengingatkan kita akan masa SD nan ceria? Oh ya, mungkin lagu pilihan kalau harus menyanyi ke depan kelas, biasanya lagu Ampar-ampar Pisang...iya nggak sih? Hihihi...









Friday, October 24, 2008

Online Addict

Wuih nikmatnya jaman berteknologi tinggi seperti sekarang ini, bisa kontak-kontak dengan teman hanya dengan duduk manis di depan laptop yang lagi online. Pake fasilitas Yahoo Messanger (YM), tinggal invite siapa saja yang kita mau en...eng ing eng...tinggal klik Buzzz buat ngagetin mereka. Yup, so fast and close enough. Seperti di kantor, waktu kerja pun tak luput dari intermezo YM-an. Bahkan dengan teman sekantor, hehe...paling kudu waspada kalo-kalo bos lewat atau menginspeksi mendadak, nah itu YM harus setidaknya diminimize biar nggak kliatan banget lagi chatting. Ceating dikiiit deh, buat vitamin kerja boleh lah :p
Reunian sama temen SMP juga asyik, meskipun yang kliatan cuma fotonya doang. Wuahaa..ini dia bagian mantengin foto lucu juga, inget jaman waktu SMP orangnya kayak apa, begitu di YM-an ternyata posturnya dah jauh beda.
This small world is getting smaller thanks to this cyber technology.
Masalahnya cuma habis chattingan, rasanya mulut ini pegel. Soalnya gara-gara kebanyakan senyam-senyum sendiri, tertawa terpingkal pun tertahan pasalnya kalo keras2 takut ketauan bos or temen lain (nah looo lagi chatting!!), endingya mulut ini jadi kaku-kaku.
Apalagi kebiasaan online merambah keluar jam kerja, alias nggak di kantor nggak di rumah, kalau ada waktu luang dikiit aja, langsung OL melulu. Ini dia, ditambah lagi nemu hobi baru jualan via internet. Wuaduh, ngiler-ngiler deh. Gatel rasanya tangan ini kalo nggak nyolokin kabel laptop. Sering juga kena tegur suami kalau agak kebablasan ngenet di rumah sampai larut malam padahal anak lagi sering bangun pagi-pagi dan biasanya gara-gara tidur telat saya jadi agak sulit bangun. Nah, kalau sudah begitu, internet jadi bahan 'obrolan' pagi dengan suami. Fiuh...
Jadi begitulah, teknologi ini sedang menjerat saya dengan begitu kuatnya. Mudah-mudahan saya nggak keranjingan dan lupa daratan. Maksud saya, kalau lagi mendarat di kantor, ya harusnya kerja bener-bener, kalau mendarat di rumah ya ngurus anak dan pekerjaan rumahan lainnya. Trus online-nya kapan dong? Hehe...

Tuesday, July 22, 2008

Tempat Baru, Awal Yang Baru

Ada yang mau saya bagi lagi nih. Hehe...yah maklum pendatang baru dalam dunia rumah tangga jadi ada aja yang pengen dishare. Begini ya rasanya berumah tangga, pisah dari orang tua dan betul-betul mengawali segala sesuatu dari nol bersama suami dan anak. Rasanya sangat 'lonely', biasanya dulu pas belum merit sedikit ada masalah saja suka curhat ke ortu. Sekarang udah suami istri, masa dikit-dikit datang ke ortu, lalu buat apa merit? Hehe...

Jadi ceritanya saya sekeluarga baru ini mesti pindah dari kota asal ke tempat yang baru. Ortu ngantar waktu proses pindahan itu. Begitunya ortu pulang, saya dan suami sempat menitikkan air mata bersama, mampu nggak ya membangun rumah tangga di tempat baru, memulai segalanya dari awal tanpa orang tua? Idih kayak anak TK nggak ditunggui ibunya pas sekolah ya? Tapi memang begitulah kejadiannya. Akhirnya demi membesarkan hati, kami berdua saling menyemangati diri, ayo kita bisa! Mungkin kami perlu beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga rasa asing dan sepi itu sedikit demi sedikit akan sirna seiring waktu.

Dan memang benar, baru sebulan di lingkungan baru kami sudah mulai dekat dengan tetangga kanan kiri. Suami sudah mulai ikut kegiatan bersama misalnya rapat bapak-bapak di kompleks tiap bulan atau kerja bakti. Saya pun sudah belajar ikut-ikutan arisan ibu-ibu PKK. Hehe...sesuatu yang dulu saya sangat hindari, yang namanya arisan itu. Apalagi kalau dengar lagu mars PKK didengungkan oleh sekumpulan ibu-ibu di kampung saya dulu, bawaan saya mencibir sambil meniru-nirukan nanananana....dengan PKK...(cuplikan lagunya yang paling saya hafal cuman belakangnya itu). Apa sih isinya arisan, paling bergosip. Gitu pikiran saya dulu. Eh nggak taunya sekarang giliran saya kena jatah nyanyiin mars itu. Dulu sih bisa berkelit, ogah ikut kumpul-kumpul ibu-ibu, wong belum menikah juga kan? Tapi sekarang? hm...mau berkelit apa lagi?

Selain itu saya dan suami menyadari di mana pun kami berada, kami selalu mengingat peribahasa "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Jadi kalau sekarang kami ada di tempat baru, kami lah yang seharusnya menyesuaikan diri dan mengikuti aturan yang udah lama berlaku di tempat baru itu. Meskipun awalnya canggung dan malas, tapi tanggung jawab sosial sebagai anggota masyarakat sebaiknya memang dilaksanakan (cieh bahasa mengajar :p).

Eh ternyata, ini masih nyambung dari arisan PKK tadi, anggapan saya tentang arisan PKK itu salah besar! Tidak ada tuh bergosip, malahan ibu-ibu biasanya ingin cepat pulang kalau lewat dari satu jam pertemuan, karena ya tau sendiri anak-anak di rumah menunggu entah untuk makan malam lah atau belajar (kebetulan arisan dilakukan pukul 4 sore dan berakhir biasanya jam 5). Dan di arisan yang saya ikuti, malah dikasih tau banyak hal seputar kehidupan berkeluarga, misalnya tips-tips merawat anak dan ada juga info kewanitaan yang sumbernya bisa dari majalah. Asyik juga ya. Hehehe...wah..saya ternyata terlalu skeptis, bawaannya curiga melulu terhadap kegiatan-kegiatan sosial macam arisan ini ya?

Lucunya ya pas di bagian harus menyanyikan lagu Mars PKK tadi. Untuk menyanyikan mars itu, ibu-ibu ini berdiri ya seperti kalau menyanyikan Indonesia Raya itu. Hihi saya geli deh, tapi ikut aja lah. Pas pada menyanyi, saya nggak tau syairnya. Alhasil saya cuman bersenandung dalam hati, nananananana....dengan PKK...itu aja bagian yang saya hafal, paling belakang. Wah malu juga rasanya, tapi wajar kan, pendatang baru :p

Begitulah kisah saya kali ini, tentang pengalaman pertama jadi anggota arisan PKK. Semoga bermanfaat ya. Kalau ada pengalaman lain dari ibu-ibu atau mbak-mbak yang lain, silakan bagi juga ya, sekalian kalau ada yang tahu syair lagu Mars PKK, bisa kasih tau saya? Terima kasih....

Monday, July 14, 2008

Bagi-bagi Lagi

Satu hal yang aneh, sejak melahirkan kok produktivitas saya menulis kok cenderung menurun ya? Bawaannya males aja. Padahal banyak banget yang bisa dishare lewat tulisan. Mungkin malesnya gara-gara bingung juga mau yang mana dulu ditulis, soalnya memang punya bayi itu seribu satu cerita sih. Setiap hari ada hal baru yang dipelajari. Apalagi buat keluarga muda seperti saya.
Entah mulai jam berapa pastinya kegiatan harian saya dimulai karena tidak jelas start dan finishnya. Sejak punya bayi, praktis kegiatan khususnya tidur di malam hari amat berkurang, jadi banyak meleknya untuk mengurus bayi. Mulai dari memberikan ASI, mengganti popoknya kalau dia pup atau ngompol di malam hari. Mata hanya terpejam selama bayi tertidur. Saking ngantuk berat dan nggak bisa tidur eh sekalinya tidur sampai nggak terasa lamanya hehehe…tau-tau terbangun lagi karena anak menangis. Biasanya bayi saya mulai gelisah ingin nenen atau pup pada saat subuh. Kira-kira jam 3 pagi mulai gelisah, kadang menolak diberi ASI. Kalau udah begitu, saya mesti menenangkannya sambil menggendong. Dengan mata terkantuk-kantuk, saya jalan mondar-mandir agar dia cepat tidur kembali. Beberapa kali berhasil tapi banyak kali usaha ini juga gagal. Alhasil subuh-subuh begitu, kami berdua malah bermain bersama, entahkah mengajaknya ngobrol atau memainkan sesuatu agar dia tidak menangis lagi. Jadi suasana kamar ramai karena teriakannya padahal di luar masih sepi. Biasanya setelah bosan, dia minta ASI sambil tiduran sampai dia pulas kembali. Masalahnya kadang kebiasaannya ini berlangsung hingga pukul 5 atau 6 pagi, saatnya mata ini harus benar2 terbuka karena mesti menyiapkan diri bekerja. Jadilah kantuk sering terbawa sampai kantor hehe…
Sebelum berangkat kerja, saya memastikan anak cukup minumnya jadi ketika dia saya tinggal bersama pengasuhnya, dia langsung bisa tidur nyenyak. Meskipun selama saya tidak di rumah, dia diberi susu formula paling tidak dalam hati ada sedikit kelegaan bahwa hari itu saya memberinya ASI juga. Sayangnya, kalau diperas ASI keluar sedikit. Rekor saya cuman sampai 80 ml, selebihnya hanya berkisar 20-60 ml. Buat bayi umur 3 bulan sungguh saya sadari itu masih sangat amat kurang. Biarpun tak cukup, asal ASI masuk saya sudah tentram bekerja. Sepulang kerja baru saya ‘balas dendam’ memberikan ASI. Kadang disambut baik tetapi tak jarang dia sudah tidur dan baru bangun malam hari. Kasihan juga rasanya.
Sekarang ini anak saya udah 3 bulan 3 minggu. Dia punya kebiasaan baru yakni mengisap jari-jari tangannya. Ini baru seminggu belakangan terjadi. Biasanya dia merasa gelisah lebih dulu, baru kalau sudah jari jemari masuk mulut, dia isap-isap sampai berbunyi ‘cup-cup-cup’ dan dia terlihat agak tenang. Parahnya kalau dicabut paksa isapan itu, dia bakal marah-marah atau menambah volume tangisnya. Melihat kebiasaan isep jari ini saya dan suami agak kuatir dan kasian juga. Takut lama-lama jadi habit dan bisa merusak jarinya. Dipasang sarung tangan pun, dia masih berusaha mengisap jarinya sampai-sampai kalau kelamaan biasanya dia lalu ingin hoek alias muntah. Karena kasihan, maka suami berinisiatif membelikan kempeng. Waktu saya cobakan, awalnya saya malah tertawa ngelihat mukanya yang innocent itu memakai kempeng, lucu sih. Dia coba adaptasi, memainkan kempengnya ke kanan kiri bahkan mencopotnya, lalu saya pasang lagi begitu seterusnya sampai dia mulai mengenyot si kempeng dengan damainya sampai tertidur.
Ada sih rasa bersalah, kok kayaknya ni anak saya bohongi gitu. Mana bentuknya itu lho, besar nutupin mulutnya yang masih mungil. Dia jadi nggak bisa bicara, sepertinya saya menutup kebebasannya berceloteh atau merengek. Kok egois amat ya rasanya? Ah pokoknya perasaan campur aduk deh. Padahal ini kami lakukan demi dia juga, hehehe..bingung jadi orang tua.
Kebiasaannya yang lain, sekarang dia suka mengepalkan tangan lalu memandangi kepalan itu lama-lama. Dia juga senang melihat gerakan-gerakan tangan saya. Ketika saya menggaruk kepala dia juga tertawa, entahlah apa arti tangan baginya hingga dia menganggapnya lucu. Oya, dia juga sedang suka memainkan ludahnya. Kadang sampai disembur-semburkan keluar, apalagi kalau sedang diajak ngobrol. Sambil mengoceh, kesempatan dia menyembur-nyemburkan ludahnya. Kalau sudah gitu, sambil bermain dengannya, saya siap dengan lap deh.
Begitulah bagi-bagi cerita saya kali ini tentang perkembangan si kecil. Bahagia sekali melihatnya. Saya sudah tak sabar menunggunya bisa tengkurap, duduk, berjalan, hehe…sekarang sih dia sedang usaha memiringkan badan dan sudah berhasil. Hanya saja kebiasaan dia kalau digendong masih dominan menengok ke kiri, susah diajak menoleh ke kanan. Kadang saya kuatir juga tapi biarlah untuk saat ini mungkin saya harus banyak bersabar menunggu tahapan-tahapan perkembangannya, sambil terus melatih dia.

Thursday, June 26, 2008

Oleh-oleh Cuti


Halo, saya kembali! Dua bulan terakhir menjadi bulan yang berasa permen nano-nano. Kabar gembiranya saya sudah melahirkan! Tepatnya tanggal 31 Maret 2008 lalu. Panjang ceritanya, sampai saya sendiri bingung gimana mulainya. Dua bulan terakhir pernuh dengan antusiasme ibu baru, ngurusin anak. Penuh dengan gedubrakan, error dan undo deh. Maklum emak baru lahir juga kan barengan lahirnya si kecil ini. Oya, namanya Valereo Satrianda Tumon. Hehe…mau tau artinya? Valereo ini plesetan dari Valentino Rossi, yup yup pembalap motoGP juara dunia 7 kali itu. Saya dan suami memang fans beratnya apalagi sejak hamil dulu. Trus Satrianda tentunya harapan kiranya anak ini nantinya bisa bersikap, berpikir dan bertindak layaknya ksatria (yang benar lho) pada siapa saja, menjadi ksatrianya Tuhan. Lalu Tumon itu marganya bapaknya, orang Dayak.
Well darimana dulu ya ceritanya. Oke, bagaimana proses kelahiran Eyo (panggilan dari Valereo, mudah di lidah, mudah diingat dan diucapkan bukan? :p)
Saya ambil cuti melahirkan terlalu cepat, karena HPL (perkiraan lahirnya aja tanggal 3 April 2008) saya ambil 10 Maret. Gara-garanya udah gak enerjik lagi dibawa kemana-mana, kerja juga udah gak enak duduk lama maunya bobooook trus hehehe ini sih bawaan emaknya kali ya? Mana sering kena diare lah, maag lah, kontraksi palsu, dll sementara saya ngekos, otomatis jauh dari suami yang lain kota. Makanya suami minta cepat2 aja cuti daripada jadi pikiran. Ya udah karena direstui, maka saya ambil cuti.
Selama cuti, paling di rumah aja. Seminggu belum terasa, jadi orang rumahan kerjaannya di depan komputer chattingan sama teman kantor, atau bobok aja. Ikutan senam hamil secara intensif biar cepetan lahir, udah gak sabar sih kemana-mana membawa si kecil. Makin tua usia kandungan, makin berat kaki melangkah. Pemeriksaan terakhir seminggu sebelum si kecil lahir, dokter bilang so far bagus, tinggal siap-siap aja cuman memang kepalanya belum masuk panggul. Saya juga dianjurkan mengurangi karbohidrat karena bayi beratnya udah 3,2 kg, takut kebesaran nanti malah susah ngeluarinnya (ngejannya). Dokter menganjurkan untuk banyak-banyak senam lagi. Di kelas senam, nanya sana-sini gimana cara dorong kepala bayi biar cepat masuk panggul, kata instrukturnya latihan berdiri-jongkok kira-kira minimal 30 kali sehari. Tapi saya kok masih males ya praktekin di rumah, belum juga ada feeling bakal lahir dalam 1-2 minggu lagi. Yang suliiit banget dilakukan adalah menghentikan asupan karbohidrat. Lha gimana, tiap sore ada aja jajanan yang dipingini. Malem apalagi, jam sembilan ke atas, perut udah krucuk-krucuk pula. Udah diakalin makan buah kayak apel, pir atau rambutan yang banyak kandungan airnya, teteeep aja perut keroncongan. Apa daya, 1-2 lapis roti tawar atau sekedar semangkuk mie rebus cukup mengganjal perut. Kalau habis makan, saya pasti menyesali, aduuh kenapa makan lagi ya? Takut nih besok nambah berat lagi bayinya. Biasanya suami jadi sebel dengan penyesalan ini, karena secara tidak langsung dia merasa bersalah karena mau menyediakan bahan makanan tersebut hehe…Jalan pagi juga jadi rutinitas, meskipun normalnya orang JJP jam-jam 6 pagi, saya sih sebangunnya, biasanya jam 7-8 baru bangun jadilah di bawah terik matahari pagi (jam 7-an aja udah panas) saya ditemani suami jalan-jalan, sambil cari sarapan.
Lama-lama bosen juga di rumah, kok lama ya nggak lahir-lahir padahal perut udah mulai sering kenceng-kenceng, tendangan si kecil di perut udah nohok ulu hati pula, berarti ruang geraknya udah makin sempit, kok belum ada tanda-tanda bakal lahir.
Di akhir bulan tanggal 29 Maret, iseng-iseng saya ngomong sama si kecil, lahirnya dipasin besok tanggal 1 April aja ya Nak, biar bagus tanggal muda, mama juga lahirnya tanggal 1 lho tapi Juli. Kompakan gitu napa? Saking fokusnya pada harapan tanggal 1 April lahir, saya banyak-banyakin latihan berdiri-jongkok tiap hari di rumah, biar kepala si kecil makin turun. Pas hari Minggu tanggal 30 April, udah ada feeling nih anak mau keluar, karena perut udah keras terus bagian bawah udah kerasa kayak mau buka gitu perasaan.Saya nervous tapi happy karena harapan bakal lahir tanggal 1 April kesampaian. Eh, nggak taunya begitu lihat tanggalan, bulan Maret tuh masih sampai 31! Olalala…padahal latihan keras di rumah sudah cukup membuat si kecil semangat turun ke bawah. Aduh…mudah-mudahan bisa tahan sehari lagi, saya menghentikan latihan berdiri-jongkok, takut lahiran malam itu.
Malam tanggal 30 Maret, ada siaran motoGP. Saya nonton sambil deg-deg-an karena berharap Valentino Rossi bisa naik podium lagi setelah setahun lebih nggak dapet jatah juara. What a lucky, malam itu Rossi menang juara II, saya lupa dimana balapannya. Saya girang bukan kepalang, cihui banget lah. Habis GP, saya nonton konser seleb di Indosiar, dasar Ruben Onsu cs bikin saya ketawa ngakak, sampai perut kontraksi. Suami sampai memperingatkan ketawanya jangan keras-keras, kasihan bayinya keguncang-guncang. Dia aman kok, malah ikutan hepi balas saya.
Di malam inilah cerita dimulai.
Pas kebangun dari tidur, tiba-tiba saya ngerasain air ketuban pecah. Sprei basah kuyup, sontak saya bangunkan suami. Dengan sigap tanpa mengucek mata, dia bangun dan lihat jam, jam 01.30 dinihari! Saya pernah bilang dia, kalau ketuban pecah harus segera ke RS. Maka segeralah saya siap-siap ke RS, suami menyambar 2 tas, satu isi baju-baju saya, satu isi baju si kecil. Karena masih dinihari, kami putuskan naik taksi saja. Setelah 10 menit menunggu, taksi datang. Perjalanan cuman 15 menit karena masih sepi. Sampai di RS langsung ke ruang ibu dan anak, suami urus pendaftaran, saya masuk ruang bersalin. Pertama, saya diobservasi. Ditanya sana-sini sambil diperiksa, tensi, respon syaraf, dll. Para suster memastikan saya memang pecah ketuban. Lalu disarankan menunggu hingga kontraksi kalau kontraksi bagus dan pembukaan sempurna maka lahir normal saja. Tetapi kalau ditunggu tidak kontraksi dan tidak pembukaan, maka induksi dan caesar jadi pilihan berikutnya karena pecah ketuban bayi harus dikeluarkan kurang dari 24 atau 12 jam (saya lupa hehehe), sebab riskan terhadap infeksi. Oke lah saya pilih tetap melahirkan normal dengan induksi saja kalau toh nggak ada kontraksi dan pembukaan. Saya disuruh tandatangan pernyataan mau diinduksi atas keinginan sendiri.
Setelah tubuh bagian bawah dibersihkan, cuci perut dan mandi, saya berbaring menunggu kontraksi, tiap setengah jam suster mengecek, sudah kontraksi belum, berapa cm pembukaannya. Eh ditunggu sampai jam 6 pagi belum juga ada kontraksi dan pembukaan baru 1 cm, maka dokter melalui telepon mengintruksikan suster untuk melakukan induksi segera. Lebih dulu jantung bayi diperiksa dengan monitor yang disambungkan ke semacam sabuk yang dilillitkan di perut saya. Kalau bayi bergerak, saya harus pencet tombol yang saya pegang. Pemeriksaan menunjukkan bayi siap diinduksi. Karena pengalaman pertama, saya nggak tau kalau induksi itu ternyata membuat kontraksi buatan, lebih sakit dari kontraksi alami. Itu sudah dikatakan suster sebelumnya, tapi saya belum bisa membayangkan jadi saya iyakan saja.
Jam 7 mulai masuk ruang tindakan, suami tetap setia menemani meski terkantuk-kantuk. Dia memang bertekad menemani, padahal tadinya saya ragu apa dia berani. Saat sarapan pagi saya lahap makan sajian gudek yang disuguhkan, saya pun masih bisa jalan-jalan. Setelah sarapan, saya mulai diinduksi lewat infus, susternya bilang ini obatnya sangaaaat kecil dosisnya, saya sendiri lihat suster itu mengambil obat memang sedikit sekali. Obat lalu disuntikan melalui selang infus yang sudah sejak tadi terpasang di tangan kiri. Tetes demi tetes infus membanjiri selang. Belum ada pengaruh apa-apa, saya masih bisa ngobrol dengan suami, tertawa-tawa dengan kakak yang datang menjenguk. Minum, makan ke kamar mandi, pokoknya hepi deh. Tiap sentengah jam dicek suster, belum ada kontraksi dan pembukaan juga. Suster menaikkan ritme infus, menjadi semakin cepat tetesannya. Saya mulai merasakan mulas sedikit datang pergi, sekitar setengah jam-an mungkin. Masih bisa tertawa-tawa lah. Begitu seterusnya hingga suster menaikan ritme infus menjadi paling cepat. Nah, inilah saatnya. Saya merasakan sakit luar biasa. “Nah, sakit ini yang ditunggu-tunggu bu, tahan ya. Bagus sekali kontraksinya,” kata suster yang dari tadi bergantian mengecek bukaan saya. What?? Bagus? Sakit seperti ini yang ditunggu? Saya senewen dibuatnya, tapi setelah melahirkan baru saya tahu itulah namanya kontraksi (dengan induksi).
Sakitnya seperti orang mau buang air, ingin sekali mengejan tapi belum boleh karena bukaan masih jauh dari 9-10. Padahal satu bukaan bisa sejam aduuuuh masih lama sekali. Tiap ingin mengejan saya udah nggak bisa mempraktekkan teori senam untuk atur napas. Saya bisanya teriak-teriak, lalu diam kalau sakitnya hilang. Padahal baru aja diam, sakitnya datang lagi. Tiap kontraksi, saya selalu menyebut nama Yesus,Yesus! Tapi saya tetap teriak-teriak hehehe….habis sakit beneran sih. Suami sampai berkali-kali menyarankan saya untuk menghemat tenaga buat mengejan nanti. Ada saatnya saya bilang, saya udah nggak kuat lagi. Suami malah marahin saya, nggak boleh seperti itu nanti anaknya dengar, aduh salah lagi. Suami akhirnya menawarkan, apa mau caesar aja. Dalam kesakitan saya berpikir udah tanggung banget, bukaan udah 7 mau operasi, persiapan kamar operasi aja bisa sejam lebih, ah udah lah tanggung harus terus meskipun kesakitan.
Lama-lama saya rasa udah antara langit dan bumi kali, saking sakitnya sambil merintih mata saya menerawang ke atas nggak ada kedip. Enaaak banget rasanya, ringan kayak melayang. Dipanggil suami, saya masih sadar dan nyahut. Dia terus mengajak bicara dan menyemangati, “Ayo tinggal sebentar lagi, jangan nyerah. Bayangin wajahnya Eyo, kayak gimana, ayo!” Berkali-kali suster yang memeriksa pembukaan, saya pegang erat lengannya, “Suster, sakiiit saya pengen ngeden (ngejan).” Eh si suster dengan entengnya, “Ya belum boleh. Nanti kalau udah 10 baru ngejen ya. Sabar ya.” Oooooooh dunia serasa gelap gulita kala dengar si suster bilang sejam lagi, sejam lagi, kok nggak mbukak-mbukak, sampai saya minta suami melihat bukaannya. “Iya Ma, kurang dikiit lagi” Addduuuh berita tak menggembirakan.
Beberapa kali saya panggil juga nama dokternya, saya minta suami menyusulnya. Ah pokoknya kalau ingat masa itu geli sendiri. Semua teori senam nggak saya pakai, malah sibuk sendiri bikin orang lain emosi. Hehe….
Betapa lega ketika suster mengatakan, “Ya udah boleh ngejan. Ngejan aja kalo nggak tahan.” Maka saya gunakan ijin itu untuk nekat mengejan. Berkali-kali tapi kepala si kecil belum nongol. Belakangan saya dikasih tahu suami, suster mengijinkan ngejan meskipun idealnya belum waktunya, karena saya udah nggak tahan lagi, lagipula rambut si kecil sudah kelihatan berarti tinggal nunggu dokter datang untuk membereskan. Akhirnya, dokter diiringi mahasiswa kedokteran lagi praktek masuk. Checking, kata susternya, “Udah dok nggak usah periksa dalam lagi, itu rambutnya (bayi) udah kelihatan kok.” Lantas si suster naik ke atas saya di belakang saya persisnya untuk membantu mengeluarkan si kecil. Saya disuruh mengejan kalau kontraksi datang. Mengejan pun saya salah, waktu senam saya bisa mengejan tanpa suara tapi apa daya kala itu tenggorokan sampai gatal akibat teriak-teriak. “Ayooo dorong lagi, sekali lagi jangan berhenti-jengan berhenti! Kasian anakmu kejepit itu, ayo…dorong lagi,” kata dokter mengetahui saya berhenti mengejan di jalan. Akhirnya dengan bantuan suster yang mendorong dari atas saya tadi, pada pukul 13.15 WIB lahirlah si kecil Eyo dengan berat 3,035 kg panjang 48 cm. Dia meluncur bersama air ketuban yang hangat rasanya. Seiring akan meluncurnya si kecil, dokter menggunting perineum saya, saya jelas mendengar “krek-krek”.
Plong rasanya, sama sekali tidak ada lagi sakit itu. Bener kata orang yang pernah melahirkan, sakitnya luar biasa tetapi begitu keluar, plong seperti tak ada apa-apa. Si kecil ditangkap oleh dokter dan diserahkan bidan untuk dibersihkan. Seorang lelaki kecil menggeliat di box penghangat, kulitnya merah, matanya sipit memandangi ke arah saya yang masih tergolek. Saya melambaikan tangan, “Halo Eyo…”. Dokternya nanya, lho udah siapin nama ya? Iya, daripada pas di RS kudu mikir, mending siapin dari awal buat cowok dan cewek, tinggal pilih. Selang sesaat, dokter mengeluarkan ari-ari dan minta saya mengejan sedikit baru setelah itu ia menjahit bagian yang digunting tadi. Meskipun udah lega, menjahitnya lumayan terasa juga clekit-clekit. Sekitar tiga jam saya di ruang tindakan, baru dipindah jam 4 sore. Malamnya saya susah tidur, masih kebayang-bayang rasa sakitnya, seluruh badan jadi lemes.
Selama 4 hari di RS, sakit jahitan saya belum hilang juga, kata susternya sih gara-gara saya malas jalan-jalan. Lha gimana mau jalan, sakitnya sampai bikin keringetan dan kepala putar-putar? Ngliat ibu-ibu lain udah tegak berdiri sekalipun masih mringis-mringis nahan sakit, saya iri juga. Cuman rasa nyeri yang tak tertahankan bikin saya malas jalan, makanya tambah sakit karena kata suster, daerah perineum (antara alat kelamin wanita dan anus yang digunting itu) syarafnya banyak, jadi kalau diam darah tidak banyak mengalir lancar itu yang bikin nyeri terus. Tapi, malas mengalahkan segalanya.
Hari-hari di RS diwarnai dengan rasa bahagia, menengok anak di ruang baby, melihat wajahnya yang lucu sedang tidur aaah dahaga yang terpuaskan. Sayang, pada hari ketika seharusnya kami pulang bersama, kami harus merelakan Eyo tinggal di RS karena kena kuning sehingga harus disinar biru untuk menurunkan kadar kuning dalam tubuhnya. Kasihan melihatnya ditinggal sendiri, belum lagi ditambah Eyo nggak mau minum susu botol (ASI saya belum keluar) dan muntah, aduh tambah sedih hati ini. Akhirnya saya dan suami pulang duluan. Rasanya aneh pulang tanpa anak, tasnya si kecil juga ikut dibawa pulang, tetangga bertanya-tanya ada apa?
Seminggu lewat, Eyo belum juga bisa dibawa pulang. Diagnosis dokter bilang ada sedikit pendarahan ringan di selaput otaknya. Apa lagi ini?? Saya makin stres saja, sampai nyeri di jahitan makin menjadi. Tapi yang melegakan, dokter bilang tidak berbahaya, tubuh si kecil bisa menyerap darah akibat pendarahan itu dengan sendirinya seiring pertumbuhannya nanti.
Setiap pagi dan sore, saya coba peras ASI demi kesembuhan Eyo dan mengirimkannya ke RS. Berapapun dapatnya, karena ASI masih sangat kurang. Pernah suatu hari, saya hanya bisa memeras ASI sebanyak setengah sendok teh saja. Karena saya pikir ASI awal-awal masih mengandung kolostrum, saya nekat berikan pada Eyo. Suster jaganya sampai terheran-heran. Baru pada hari-hari selanjutnya, lumayan perasan ASI bisa nambah yah 20ml, lalau 40ml. Rindu rasanya bisa mencapai 60 atau 80ml saja. Karena masih suka muntah, Eyo harus diinfus dan karena tenaga hisapnya terhadap botol susu masih lemah dokter terpaksa memasang sonde (selang lewat hidung). Pedih rasanya melihat Eyo dipasangi selang-selang itu, beberapa kali saya melihatnya diambil sampel darahnya, Eyo menangis keras-keras, hati saya hancur. Oh begini ya rasanya ikatan orang tua dan anak….Sambil berjalan masih pincang-pincang, saya menengok Eyo pagi dan sore. Bukannya pada iba melihat saya pincang-pincang pasca melahirkan normal, malah sempat pakai kursi roda lagi gara-gara nggak kuat jalan, suster-suster di sana malah senyum agak sinis, “Normal kok masih pakai kursi roda? Harusnya sembuh lebih cepat dari operasi lho.” Belakangan, dokter menyatakan saya kurang gizi, nggak banyak makan protein, alhasil lukanya nggak kering-kering. Yah, gimana mau makan enak kalau inget anak masih berjuang di RS sendirian? Tapi sejak itu, saya genjot makan protein, ikan, ayam, telor, tempe, susu protein tinggi, semua saya makan sampai saya gatal-gatal.
Total dua minggu Eyo dirawat di RS, setelah menemui dokter anak dan dokter syaraf serta melihat hasil CT-Scan, mereka memastikan Eyo boleh pulang. Beratnya yang sempat turun menjadi 2,7 kg waktu itu sudah naik lagi jadi 3,00 kg. Eyo sudah tidak muntah lagi dan mau minum susu formula. Puji Tuhan! Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya, sebab pada hari Eyo pulang, saya sudah bisa berjalan tegak dan rasa nyeri sudah hilang! Ajaib!
Hari-hari pertama bersama Eyo di rumah, penuh dengan kepanikan. Tangisannya membuat kalang kabut, kalau pipis atau BAB masih bisa tahu lalu ganti popok, tapi kalau nangisnya makin menjadi, saya dan suami bingung dibuatnya. Apalagi ada 6 jenis obat yang harus diberikan pasca perawatannya di RS. Paling stres kalau harus meminumkan, Eyo masih terlalu kecil untuk dibombardir obat-obatan kimia. Maka kami putuskan mencari opini kedua, mendatangi dokter anak lain. Dari dokter anak itu, kami sedikit lega, karena pendarahan yang dimaksudkan tidak berbahaya, hanya akibat persalinan dulu. Mungkin saya mengejan terlalu awal sebelum waktunya sehingga kepalanya seperti membentur ‘pintu keluar’nya. Dokter tidak memberikan obat sama sekali, hanya menganjurkan saya memberi ASI terus, malah saya yang diberi obat agar ASI lancar keluarnya. Saya pikir, dokter ini bijak juga, mengingat anak saya masih sangat kecil. Dari situ saya hentikan asupan obat-obat kimia dari RS.
Kini, Eyo sudah 2 bulan lebih 17 hari. Bulan depan usia 3 bulan. Eyo sudah bisa ngoceh kalau diajak ngobrol. Sudah mulai miring-miring mencoba tengkurap. Susunya sambung, ASI dan formula. Kami pindah dari Jogja ke Salatiga demi pekerjaan saya.
Anak adalah sebuah kepercayaan. Padanya, ada tantangan dan tanggung jawab. Sekarang, saya dan suami masih terus belajar, belajar mengerti bahasa tangisnya, belajar sabar, belajar bersyukur meskipun secara fisik sedikit melelahkan, tetapi melihat bening kedua matanya, semua terbasuh oleh bahagia.
Saya baru sadar mengapa Tuhan menciptakan manusia sebagai bayi kecil pada awalnya untuk dititipkan, bukan sosok orang dewasa. Karena bayi itu sebenarnya penolong bagi orang tuanya. Ia menolong kita menjadi bahagia, memberi semangat baru setiap harinya.
Valereo…terima kasih ya sudah ada di tengah-tengah kami. Karena kamu, mama bisa sembuh dari sakit, karena kamu juga mama semangat setiap hari untuk bekerja. Tetap sehat dan ceria ya…..
Terima kasih buat teman-teman, rekan kerja dan keluarga yang telah memberi dukungan dan doa pada kami hingga kami bisa melewati masa-masa yang berasa nano-nano tadi. We love you and will pray for you too :)

Saturday, February 16, 2008

A Poem for My Future Son

A life has been laid upon my womb.
A life that moves every second I move.
A life that loves to hear my laughter and swept away my tears.
A life that pushes me not to give up on him.
A life that is strong enough to kick me anytime.
A life that cheers me every morning.
Yes…that life is you…my son.
May the Lord - the God of all who live- bless your days
Prepare yourself for your coming birth.
The time when you breathe the air of love and gain your freedom.
Be grown.
And when you grow-up,
Be a man who loves God and respects others.
Be independent in everything you do and be wise.
Don’t easily give up on any handicaps of your life.
Don’t blame the past, but forgive and continue to go on.
Mama may be gone and not always beside you.
One day, you have to fight on your own, but fight with dignity.
Don’t cheat, but honest to your heart.
Find your soulmate and respect her.
Make yourself proud to what you did.
In every step that you make, just remember this…..
Mama is proud to give you birth and Mama is glad to be your choice.
I LOVE YOU AND I ALWAYS WILL ……..

Thursday, February 14, 2008

Lho, Kok Kenal?

Saya punya seorang teman sebut saja namanya Umi. Dia orangnya kelewat pendiam (kalau belum kenal), tapi sekalinya udah kenal waduh lancaaaaar bangat bercerita. Nah, dia punya kebiasaan khusus yang unik menurut saya. Selain unik, kebiasaan dia ini bikin orang lain sebal, kelewat sebal pokoknya. Setiap kali jalan dengan temannya entah berdua atau berbanyak orang, dan tiba-tiba salah satu dari teman Umi itu menyapa orang yang berpapasan di jalan, si Umi lalu cepat-cepat bertanya, “Lho kamu kok bisa kenal?” Pertanyaan ini bukannya membuat teman-teman Umi antusias ngejawab tapi lama-lama bikin eneg, ngapain sih nanya gitu segala. Urusannya apa, mau kenal kek enggak kek, kan bukan urusan Umi. Itu hampir selalu terjadi sampai-sampai seorang sobat Umi yang sering jalan bareng kalo beli makan (biasa anak kos) mengeluh, katanya jengkel banget jalan sama Umi. Habis orangnya suka mau tau, kok bisa kenal (emangnya yang bisa kenal orang lain cuma Umi?).
Dan itu saya buktikan sendiri lho. Suatu kali saya bercerita kalau saya punya teman di sebuah tim pecinta alam di kampusnya, di mana Umi jadi salah satu anggotanya. Kontan dia teriak, “Hah? Mbak kenal orang ini? Kok bisa? Ya ampuun…aku punya nomer HP-nya” Nah ini dia yang dibilang bikin sebal itu. Lha kalo kenal, so what gitu lho. Lalu dia berinisiatif mengirim sms ke orang yang saya kenal tadi (kebetulan sudah berada di luar kota). Saya bilang, lho kenapa harus dikroscek kalau saya kenal sama orang itu? Kesannya dia nggak percaya gitu lho saya kenal orang itu, masa sih saya bisa kenal? “Tenang aja mbak. Aku nggak bakalan macem-macem, cuma senang aja gitu lho. Dunia begitu sempit. Mbak bisa kenal sama orang ini. Aku cuma mau bilang ke orang itu kalau mbak teman aku juga.”Hahaha…betapa sederhananya. Yang selama ini bikin jengkel orang lain. Kebiasaanya itu, menurut pengakuannya ternyata berangkat dari kesukaannya merasakan betapa sempitnya dunia ini sehingga orang bisa terhubung atau kembali terkoneksi satu sama lain secara tidak sengaja. Semacam friendster di dunia yang sebenarnya lah. Nah dia itu sangat senang kalau sampai dia menjadi salah satu pelaku yang sukses mengkoneksikan antar orang yang sudah terpisah jauh. Itulah yang melatarbelakangi dia selalu nanya, “Kok bisa kenal? Gimana ceritanya?” dan ini yang bikin orang sebel mesti nerangin, kesannya kayak dia aja yang bisa kenal orang lain. Hehe…maaf ya Um, jangan tersinggung yach kalau kamu baca tulisan ini, tapi aku bener-bener baru ngeh alasan kamu yang suka nanya “Lho, kok kenal??” itu. Hehe…pisss ah….

Tuesday, February 12, 2008

Ohh snapps I Don’t Recognize Myself!

Minggu lalu, saya periksa darah untuk keperluan general cek up sebelum melahirkan nanti. Ada satu hal yang saya tangkap mengenai diri saya. Apakah itu? Ternyata saya tidak betul-betul mengenali diri saya sendiri. Kisahnya begini. Sebelum cek darah, diadakan wawancara dengan bidan di rumah sakit dimana saya berencana melahirkan di situ, ada sederet pertanyaan menyangkut riwayat kesehatan. Mulailah beberapa pertanyaan dilontarkan, seperti “Anda alergi obat? Kalau ya, obat apa?” Saya bingung, apa pernah saya alergi terhadap obat tertentu. Dulu saya pernah menelan antibiotik lalu merasa pusing serasa ingin pingsan, tetapi saya bertanya-tanya waktu itu saya ingin pingsan karena belum makan atau karena obat itu? Saya lantas menjawab, “Kalau kafein? Soalnya saya nggak suka kopi. Bikin jantung berdebar.” Jawab bidan itu, “Oh itu minuman yang tidak disukai ya? Karena mengandung kafein dan bikin deg-degan. Oke.” Berarti saya tidak menjawab pertanyaan sebelumnya ya, malah menjawab pertanyaan yang belum diutarakan. Hehehe…
Kemudian ada lagi, golongan darah Anda? Saya jawab tegas, “O” lalu bidan itu menimpali, “Yakin??” Hahaha…gara-gara dia membalas dengan pertanyaan itu, saya justru jadi ragu lagi. Emangnya bisa ya golongan darah berubah? Soalnya setahu saya waktu SD dulu pernah dikasih kartu golongan darah setelah pemeriksaan golongan darah di sekolah dan menunjukkan O. Tapi itu udah lama sekali, apa mungkin berubah? Aaaah repot amat sih pemikiran saya, masa gitu aja gak mantap. Pertanyaan lain seperti, volume minum sehari berapa liter? Termasuk kalau berak normal atau encer, semua saya jawab dengan sebelumnya mengkerutkan alis tanda bertanya-tanya dalam diri sendiri.
Hari itu saya benar-benar menyadari bahwa saya tidak betul-betul mengenali diri saya sendiri. Mengenal dalam artian identitas diri saya berdasarkan riwayat kesehatan. Misalnya ya itu tadi, dalam sehari saya biasa minum berapa liter? Tekanan darah normalnya berapa, alergi obat apa, dsb semua itu hanya berdasarkan perkiraan saya saja.
Ingatan saya lalu menerawang pada seorang teman dari Romania. Saya tertarik dengan cara dia menerangkan dirinya suatu hari pada saya. Secara lancar dia menceritakan siapa dirinya, identitasnya di tengah keluarga, pekerjaannya, hobinya, kebiasaan jeleknya termasuk bagaimana ia mengukur dirinya secara fisik. “Tekanan darahku normalnya segini, dan kalau sedang tidak normal biasanya aku akan merasa begini, dsb. Kalau aku sakit ketika tidak berada di dalam negeri, biasanya aku akan mengurus dengan asuransi kesehatanku, aku kalau bisa akan memilih rumah sakit yang bisa kuklaim di negeriku. Dan seterusnya.”
Mulai sekarang, kayaknya bagus deh kalau saya punya catatan kecil mengenai biodata lengkap diri saya. Buat saya sendiri. Nggak cuma nyatet nama sampai hobi tapi juga riwayat kesehatan, mulai dari golongan darah, alergi kalau ada, tekanan darah normal, makanan dan minuman yang kudu dijauhi karena alasan kesehatan, sampai kebiasaan harian seperti minum berapa liter, makan berapa kali sehari, dan sebagainya hingga yang dianggap ‘tidak biasa’ dibicarakan lah pokoknya. Saya malu kalau harus ditanya balik sama orang lain atau dokter : “Yakin???” masa sama diri sendiri nggak yakin, gimana kepada orang lain??
So, know yourself well guys!

Monday, January 28, 2008

Selamat Jalan Pak Harto

Akhirnya, Pak Harto pun tutup usia. Seperti layaknya kita sulit menerka kapan daun kering itu akan jatuh. Sekarang, besok, lusa? Begitulah, terkaan kita terhadap kemungkinan kepergian seseorang yang secara medis telah beberapa kali mengalami fase kritis, seringkali meleset. Pada saat di mana pikiran kita lengah, atau teralihkan perhatiannya, maka terjadilah apa yang kita terka-terka sebelumnya. Pak Harto telah meninggal. Tiba-tiba campur aduk perasaan mulai menjalari, mungkin ditambah dengan guyuran informasi di media massa cetak dan elektronik, gambar-gambar dan ilustrasi mengenai obituarinya. Semua menambah keanehan perasaan. Rasa aneh karena waktu dia masih hidup, ada banyak hujatan mengarah kepadanya yang menutupi hampir semua jejak prestasinya di masa lalu. Banyak telunjuk tertuju padanya sebagai penanggung jawab terjadinya banyak pelanggaran di masa lalu. Tetapi secara manusiawi, ada rasa kehilangan juga. Sekarang, dia benar-benar sudah tiada lagi.
Menanggapi rasa campur baur, benci-marah-kehilangan-rasa biasa-biasa saja itu, saya jadi tertarik dengan sepenggal tanggapan istri Widji Thukul, penyair di Solo yang jadi korban waktu geger 1998 dulu dan harus kehilangan suaminya itu yang hingga sekarang tak tahu di mana rimbanya, dia bilang “Tuhan saja pemaaf mengapa saya tidak memaafkan Suharto.” sambil matanya berkaca-kaca dalam sebuah wawancara dengan TransTV. Sebesar itu permaafan bagi Suharto dari orang yang secara langsung tersakiti oleh Orba ini. Satu lagi, istri Widji Thukul itu berkata tidak dendam karena pada intinya dendam merugikan dirinya sendiri. Bayangkan…the power of forgiveness dari seorang istri penyair yang sederhana ini. Memilih tidak memaafkan, sama seperti sebuah ilustrasi, menaruh kentang dalam kantung plastik dan membawanya kemana saja kita pergi, berhari-hari bahkan berbulan lamanya. Makin lama, kentang itu justru akan membusuk dan bau tak sedap itu justru akan bersumber dari kita.
Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain. Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemana pun kita pergi.

Sunday, January 20, 2008

ICU

Bicara tentang sakitnya mantan presiden Suharto yang kini dikabarkan mulai membaik dan segera akan keluar dari ICU, saya lebih tertarik membayangkan pergulatannya & keluarga di tengah ruang yang bernama ICU (Intenssive Care Unit), daripada membahas mengenai persoalan-persoalan yang ditanggung beliau dan harus dipertanggungjawabkan itu (habis kayaknya nggak ada endingnya gitu yak? Hampir ke arah membosankan). Saya membayangkan bagaimana perjuangan perasaan keluarga besar atau orang-orang terdekat seseorang yang tengah dirawat di ICU selama berhari-hari, mereka lah yang paling merasakan beban dan tekanan hebat. Bagaimana tidak? Setiap hari harus menunggui dan melihat seseorang yang sedang melawan sekuat tenaga penyakitnya, dan boleh dikata di ICU itu para pasien terbaring di antara hidup dan mati. Sangat dekat sekali rasanya maut itu bagi kita orang yang sehat yang sedang menunggui mereka di sana. Tapi bukan berarti semua yang di ICU hanya punya dua pilihan itu, di ICU juga seringkali terjadi yang namanya Miracle. Jadi kalau saya bisa gambarkan, mungkin di sana ada malaikat pencabut nyawa, ada malaikat dewan pertimbangan agung (yang diberi kewenangan Tuhan untuk mengatakan cabut sekarang atau nanti saja atau penerus kehendak Tuhan untuk memberikan seseorang second chance). Yah, sebenarnya di mana pun kita berada sih ya, tapi di ICU gambaran seperti itu sangat kental dan menggigit.
Saya pernah juga mengalami bagaimana teraduk-aduknya perasaan ketika menunggui seseorang di arena ICU. Waktu itu yang saya tunggui ibu saya sendiri. Beberapa tahun lalu sebelum menjalani operasi jantung, beliau sudah standby di ICU beberapa hari sebelum pelaksanaan operasi guna menjaga sterilitas dan pemantauan dokter atas kondisinya. Sehari sebelum beliau masuk ruang operasi, saya sempat menungguinya. Pagi, saya masih melihat pasien di depan ibu saya meski dengan piranti-piranti tersemat di sekujur tubuhnya, eh sore ketika ke sana lagi, ibu saya bilang pasien tetangganya itu sudah tiada lagi siangnya. Fiuh…saya ikut gemetar mendengarnya, gimana perasaan ibu saya yang akan menjalani operasi besar esok hari? Pikir saya, kami sekeluarga pun cuma bisa memompakan semangat hidup dan doa agar beliau diberi kekuatan. Ternyata berada di ICU bisa menjatuhbangunkan mental seorang pasien dan keluarga yang menunggui manakala melihat atau mendengar salah seorang penghuni ICU meninggal lebih dulu.
Ditambah lagi pemandangan di ICU, monitor jantung yang selalu berbunyi, tit…tit…tit…dengan garis-garis penunjuk masih ada tidaknya tanda-tanda kehidupan. Lalu mesin apalah namanya itu, yang buat bernafas bentuknya seperti tabung pompa besar dengan selang yang tersambung ke mulut pasien jadi ketika pasien bernapas, mesin itu turun naik seperti pompa. Belum lagi mesin pembersih tenggorokan pasien yang sudah koma atau tidak sadarkan diri berhari-hari, kalau alat itu sedang bekerja bunyinya itu lho…krrrrr…krrrr….krrrroookkk…Aduuhh masygul rasanya demi melihat piranti-piranti bertema ICU itu.
Pualiiiing menyakitkan manakala, harus meretas langkah menuju ICU dan melihat pemandangan di mana orang yang terkasih terbujur kaku ditutupi kain putih dengan monitor jantung berbunyi tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit panjang dan layar menunjukkan garis hijau mendatar, pertanda ia sudah tutup usia dan para dokter berdiri dengan pandangan seakan berkata, “Be strong please, we’ve done our best so far”. Dan itulah yang saya alami. Sungguh sebuah ruangan hidup dan mati, ruang kehilangan atau mendapatkannya kembali. Ya, ICU….(*dedicated to all people whose family’s member is now laying and fighting against desease in ICU, be tough)

Friday, January 18, 2008

Sedihnya Keponakan Opname

Aduuuhai...kasihannya keponakanku satu ini, sekarang lagi sakit. Opnamne di rumah sakit, kena gejala demam berdarah. Tiga hari panas di rumah nggak turun-turun, membuatnya yang biasanya cerewet dan lari ke sana- kemari tergolek lemah dengan selang infus berbantal papan kayu di tangan mungilnya. Andra namanya, dia baru akan 2 tahun April depan. Sekarang lagi belajar ngomong banyak-banyak, "Itu Baba", katanya menirukan boneka di VCD salah satu produk pempers. "Iwak"(ikan), "Sakit", "Takut", adalah beberapa kosakata yang sudah dikuasainya. Atau bebunyian binatang seperti miaaw...hmoooo...guk-guk...embeeeek...
Selebihnya masih bla-bla-blah, kalau diajak ngomong menyimak tapi mbalikinnya masih belum terlalu jelas. Biar begitu, dia lucu sekali. Sekarang juga sudah pintar bergaya kalau difoto (lihat tuh posenya berfoto dengan saya), sudah pintar pipis sendiri lagi. Kalau menyambanginya ke rumah, dia selalu memanggil saya "Wiiik, Wiiik" maksudnya Dewi(k) hehe...kalau ingat itu, saya selalu pengen ketemu dia. Sayang, Andra lagi sakit. Semoga lekas sembuh ya sayang...biar bisa main-main lagi sama teman-teman dan bulik Wiiik.

Saturday, January 12, 2008

Musuh Besar Anak Kos

Judul di atas bukan untuk digeneralisasikan pada semua anak-anak kos. Cuma buat kasus saya kok. Siapa tuh musuh besar anak kos seperti saya? Begini, selama 9 tahun menjalani kehidupan sebagai anak kos, perinciannya : 4 tahun ngekos pas mahasiswa, trus ketambahan 4 tahunan ngekos waktu udah kerja, saya memutuskan kalau musuh besar bisa dikategorikan sebagai musuh utama adalah : KECOA dan SAKIT.
Mari kita bahas satu-satu.
Kecoa. Mengapa mahkluk ini saya resmikan sebagai musuh utama? Alasannya simple, rasa geli aja melihat hewan ini merambat. Apalagi kalau kecoa ini punya keahlian terbang, nangkepnya susah. Kedua, hewan yang cocok pada situasi kamar mandi dan got ini amat gemar mengeluarkan bau ‘sedap’ yang bisa menempel pada semua benda. Bisa di gelas, piring bahkan pakaian di lemari baju. Paling puas kalau melihat kecoa yang saya buru, tergelepar dengan tubuh terbalik (harusnya ini disensor karena melanggar perikehewanan). Biasanya kecoa yang demikian akan berusaha membalikkan kembali tubuhnya dengan susah payah. Nah, kalau sudah begitu sukses deh saya mengusirnya dari kamar (dalam kasus kecoanya masuk kamar).
Ngomong-ngomong kecoa masuk kamar, ini kasus yang paling sering saya alami. Jangan menuduh saya orangnya jorok ya, pada satu waktu mungkin saking malasnya bersih-bersih tapi nggak kebangetan lah. Saya pernah berupaya menutup semua lubang kamar termasuk lubang ventilasi udara dengan Koran agar sang kecoa tidak gemar masuk kamar. Sampai saya rela bernapas dengan udara yang itu-itu saja berputar di kamar akibat lubang ventilasi tertutup. Tapi….itu tidak berhasil. Kecoa ada aja cara masuknya, mereka (kecoa berganti-ganti, tidak serombongan kok) memanfaatkan waktu lengah saya ketika membuka pintu kamar barang sebentar. Menyebalkan kalau sudah memergoki kecoa jalan di pinggir tembok atau di lantai. Bawaannya pengen mengenyahkan dengan sapu lidi yang biasanya saya pakai buat mbersihin dipan. Suatu kali saya berpikir darimana kecoa bisa masuk, ternyata usut punya usut, kecoa tuh seperti tikus curut yang bisa menggepengkan badannya setipis mungkin buat nyelinap ke bawah lubang pintu atau lubang sempit lainnya. Aih…aih…
Cara konvensional dengan sapu lidi itu yang sampai sekarang saya pertahankan karena dengan kapur barus atau kapur serangga nggak mempan, kecuali saya menggarisi seluruh kamar dengan kapur kali ya?
Insting saya terhadap adanya hewan ini mulai terasah sekalipun dalam keadaan lampu dimatikan. Apalagi kalau tidak ada suara radio atau TV. Saya bisa sedikit membedakan, kalau ada suara kresek-kresek di kamar itu disebabkan oleh cicak atau kecoa. Kalau cicak sih nggak masalah, tapi kalau kecoa maka radar insting saya langsung mengarah pada status waspada. Pernah, di kamar kos saya belum lama ini, ketika tertidur lelap dan dalam keadaan lampu dimatikan, saya tiba-tiba terbangun dan sekelebat dalam kegelapan yang agak remang karena sorotan lampu di luar kamar, saya memergoki seekor kecoa merembet di samping kiri saya! Spontan saya beranjak dari dipan dan menyalakan lampu. Si kecoa sudah melesat ke sudut ruangan yang agak sulit dijangkau sapu. Kalau sudah begini, jurus andalan saya muncul. Memegang sapu sambil duduk di kursi dengan kaki di diangkat sambil mata melebar menepiskan kantuk untuk menyatroni si kecoa. Hanya beberapa kali sukses, selebihnya saya memutuskan tidur dengan lampu dinyalakan kembali dan teteep sapu lidi di tangan.
Musuh kedua adalah sakit di kos-kosan. Mungkin kalo yang ini semua rata-rata anak kos apalagi perantau dari jauh, merasakan hal yang sama. Kalau lagi sakit, bawaannya ngenes banget. Apalagi kalo pas weekend di mana teman-teman kos yang rumahnya nggak jauh-jauh amat, banyak yang pulang kampong. Teman dekat nggak ada di tempat, aduuuuh pastilah sorangan merasa paling menderita di dunia. Baru kerasa kalau orang lain itu sangat berarti ya pas sakit dan seorang diri itu. Bangun ambil air putih aja rasanya nggak mampu. Badan serasa ditumpuki bebatuan. Apalagi harus beli makan keluar kos. Mau bikin mi sendiri berdiri aja lemes, ah pokoknya nggak asik banget deh musuh yang satu ini (sapa suruh sakit ya?). Namanya juga lagi dapet kesempatan ‘istimewa’ ngrasain nikmatnya sehat, sekali waktu anak kos pasti sakit. Dan itu saya alamai beberapa kali, belum lama ini juga saya kena diare di kos. Wah nggak tanggung-tanggung saya ngitungnya ada 7 kali bolak-balik ke kamar mandi. Pas hari libur pula. Waktu itu liburnya hari kamis, jelas Jumatnya harpitnas jadi teman-teman kos banyak yang mudik long weekend. Sekali dua kali ke kamar mandi sih masih bisa bertahan. Eh ,masuk level 4 ke atas, barulah terasa tubuh seperti limbung. Dengan kekuatan penuh saya pompa sedikit sisa tenaga untuk hunting makan siang yang dipaksakan masuk mulut kalo nggak mau pingsan karena kelaparan.
Yah begitulah, boleh deh tanyakan pada anak kos yang lain apakah dua musuh besar saya itu juga jadi musuh mereka juga. Sapa tau ada benarnya, yoi nggak Sob ?

Friday, January 11, 2008

Malam Natal & Tahun Baru Pertama Bersama Eyo


Halo, perkenalkan ini anak kami. Nggak kelihatan ya? Iya, karena usianya baru 5 bulan pas Desember kemarin. Kami biasa memanggilnya Eyo, karena menurut perkiraan dokter, dia laki-laki. Nggak ada artinya apa-apa sih panggilan ini, Cuma dulu waktu ketauan hamil, sengaja manggilnya Eya/Eyo, tapi pas udah diperiksa kata bu dokternya cowok, sejak itu kami berdua memanggilnya Eyo. Eyo adalah hadiah natal dari Tuhan untuk saya dan suami. Bukannya 25 Desember ulang tahun Tuhan Yesus? Hehe…iya, Dialah yang berulang tahun, tapi justru Dia-lah yang selalu memberikan hadiah untuk saya. Dan tahun ini menjadi sangat istimewa karena saya bisa merayakan Natal, hari kelahiran-Nya tidak saja dengan mantan pacar yang sekarang menjadi suami saya, tetapi juga dengan Eyo.
Eyo sekarang sudah bisa nendang-nendang mama. Biasanya terjadi kalau saya sedang tiduran atau dalam keadaan tidak melakukan aktivitas apapun. Perut seperti terasa kedutan di sana-sini, kadang juga bermanuver jumpalitan keliling-keliling perut mama. Eyo juga sudah tahu kalau dipanggil namanya, atau kalau tangan saya usap-usapkan di perut sebelah kiri misalnya, maka Eyo akan merespon dengan menendang. Saya baru bisa merasakannya dengan kuat satu bulan terakhir. Sungguh luar biasa! Hadiah Natal istimewa dari Tuhan. Satu hal yang membuat saya terpana sendiri di depan kaca tiap hari adalah, melihat Eyo tumbuh semakin besar. Perut saya pun semakin membuncit. Ya Tuhan….ini adalah sesuatu yang lama saya angankan, apakah saya pun akan mengalaminya? Dan ternyata….ya, saya sedang mengalaminya. Terima kasih Tuhan. Selain itu, perubahan lainnya adalah tiap bangun dari tidur, saya memerlukan tenaga ekstra untuk beranjak dari tempat tidur dengan teknis tertentu tentunya karena kalau tidak maka saya tidak akan sukses bangun, mungkin malah nggelimpang ke belakang alias terkapar lagi, saking bobot badan bertambah. Hehe…kadang juga perut terasa kram, keras sekali dan kaki membengkak. Biasanya terjadi kalau saya terlalu lama berdiri. Itu adalah pertanda saya harus segera beristirahat. Begitulah secuplik gambaran perubahan fisik saya, beberapa kg lebih tambun tetapi mengasyikkan dan nikmat sekali.
Natal tahun ini memang berbeda, untuk saya. Meskipun ritualnya tetap sama, ke gereja, lalu makan bersama – kini bersama suami dan Eyo. Yang lain adalah, tahun ini keluarga besar saya tidak berkumpul merayakan bersama-sama. Agak sedih juga, karena Natal adalah momen pas yang selalu dipakai untuk bereuni anggota keluarga besar, namun karena masing-masing mempunyai jadwal untuk beracara sendiri, maka acara tahunan itu tidak terlaksana. Mudah-mudahan tahun yang akan datang.
Tahun ini pun, kami tidak bisa pulang ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tempat kelahiran suami saya, karena kondisi saya yang sedang hamil, apalagi kami baru saja bertandang ke sana November lalu. Lebih baik, menabung saja hehe…sambil menyongsong hadirnya kado Natal hidup dari Tuhan ini. Kalau semua lancar, saya akan melahirkan bulan April 2008. Doakan yach!
Lumayan, libur akhir tahun saya agak panjang, 2 mingguan! Rasanya memang membosankan meniti jam-jam tanpa melakukan sesuatu. Paling-paling, saya mencoba memasak, yang standar saja seperti tumis-tumisan. Lalu, bermain game di komputer. Permainan yang sedang saya gemari adalah Luxor, mirip-mirip Zuma. Tapi ada satu level yang selalu gagal saya lewati, alhasil saya pun didera bosan dengan Luxor. Untunglah ada komputer, dan untunglah ada blog, jadi saya masih bisa bercuap-cuap lewat tulisan. Beberapa kali mengecek e-mail, sepi sekali. Mungkin orang masih menghabiskan liburan jadi malas berkirim kabar.
Oya, perayaan tahun baru kami juga agak beda karena dirayakan bertiga. Tepat jam 12 malam memasuki tanggal 1 Januari 2008, setelah suami melakukan ritual membunyikan mercon kembang api di luar rumah, kami lalu mengawali hari dengan makan pertama. Menunya B2 kecap, lalu kami tutup dengan doa ucapan syukur dan pengharapan di tahun depan. Pokoknya kami bertekad melestarikan kebiasaan ini kepada anak cucu kami nantinya, berapapun yang bisa berkumpul nanti.
Ehm…apa yang akan terjadi di tahun 2008? Akan banyak kejutan dan perubahan-perubahan yang bisa jadi sifatnya radikal pastinya, mudah-mudahan saya dan keluarga kecil saya ini mampu melewati fase-fase baru itu. Tuhan menolong kami……