Sebenarnya, aku masih belum rela melepaskan kepergianmu. I miss you much...
“Tolong kasih penjelasan yang masuk akal padaku, siapa sebenarnya Yona? Apa artinya ini?,” begitu tanya Theo pacarku selama 5 tahun yang kini jadi tunanganku dengan geramnya pada suatu kali memergoki sebuah sms dalam handphone-ku.
Kali lain, dia bilang, “Aku berhak dong merasa cemburu. Jangan menebar harapan pada setiap lelaki yang mengenalmu.”
“Tenang Theo, jangan emosi. Yona itu rekan baruku. Biasalah, itu percakapan rubish. Aku nggak anggap serius,” aku coba menerangkan ketika Theo menginterogasiku. Waktu itu, aku lupa menghapus pesan yang bernada ‘rayuan gombal’ dari Yona, mitra kerjaku di Surabaya.
Walau sebenarnya alasan yang kuberikan juga itu bohong. Aku tidak mau menyakiti hati Theo. Aku cuma lupa menghapus pesan Yona. Itu saja yang kuanggap sebagai kesalahan besar hingga membawa kami pada pembahasan tentang Yona setiap aku dan Theo bertemu.
“ Apa Yona masih sms kamu? Jangan bohong,” Theo memohon padaku sambil merebut hanphoneku. Dia mulai mengutak-atik kotak surat di dalamnya.
“ Fuh...untung kali ini aku tidak lupa menghapus jejak,” batinku.
“ Tidak. Aku tidak bohong. Jangan seperti anak kecil deh,” aku selalu dibakar rasa marah setiap kali Theo coba menyelidiki.
Aku sadar resiko ini. Berbohong bahwa aku tak pernah menganggap sms Yona berarti. Sedari awal sudah aku sadari. Tapi entah kenapa aku menikmatinya. Mungkin aku sedang merasa jenuh. Jenuh karena hubungan yang sudah terlampau lama. Bosan dengan Theo yang amat baik padaku. Bosan yang aneh, karena tidak ada yang salah dengan Theo dan hubungan kami.
Aku dan Yona, setahun terakhir berhubungan. Yona bekerja pada mitra perusahaan di Surabaya. Kami bertemu di sebuah acara gathering. Setelah dua kali bertemu, barulah kami sering berkirim pesan melalui handphone. Awalnya rasa itu tidak ada sama sekali, tetapi gaya Yona yang smart dan gentle itu menumbuhkan rasa suka dalam hatiku. Pada awal perkenalan kami, Yona sudah kuberi tahu bahwa aku bertunangan dengan Theo, tetapi kenyataan itu tidak menyurutkannya menaruh perhatian kapadaku. Beberapa kali sms-nya berisi kalimat yang menggoda perasaanku.
Maukah kamu kalau aku menunggumu? Sms Yona kubaca suatu kali ketika sedang menunggu pesawat di bandara Juanda untuk kembali ke Jakarta. Seketika itu juga hatiku berdegup kencang, perasaan aneh yang tidak pernah lagi kurasakan selama 5 tahun terakhir. Perasaan seperti jatuh cinta lagi. Keringat dingin membasahi tanganku dan aku bingung mencari kata untuk membalasnya. Pikiranku berkecamuk saat itu, terus terang aku memang jatuh cinta lagi pada pria bernama Yona, tetapi aku tidak mungkin memalingkan perasaan dari orang yang amat mengasihiku selama ini.
Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, kemudian jari kananku dengan gemetar memilih huruf demi huruf.
“Jangan menungguku, aku pasti akan mengecewakanmu, “ begitu bunyinya. Setengah tak percaya kubaca ulang kalimat itu. Benarkah? Aku bertanya dalam hati sekali lagi. Tetapi jariku memencet tombol send. “Ufh...aku telah melewatkannya,” batinku sambil menghapus pesan dari Yona itu dari handphone-ku.
******
Demi meredam ketegangan antara aku dan Theo tiap kali bertemu, aku berpesan pada Yona untuk mengirim sms hanya pada jam-jam kerja dan tengah malam. Karena saat-saat itulah, aku dan Theo tidak bertemu. Yona menyanggupi, tetapi dalam hati aku merasa bersalah karena rasa-rasanya Yona hanya menjadi pelarian perasaan bosanku pada Theo. Meski sebenarnya, ingin rasanya aku tega untuk meninggalkan Theo dan menjadi kekasih Yona, seperti yang diharapkannya. Begitupun sebaliknya aku merasa bersalah karena secara diam-diam aku telah berselingkuh perasaan dari Theo.
Aku tak mengerti mengapa saat bersama Theo, aku kangen pada Yona. Bahkan pernah, ketika sedang jalan bareng Theo, aku minta ijin menelepon Yona. Aku pura-pura beralasan urgent menelepon Yona karena urusan perusahaan. Padahal aku melakukannya karena rindu mendengar suaranya. Theo mengijinkan! Saat itu Theo belum berprasangka buruk terhadap Yona. Begitulah setiap hari, separuh otakku hanya memikirkan Yona.
Suatu malam, handhponeku berbunyi, kubaca identitas peneleponnya Yona. Biasanya Yona hanya missed call, begitu kuangkat dia mematikannya. Kali ini aku sengaja langsung angkat HP.
“Halo!,” lalu aku diam. Tetapi kali ini lain, Yona tidak menutupnya.
Dari seberang kudengar ia membalas ucap, “Hai...met malam. Lagi apa? Aku kangen banget sama kamu. Gimana kabarmu?”
“ Ehm.. eh..aku baik-baik aja. Lagi baca buku. Kamu ngapain?,” aku mencoba menutupi kegugupanku.
“ Aku lagi nelpon. He..he... aku mau ngabarin aja kalau mulai bulan depan aku dimutasi ke Balikpapan. Jauh ya?,” ujarnya tanpa ngalor-ngidul.
“ Oya? Hm.. jauh dari apa dan siapa. Yaa, kalau itu baik buat masa depan karirmu, kenapa tidak?,” ucapku sok memberi semangat. Bagiku toh sama saja, Yona di Surabaya dan Yona di Balikpapan. Yang membuat kami ‘dekat’ selama setahun terakhir hanya Handphone.
“ Makin jauh dari kamu lah. Ya udah deh, aku cuma mau ngasih tahu itu,” Yona seperti hampir menyudahi pembicaraan.
“ Jangan tutup teleponmu Yona,” pintaku dalam hati.
Yona memang bukan pria yang suka berlama-lama ngobrol, tapi pada setiap pembicaraan baik ketika langsung bertemu maupun hanya tersirat melalui sms, selalu meninggalkan kesan dalam hatiku. Yona, pria yang simpatik. Mengingat jawaban yang pernah kuberikan padanya saat dia mengharapkan hatiku, aku tahu Yona pria yang menghormati keputusanku. Dia tidak memaksakan kehendaknya sekalipun aku tahu betul dia amat mengharapkan diriku.
“ Mey, aku suka sekali sama kamu. Tapi cuma bisa di hati aja ya?,” katanya lagi.
“ Duh... Yon, jangan bikin aku nangis dong. Ehm, kuakui sebenarnya perasaanku nggak jauh beda sama kamu kok. Tapi kamu tahu keadaanku saat ini tidak memungkinkanku memilih. Biarlah perasaan ini jadi rahasia kita berdua ya.,” jelasku memberi pengakuan sambil menahan kelu di tenggorokan.
“ Oke, kucoba ya. He..he.. oke met bobok. Sampai jumpa,” Yona benar-benar menyudahi pembicaraan kami.
Aku tertegun sebentar. Lalu mengijinkan air mataku tumpah. Yona...Theo...oh...Tuhan, manakah yang harus kupilih?
****
Itulah kali terakhir Yona meneleponku. Sejak itu ia tak lagi berkirim kabar lewat sms pada jam-jam istimewa yang kucanangkan padanya. Aku coba tidak gegabah mengirimkan sms sekedar bertanya apa kabar. Selain gengsi juga, aku tahu pasti itu akan kembali mengoyak perasaan kami berdua.
Pikiranku masih teguh memegang janji untuk tidak meninggalkan Theo. Dia amat baik kepadaku. Meskpiun setiap kami bertemu, satu hal yang segera ia lakukan adalah menscreening handphoneku. Kalau-kalau masih ada jejak percakapan atau sms antara Yona dan aku. Aku selalu berhasil mengelabuhi Theo, aku selalu meyakinkannya bahwa tidak ada lagi komunikasi lagi antara aku dan Yona. Kali ini kenyataannya memang betul. Padahal sebenarnya aku ingin berkata jujur, “Theo, kamu baik sekali padaku. Bisakah kita sudahi hubungan kita selama ini?” Hanya orang gila yang tega melakukannya. Oh..andai bisa....tidak, aku tidak mungkin setega itu!
“May, aku hanya punya usaha kecil. Di luar sana memang banyak lelaki yang lebih baik posisinya. Aku tahu kamu bisa lepas dariku. Aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Asal aku bisa melihatmu bahagia, itu sudah cukup bagiku,” tiba-tiba saja barisan kalimat yang tak biasa kudengar itu meluncur dengan lancarnya dari mulut tunanganku, Theo. Ia mengatakannya sambil berkaca-kaca.
Kamu pikir aku cewek matre? Aku cuma bosan. Itu saja, aku nggak punya penjelasan kenapa! “Theo, kenapa kamu tanyakan itu? Kamu tahu kita akan menikah tahun depan,” balasku sambil masih saja dalam hati aku setengah gembira membayangkan bahwa aku diijinkan untuk memutuskan hubungan kami oleh Theo sendiri! Kenapa Theo menanyakannya? Adakah ia tahu bahasa tubuhku yang sedang ingin berpisah dengannya? Ataukah dia pernah menghubungi Yona dan menanyakan keadaan yang sebenarnya? Oh...kepalaku berputar cepat untuk mencari jawaban itu.
“Mungkin Yona lebih baik buatmu,” penjelasan berikutnya seperti ketapel mengenai ulu hatiku. Adakah Theo tahu aku sedang jatuh cinta lagi pada orang lain bernama Yona? Daripada aku bicara dalam keadaan kalut sekedar mencoba meluruskan yang sebenarnya, aku memilih diam. Karena aku juga tidak yakin apakah hatiku akan berkata jujur untuk menerangkan yang sebenarnya pada Theo.
Sejak pernyataan Theo itu, aku jadi berpikir keras. Perasaan bersalah menyelimuti hatiku. Tidak hanya kepada Theo, karena aku telah mengkhianati komitmen kami karena alasan bosan yang aneh itu, tetapi juga kepada Yona. Mengapa jujur kuutarakan perasaan pada Yona waktu itu? Bukankah dengan begitu aku memberinya harapan? Mengapa dulu aku tidak menghindarinya sehingga dengan jelas Yona tahu cintanya bertepuk sebelah tangan?
Hari-hari berlalu tanpa sms dari Theo lagi. Sekalinya bersms, ia hanya memberi tahuku tak bisa menjemputku lagi. Tanpa Theo aku merasakan keanehan yang merasuk hatiku. Perasaan antara lega dan takut. Lega karena memang ini yang kuinginkan, putus dari Theo (dan menerima Yona) tetapi anehnya aku juga masih takut kehilangan Theo, mengingat apa yang sudah kami lalui selama ini. Ah, apakah aku memang perempuan paling plin-plan di dunia ini?
Tanpa kuduga, suatu hari Theo menjemputku dan mengajakku makan malam di restoran favorit kami. Inilah saat yang tepat aku memberinya penjelasan, batinku. Biasanya Theo hanya perlu beberapa hari untuk meredakan emosinya dan memaafkan kesalahanku. Anehnya, mulutku tak juga segera membuka untuk sekedar minta maaf dan ingin kembali melanjutkan hubungan kami hingga menikah kelak. Theo justru memesan makanan favorit kami dan kami makan hingga selesai tanpa sepatah kata pun. Aneh...
“ May, aku ingin mengatakan sesuatu,” Theo membuka percakapan sambil meluruskan posisi duduknya.
“Lebih baik kita sudahi saja hubungan kita ini. Aku tidak ingin memaksamu mencintaiku dan mengorbankan perasaanmu yang sebenarnya. Aku rela May, kamu harus bahagia.”
Apa lagi ini? Kepalaku seakan ditinju, pening rasanya untuk meyakinkan diriku bahwa Theo betul-betul memutuskan aku! Dia mengatakannya sambil mengembalikan cincin pertunangan kami yang tersemat di jari manisnya. Aku ingin berteriak tidak! Tetapi aku hanya bisa tertegun sambil melelehkan air mata. Kudengar Theo hanya menarik napas panjang dan dia pergi meninggalkan aku sendiri. Ya sendiri.... “May yang bodoh! Malapetaka ini hanya disebabkan oleh May seorang!,” aku mengumpat diriku sendiri berulang-ulang.
Beberapa hari aku menyesali diri. Theo, kini tak lagi menjadi tunanganku. Kini aku sendiri. Bukankah itu yang kuinginkan? Apa lagi? Oya, Yona! Pria itu kembali muncul di benakku. Yona, sekarang aku sendiri. Sekarang aku bisa mengatakan Ya pada kamu. Tapi bagaimana caranya?
Setelah menimbang-nimbang, menyingkirkan segala gengsiku, aku beranikan diri mengambil handphoneku. “Aku akan meneleponnya sekarang,” ujarku mantap dalam hati.
Kupencet 12 digit nomor handphone Yona. Aku sudah bayangkan suaranya. “Maaf. Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar.” Begitu jawaban yang kuperoleh. Kucoba lagi, lagi dan lagi. Tetap saja jawabnya sama. Wahai Yona, dimanakah kamu? Aku mulai gelisah. Setiap kali kucek handphone adakah Yona menelepon atau mengirim selarik sms. Tapi itu tak kunjung terjadi, hingga berbulan-bulan lamanya. Mungkinkah nomer Yona sudah ganti? Aku berharap bisa menemukan jawabnya.
“ Tau rasa kini kau, May. Theo meninggalkanmu, Yona pun tak kau ketahui rimbanya. Ketika kau bimbang memilih di antara keduanya, kau justru kehilangan dua-duanya!” kata hatiku mengomeli diriku sendiri. Ya, air mataku membanjir. Kini aku benar-benar sendiri. Hanya handphoneku itu kupandangi, sambil terus berharap, Yona...meneleponlah... (*)
“Tolong kasih penjelasan yang masuk akal padaku, siapa sebenarnya Yona? Apa artinya ini?,” begitu tanya Theo pacarku selama 5 tahun yang kini jadi tunanganku dengan geramnya pada suatu kali memergoki sebuah sms dalam handphone-ku.
Kali lain, dia bilang, “Aku berhak dong merasa cemburu. Jangan menebar harapan pada setiap lelaki yang mengenalmu.”
“Tenang Theo, jangan emosi. Yona itu rekan baruku. Biasalah, itu percakapan rubish. Aku nggak anggap serius,” aku coba menerangkan ketika Theo menginterogasiku. Waktu itu, aku lupa menghapus pesan yang bernada ‘rayuan gombal’ dari Yona, mitra kerjaku di Surabaya.
Walau sebenarnya alasan yang kuberikan juga itu bohong. Aku tidak mau menyakiti hati Theo. Aku cuma lupa menghapus pesan Yona. Itu saja yang kuanggap sebagai kesalahan besar hingga membawa kami pada pembahasan tentang Yona setiap aku dan Theo bertemu.
“ Apa Yona masih sms kamu? Jangan bohong,” Theo memohon padaku sambil merebut hanphoneku. Dia mulai mengutak-atik kotak surat di dalamnya.
“ Fuh...untung kali ini aku tidak lupa menghapus jejak,” batinku.
“ Tidak. Aku tidak bohong. Jangan seperti anak kecil deh,” aku selalu dibakar rasa marah setiap kali Theo coba menyelidiki.
Aku sadar resiko ini. Berbohong bahwa aku tak pernah menganggap sms Yona berarti. Sedari awal sudah aku sadari. Tapi entah kenapa aku menikmatinya. Mungkin aku sedang merasa jenuh. Jenuh karena hubungan yang sudah terlampau lama. Bosan dengan Theo yang amat baik padaku. Bosan yang aneh, karena tidak ada yang salah dengan Theo dan hubungan kami.
Aku dan Yona, setahun terakhir berhubungan. Yona bekerja pada mitra perusahaan di Surabaya. Kami bertemu di sebuah acara gathering. Setelah dua kali bertemu, barulah kami sering berkirim pesan melalui handphone. Awalnya rasa itu tidak ada sama sekali, tetapi gaya Yona yang smart dan gentle itu menumbuhkan rasa suka dalam hatiku. Pada awal perkenalan kami, Yona sudah kuberi tahu bahwa aku bertunangan dengan Theo, tetapi kenyataan itu tidak menyurutkannya menaruh perhatian kapadaku. Beberapa kali sms-nya berisi kalimat yang menggoda perasaanku.
Maukah kamu kalau aku menunggumu? Sms Yona kubaca suatu kali ketika sedang menunggu pesawat di bandara Juanda untuk kembali ke Jakarta. Seketika itu juga hatiku berdegup kencang, perasaan aneh yang tidak pernah lagi kurasakan selama 5 tahun terakhir. Perasaan seperti jatuh cinta lagi. Keringat dingin membasahi tanganku dan aku bingung mencari kata untuk membalasnya. Pikiranku berkecamuk saat itu, terus terang aku memang jatuh cinta lagi pada pria bernama Yona, tetapi aku tidak mungkin memalingkan perasaan dari orang yang amat mengasihiku selama ini.
Untuk beberapa saat lamanya aku terpekur, kemudian jari kananku dengan gemetar memilih huruf demi huruf.
“Jangan menungguku, aku pasti akan mengecewakanmu, “ begitu bunyinya. Setengah tak percaya kubaca ulang kalimat itu. Benarkah? Aku bertanya dalam hati sekali lagi. Tetapi jariku memencet tombol send. “Ufh...aku telah melewatkannya,” batinku sambil menghapus pesan dari Yona itu dari handphone-ku.
******
Demi meredam ketegangan antara aku dan Theo tiap kali bertemu, aku berpesan pada Yona untuk mengirim sms hanya pada jam-jam kerja dan tengah malam. Karena saat-saat itulah, aku dan Theo tidak bertemu. Yona menyanggupi, tetapi dalam hati aku merasa bersalah karena rasa-rasanya Yona hanya menjadi pelarian perasaan bosanku pada Theo. Meski sebenarnya, ingin rasanya aku tega untuk meninggalkan Theo dan menjadi kekasih Yona, seperti yang diharapkannya. Begitupun sebaliknya aku merasa bersalah karena secara diam-diam aku telah berselingkuh perasaan dari Theo.
Aku tak mengerti mengapa saat bersama Theo, aku kangen pada Yona. Bahkan pernah, ketika sedang jalan bareng Theo, aku minta ijin menelepon Yona. Aku pura-pura beralasan urgent menelepon Yona karena urusan perusahaan. Padahal aku melakukannya karena rindu mendengar suaranya. Theo mengijinkan! Saat itu Theo belum berprasangka buruk terhadap Yona. Begitulah setiap hari, separuh otakku hanya memikirkan Yona.
Suatu malam, handhponeku berbunyi, kubaca identitas peneleponnya Yona. Biasanya Yona hanya missed call, begitu kuangkat dia mematikannya. Kali ini aku sengaja langsung angkat HP.
“Halo!,” lalu aku diam. Tetapi kali ini lain, Yona tidak menutupnya.
Dari seberang kudengar ia membalas ucap, “Hai...met malam. Lagi apa? Aku kangen banget sama kamu. Gimana kabarmu?”
“ Ehm.. eh..aku baik-baik aja. Lagi baca buku. Kamu ngapain?,” aku mencoba menutupi kegugupanku.
“ Aku lagi nelpon. He..he... aku mau ngabarin aja kalau mulai bulan depan aku dimutasi ke Balikpapan. Jauh ya?,” ujarnya tanpa ngalor-ngidul.
“ Oya? Hm.. jauh dari apa dan siapa. Yaa, kalau itu baik buat masa depan karirmu, kenapa tidak?,” ucapku sok memberi semangat. Bagiku toh sama saja, Yona di Surabaya dan Yona di Balikpapan. Yang membuat kami ‘dekat’ selama setahun terakhir hanya Handphone.
“ Makin jauh dari kamu lah. Ya udah deh, aku cuma mau ngasih tahu itu,” Yona seperti hampir menyudahi pembicaraan.
“ Jangan tutup teleponmu Yona,” pintaku dalam hati.
Yona memang bukan pria yang suka berlama-lama ngobrol, tapi pada setiap pembicaraan baik ketika langsung bertemu maupun hanya tersirat melalui sms, selalu meninggalkan kesan dalam hatiku. Yona, pria yang simpatik. Mengingat jawaban yang pernah kuberikan padanya saat dia mengharapkan hatiku, aku tahu Yona pria yang menghormati keputusanku. Dia tidak memaksakan kehendaknya sekalipun aku tahu betul dia amat mengharapkan diriku.
“ Mey, aku suka sekali sama kamu. Tapi cuma bisa di hati aja ya?,” katanya lagi.
“ Duh... Yon, jangan bikin aku nangis dong. Ehm, kuakui sebenarnya perasaanku nggak jauh beda sama kamu kok. Tapi kamu tahu keadaanku saat ini tidak memungkinkanku memilih. Biarlah perasaan ini jadi rahasia kita berdua ya.,” jelasku memberi pengakuan sambil menahan kelu di tenggorokan.
“ Oke, kucoba ya. He..he.. oke met bobok. Sampai jumpa,” Yona benar-benar menyudahi pembicaraan kami.
Aku tertegun sebentar. Lalu mengijinkan air mataku tumpah. Yona...Theo...oh...Tuhan, manakah yang harus kupilih?
****
Itulah kali terakhir Yona meneleponku. Sejak itu ia tak lagi berkirim kabar lewat sms pada jam-jam istimewa yang kucanangkan padanya. Aku coba tidak gegabah mengirimkan sms sekedar bertanya apa kabar. Selain gengsi juga, aku tahu pasti itu akan kembali mengoyak perasaan kami berdua.
Pikiranku masih teguh memegang janji untuk tidak meninggalkan Theo. Dia amat baik kepadaku. Meskpiun setiap kami bertemu, satu hal yang segera ia lakukan adalah menscreening handphoneku. Kalau-kalau masih ada jejak percakapan atau sms antara Yona dan aku. Aku selalu berhasil mengelabuhi Theo, aku selalu meyakinkannya bahwa tidak ada lagi komunikasi lagi antara aku dan Yona. Kali ini kenyataannya memang betul. Padahal sebenarnya aku ingin berkata jujur, “Theo, kamu baik sekali padaku. Bisakah kita sudahi hubungan kita selama ini?” Hanya orang gila yang tega melakukannya. Oh..andai bisa....tidak, aku tidak mungkin setega itu!
“May, aku hanya punya usaha kecil. Di luar sana memang banyak lelaki yang lebih baik posisinya. Aku tahu kamu bisa lepas dariku. Aku tidak bisa memaksakan kehendakku. Asal aku bisa melihatmu bahagia, itu sudah cukup bagiku,” tiba-tiba saja barisan kalimat yang tak biasa kudengar itu meluncur dengan lancarnya dari mulut tunanganku, Theo. Ia mengatakannya sambil berkaca-kaca.
Kamu pikir aku cewek matre? Aku cuma bosan. Itu saja, aku nggak punya penjelasan kenapa! “Theo, kenapa kamu tanyakan itu? Kamu tahu kita akan menikah tahun depan,” balasku sambil masih saja dalam hati aku setengah gembira membayangkan bahwa aku diijinkan untuk memutuskan hubungan kami oleh Theo sendiri! Kenapa Theo menanyakannya? Adakah ia tahu bahasa tubuhku yang sedang ingin berpisah dengannya? Ataukah dia pernah menghubungi Yona dan menanyakan keadaan yang sebenarnya? Oh...kepalaku berputar cepat untuk mencari jawaban itu.
“Mungkin Yona lebih baik buatmu,” penjelasan berikutnya seperti ketapel mengenai ulu hatiku. Adakah Theo tahu aku sedang jatuh cinta lagi pada orang lain bernama Yona? Daripada aku bicara dalam keadaan kalut sekedar mencoba meluruskan yang sebenarnya, aku memilih diam. Karena aku juga tidak yakin apakah hatiku akan berkata jujur untuk menerangkan yang sebenarnya pada Theo.
Sejak pernyataan Theo itu, aku jadi berpikir keras. Perasaan bersalah menyelimuti hatiku. Tidak hanya kepada Theo, karena aku telah mengkhianati komitmen kami karena alasan bosan yang aneh itu, tetapi juga kepada Yona. Mengapa jujur kuutarakan perasaan pada Yona waktu itu? Bukankah dengan begitu aku memberinya harapan? Mengapa dulu aku tidak menghindarinya sehingga dengan jelas Yona tahu cintanya bertepuk sebelah tangan?
Hari-hari berlalu tanpa sms dari Theo lagi. Sekalinya bersms, ia hanya memberi tahuku tak bisa menjemputku lagi. Tanpa Theo aku merasakan keanehan yang merasuk hatiku. Perasaan antara lega dan takut. Lega karena memang ini yang kuinginkan, putus dari Theo (dan menerima Yona) tetapi anehnya aku juga masih takut kehilangan Theo, mengingat apa yang sudah kami lalui selama ini. Ah, apakah aku memang perempuan paling plin-plan di dunia ini?
Tanpa kuduga, suatu hari Theo menjemputku dan mengajakku makan malam di restoran favorit kami. Inilah saat yang tepat aku memberinya penjelasan, batinku. Biasanya Theo hanya perlu beberapa hari untuk meredakan emosinya dan memaafkan kesalahanku. Anehnya, mulutku tak juga segera membuka untuk sekedar minta maaf dan ingin kembali melanjutkan hubungan kami hingga menikah kelak. Theo justru memesan makanan favorit kami dan kami makan hingga selesai tanpa sepatah kata pun. Aneh...
“ May, aku ingin mengatakan sesuatu,” Theo membuka percakapan sambil meluruskan posisi duduknya.
“Lebih baik kita sudahi saja hubungan kita ini. Aku tidak ingin memaksamu mencintaiku dan mengorbankan perasaanmu yang sebenarnya. Aku rela May, kamu harus bahagia.”
Apa lagi ini? Kepalaku seakan ditinju, pening rasanya untuk meyakinkan diriku bahwa Theo betul-betul memutuskan aku! Dia mengatakannya sambil mengembalikan cincin pertunangan kami yang tersemat di jari manisnya. Aku ingin berteriak tidak! Tetapi aku hanya bisa tertegun sambil melelehkan air mata. Kudengar Theo hanya menarik napas panjang dan dia pergi meninggalkan aku sendiri. Ya sendiri.... “May yang bodoh! Malapetaka ini hanya disebabkan oleh May seorang!,” aku mengumpat diriku sendiri berulang-ulang.
Beberapa hari aku menyesali diri. Theo, kini tak lagi menjadi tunanganku. Kini aku sendiri. Bukankah itu yang kuinginkan? Apa lagi? Oya, Yona! Pria itu kembali muncul di benakku. Yona, sekarang aku sendiri. Sekarang aku bisa mengatakan Ya pada kamu. Tapi bagaimana caranya?
Setelah menimbang-nimbang, menyingkirkan segala gengsiku, aku beranikan diri mengambil handphoneku. “Aku akan meneleponnya sekarang,” ujarku mantap dalam hati.
Kupencet 12 digit nomor handphone Yona. Aku sudah bayangkan suaranya. “Maaf. Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar.” Begitu jawaban yang kuperoleh. Kucoba lagi, lagi dan lagi. Tetap saja jawabnya sama. Wahai Yona, dimanakah kamu? Aku mulai gelisah. Setiap kali kucek handphone adakah Yona menelepon atau mengirim selarik sms. Tapi itu tak kunjung terjadi, hingga berbulan-bulan lamanya. Mungkinkah nomer Yona sudah ganti? Aku berharap bisa menemukan jawabnya.
“ Tau rasa kini kau, May. Theo meninggalkanmu, Yona pun tak kau ketahui rimbanya. Ketika kau bimbang memilih di antara keduanya, kau justru kehilangan dua-duanya!” kata hatiku mengomeli diriku sendiri. Ya, air mataku membanjir. Kini aku benar-benar sendiri. Hanya handphoneku itu kupandangi, sambil terus berharap, Yona...meneleponlah... (*)
No comments:
Post a Comment