Tuesday, September 4, 2007

ANAK PENJAJA TOPENG MONYET

Sore itu, hujan rintik-rintik di luar sana. Kuambil secangkir teh yang dibuat Karlina, istriku. Sambil memandangi kaca jendela yang makin buram oleh air hujan, aku menikmati kehangatan teh sambil membaui uap yang keluar dari cangkir itu. Hmm… kental dan terasa agak pahit. Aku gemar minum teh kental, diseduh dengan air panas yang barusan mendidih. Bagiku rasanya melebihi jenis minuman apapun. Entah mengapa aroma teh itu tiba-tiba mengingatkanku pada masa lalu.

***

“Bagus pergi ke pasar!” Dung-dung-dung…. teriak bapak di tengah kerumunan anak-anak kecil. Bagus berjalan memutar sambil membawa payung dan keranjang kecil. Bapak mengarahkan gerakan Bagus memutar ke kanan dan ke kiri, kadang menghampiri anak-anak di dekatnya lalu terdengarlah teriakan mereka karena ketakutan. Dan aku, tugasku adalah memukul kendang untuk mengiringi pertunjukan topeng monyet bapak. Aku memang tidak setiap hari menemaninya keluar masuk gang-gang sempit di kota Yogyakarta untuk menghibur anak-anak itu. Hanya pada hari libur saja aku kadang ikut bapak.
Itulah jalan yang ditempuh bapak demi menghidupi ketiga anaknya. Aku, Fajar, anak paling tua, Tami adikku nomer dua dan Hadi si bungsu. Ibuku, seorang kuli gendong di pasar Beringharjo.
Sebelum menjadi penjaja topeng monyet, bapak pernah menjadi kuli gendong, tetapi sakit ambeien memaksanya berhenti mengerjakan profesi yang memerlukan tenaga ekstra itu. Ia pun bekerja serabutan. Menjadi tukang kebun, membantu tetangga mengecat rumah atau membersihkan rumput di rumah mereka, hingga membantu Koh Aseng yang punya toko besi. Namun karena penyakitnya itu, ia tidak mampu melakukan pekerjaan berat seperti mengangkut barang, bapak hanya melayani pembeli.
Kami bertiga besar dalam kondisi yang amat bersahaja. Ibu sering memasak telur dadar untuk sarapan pagi kami semua. Untuk menghemat, biasanya ibu menambahkan tepung terigu agar telur itu mengembang besar dan bisa dibagi lima. Dengan pelengkap sebotol kecap dan kerupuk, menu itu terasa nikmat. Kalau ada rejeki lebih, biasanya bapak membelikan bakmi goreng dengan tambahan balungan ayam di dalamnya untuk makan malam.
Ibu menjalani profesi buruh gendong hingga suatu hari sebuah truk menyenggol karung goni yang dipanggulnya dan ia terpelanting diterima motor berkecepatan tinggi. Kaki kanannya patah. Sejak itu ia sering merasa kesemutan dan ngilu bila berdiri terlalu lama, apalagi dengan beban di punggungnya. Ibu pun terpaksa berhenti menjadi buruh gendong dan menjadi buruh cuci piring di sebuah warung makan padang yang tak besar.
Sebagai anak sulung, aku merasa bertanggung jawab atas adik-adikku. Bapak dan ibu selalu berpesan apapun yang terjadi kami harus terus sekolah. Syukurlah, sekolah memberikan subsidi untuk Tami dan aku khususnya uang buku dan SPP. Demi membantu bapak menopang keluarga, aku pun menjajal berjualan di atas bis antar kota. Titipan dari distributor seperti permen, snack, batere, mainan, sampai kaos kaki pernah aku jualkan. Sepulang sekolah, aku siap di terminal dan menjajakan dagangan dari bis ke bis.
Suatu hari seorang kawan bapak menawarkan seekor monyet bersama perlengkapan topeng monyet –sebuah kotak dorong dan aksesoris si monyet– pada bapak. Entah bagaimana caranya, monyet dan perlengkapannya itu bisa jatuh ke tangannya dengan harga Rp 100.000,-
“ Koh Aseng yang bantu bayar separo,” kata bapak sambil tersenyum.
“ Apa bapak tahu cara mengendalikan monyet itu. Tami dan Hadi saja menjerit-jerit begitu bapak pulang membawa monyet itu,” tanyaku.
“ Si Bagus maksudmu, Le? Dia sudah jinak, asal kita rawat dan beri makan teratur. Lagipula pak Gatot teman bapak yang punya Bagus itu mau melatih bapak,” ujarnya bangga.
“ Jadi bapak akan menjadi tukang topeng monyet? Nggak kerja di Koh Aseng lagi?,” tanyaku menyelidiki.
“ Koh Aseng orang baik tapi rasanya bapak tidak banyak membantu di tokonya. Mau angkut-angkut takut penyakit bapak kambuh dan malah jadi beban orang lagi. Kalau tukang topeng monyet kan tinggal dorong kotaknya saja,” kembali bapak menjelaskan.
Aku terdiam sejenak. Aku merasa tidak siap mempunyai bapak berprofesi tukang topeng monyet. Aku membayangkan bagaimana tanggapan teman-teman di sekolahku, mereka pasti akan mengejek, aku tak kan punya teman. Bagaimana dengan Tami adikku, dia juga pasti akan diejek temannya.
Seakan tahu bahasa tubuhku, ayah menepuk bahuku sambil berkata, “ Le, kamu jangan malu punya orang tua seperti bapak. Ini bapak lakukan untuk menyekolahkan kamu. Ingat Le, apapun nanti yang terjadi yang penting ini dan ini,” jelasnya sambil menunjuk kepala dan dadanya.
“ Pikiran dan hatimu harus seluas samudera. Kamu harus berjiwa besar. Terimalah segala pernyataan dan sikap orang lain yang tidak menyukaimu atau mengejekmu dengan keikhlasan dan biarkan itu tenggelam oleh maafmu. Nanti kamu akan merasa legowo, bebas melangkah,” pesan ayah sambil berjalan menarik rantai Bagus, ia telah menjawab tanyaku tentang kepala dan dada yang ditunjuknya.
Maka ayah yang sudah beralih profesi itu mulai bergerilya dari satu gang ke gang lainnya sambil memukul kendangnya. Sekali pentas, ia menarik ongkos hanya Rp 3000 – 5000. Kalau sedang ramai lumayan uang yang diperolehnya. Demi menghemat, ibu tak jarang membekali nasi bungkus dan sebotol teh manis untuk makan siang bapak. Tapi sering juga bapak hanya membawa pulang uang Rp 5000 karena sepi. Pernah suatu hari ketika menjajakan makanan di atas bis, aku memergoki bapak tertidur di kursi penumpang paling belakang dengan kotak topeng monyetnya berisi Bagus. Rupanya demi sesuap nasi ia harus menjelajah seluruh wilayah. Aku tak tahan melihatnya, demi mencegah air mataku tak jatuh, aku segera turun dan pindah ke bis lain.
Dan seperti yang kuduga sebelumnya, teman-teman mulai menyadari aku anak si tukang topeng monyet. Tak jarang ada yang sengaja berjalan di depanku sambil menyuarakan “Dung..dung...dung kamu nggak pergi ke pasar Jar?” Telingaku meradang mendengarnya. Ingin kutinju mulut mereka kalau saja aku tak ingat pesan bapak. Suatu siang Tami terbirit pulang sambil menangis. Katanya dia baru saja diejek temannya. Ketika sedang berjalan pulang temannya berkata, “Eh...ada monyet lagi jalan sendiri!” Mendengar cerita dari kami sepulang kerja, bapak berdesah keras. Setelah menyeruput teh nasgitel buatan ibu, ia beranjak ke kamar mandi. Bapak mengusap kepalaku dan menunjuk kepala dan dadanya lagi. Aku ingat apa artinya. Berjiwa besar.
***

Selama beberapa tahun lamanya, keringat bapak dan ibu membuahkan hasil. Dari jerih payahnya, ibu bisa membuat warung kecil-kecilan menjajakan gorengan. Aku bisa tamat STM, Tami sekolah perawat dan Hadi bisa melanjutkan SMU. Setamat STM, aku tidak serta merta bisa bekerja. Aku harus keluar masuk perusahaan kecil menjadi pegawai paruh waktu, sebelum akhirnya diterima di sebuah perusahaan otomotif besar di Jakarta. Aku menjadi karyawan bagian assembly atau perakitan piranti motor. Awalnya, gajiku hanya cukup untuk menyewa kamar kos, makan dan transport.
Dulu aku sempat ragu beranjak ke Jakarta. Tetapi bapak mendorongku,“ Pergilah sejauh mungkin. Hidupmu pasti akan berubah, hanya hati-hatilah dan ingatlah ini...dan ini,” itu pesannya yang kesekian kali sambil menunjuk kepala dan dadanya. Demikianlah, bagiku bapak bukan penjaja topeng monyet biasa. Dia adalah motivator terhebat yang kumiliki. Pesan itu terpatri dalam hatiku. Aku dan adik-adikku harus menjadi orang yang berjiwa besar dan berpikir luas hingga keadaan tidak akan membuat kami berkecil hati dan enggan untuk melangkah meraih masa depan kami masing-masing.

***

Lambat laun waktu membawaku pada perubahan itu. Kini aku sudah menjadi supervisor dan memiliki seorang istri bernama Karlina. Kami tinggal di rumah yang kubeli sedikit demi sedikit dari gaji kami berdua. Karlina adalah seorang guru TK. Lima tahun menikah kami belum dikaruniai anak. Kami menerima kenyataan ini dengan berbesar hati seperti pesan bapak.
Hujan masih saja membuat kaca yang kupandangi kabur, tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Aku tak kuasa menahan air mata keluar dari pelupuk mataku. Aku menunduk sambil memandangi cangkir teh yang sudah separuh kosong.
“ Ada apa mas? Kenapa menangis?,” tanya istriku memergokiku.
“ Aku hanya ingat bapak. Aku menyesal tidak ada di sana ketika gempa merenggut nyawanya,” jawabku terbata sambil berusaha tenang. Pikirku menerawang lagi.

***

Kala itu Sabtu, 27 Mei 2006. Pagi-pagi benar aku masih bermalas-malas tidur waktu istriku menggoncang tubuhku dan mengabari bahwa Jogja dilanda gempa berkekuatan 5,9 SR. Rumahku termasuk berada di wilayah terparah. Kami coba menghubungi handphone Tami dan mengirim sms tetapi tidak bisa. Berita di televisi semakin membuatku panik hingga kuputuskan untuk pulang hari itu juga.
Kakiku melemah kala senja itu kupijakkan kaki ke gang menuju rumah bapak. Rumah-rumah telah rata hancur. Makin lemas ketika kulihat bendera putih di depan gang rumah Bapak. Diiringi guyuran hujan kulihat sebuah meja di pelataran beratapkan terpal yang sudah melengkung karena menahan air hujan, di atasnya terbujur sesosok yang entah siapa. Bapak? Ibu? Achh tidak! Aku lari dan membuka penutupnya.
“Bapak!,” tubuhku terguncang-guncang oleh tangisku. “Maafkan Fajar....baru memelukmu kali ini, seandainya bapak dan ibu mau tinggal bersama kami di Jakarta,” kataku tercekat di dekat telinganya. Wajahnya lebam dan luka memenuhi kepalanya. Kulihat rumah bapak sudah rubuh. Hatiku tersayat. Hadi menghampiri dan menenangkanku.
“ Hadi, dimana ibu?,” tanyaku padanya sambil memapahku duduk di bawah terpal yang bocor sana-sini. Aku paham kenapa jasad bapak hanya dibiarkan di pelataran. Kala itu tak ada seorang pun berani berlama-lama di dalam rumah. Gempa itu membuat orang trauma, apalagi malam itu listrik masih padam dan hujan turun dengan derasnya. Aku pasrah.
“ Ibu masih di rumah sakit. Mbak Tami yang menungguinya. Alhamdulilah, ibu hanya luka ringan. Tetapi beliau masih shock kehilangan bapak, mas,” jelas Hadi sambil membawakan teh hangat.
Ia melanjutkan, “Pagi tadi ibu baru melangkah keluar akan ke pasar. Tiba-tiba gempa terjadi dan semua begitu cepat. Kata ibu, bapak sedang selesai mandi dan sedang bersenda gurau dengan si Bagus”
Aku menengok pada Hadi ketika ia menyebut Bagus.
“ Iya, bapak masih keliling dengan Bagus. Terakhir mas Fajar menengok bapak waktu lebaran itu, bapak sengaja menitipkan Bagus ke Koh Aseng biar mas Fajar nggak lihat bapak masih nopeng monyet. Kami nggak bisa melarang, mas. Sepertinya bapak sudah tidak bisa lepas dari Bagus begitu juga Bagus. Dia juga mati seketika tadi pagi, tertindih tembok bersama bapak,” Hadi menunduk.
“ Maafkan Hadi mas, malam sebelumnya Hadi menginap di rumah teman di kota. Hadi juga menyesal tidak bisa menyelamatkan bapak,” air mata meleleh di pelupuk Hadi.
Aku tergetar mendengar kesaksian Hadi. Bagaimana mungkin semua ini ditutup rapi oleh bapak. Aku sudah melarang bapak keliling membawa Bagus. Ternyata ia masih curi-curi kesempatan untuk menjajakan topeng monyet itu. Tapi dalam hati kecilku, aku mengaguminya.
Sebelum dimakamkan, aku sekali lagi menyempatkan melihat bapak. Aku melihat wajahnya sekalipun lebam, tetapi terlihat tentram seperti orang yang sedang tidur. Ia legowo, ikhlas menerima semuanya. Kemiskinan tidak membuatnya berkecil hati untuk terus berusaha, kini setelah semua harapan bagi kami bertiga terwujud, bapak harus meninggal dengan cara yang mengenaskan.
“ Kamu harus berbesar hati menerima kenyataan hidup,” aku membayangkan bapak mengatakannya di depanku.
“ Bahkan kematian pun tidak meniadakan kebesaran jiwamu,” batinku, mataku tertuju pada sebuah kotak biru yang catnya sudah mengelupas di sana sini. Kotak itu tergencet tembok dan besi. Aku bisa melihat kendang yang dulu kumainkan bersama bapak mengiringi Bagus. (*)

No comments: