Akhirnya, Pak Harto pun tutup usia. Seperti layaknya kita sulit menerka kapan daun kering itu akan jatuh. Sekarang, besok, lusa? Begitulah, terkaan kita terhadap kemungkinan kepergian seseorang yang secara medis telah beberapa kali mengalami fase kritis, seringkali meleset. Pada saat di mana pikiran kita lengah, atau teralihkan perhatiannya, maka terjadilah apa yang kita terka-terka sebelumnya. Pak Harto telah meninggal. Tiba-tiba campur aduk perasaan mulai menjalari, mungkin ditambah dengan guyuran informasi di media massa cetak dan elektronik, gambar-gambar dan ilustrasi mengenai obituarinya. Semua menambah keanehan perasaan. Rasa aneh karena waktu dia masih hidup, ada banyak hujatan mengarah kepadanya yang menutupi hampir semua jejak prestasinya di masa lalu. Banyak telunjuk tertuju padanya sebagai penanggung jawab terjadinya banyak pelanggaran di masa lalu. Tetapi secara manusiawi, ada rasa kehilangan juga. Sekarang, dia benar-benar sudah tiada lagi.
Menanggapi rasa campur baur, benci-marah-kehilangan-rasa biasa-biasa saja itu, saya jadi tertarik dengan sepenggal tanggapan istri Widji Thukul, penyair di Solo yang jadi korban waktu geger 1998 dulu dan harus kehilangan suaminya itu yang hingga sekarang tak tahu di mana rimbanya, dia bilang “Tuhan saja pemaaf mengapa saya tidak memaafkan Suharto.” sambil matanya berkaca-kaca dalam sebuah wawancara dengan TransTV. Sebesar itu permaafan bagi Suharto dari orang yang secara langsung tersakiti oleh Orba ini. Satu lagi, istri Widji Thukul itu berkata tidak dendam karena pada intinya dendam merugikan dirinya sendiri. Bayangkan…the power of forgiveness dari seorang istri penyair yang sederhana ini. Memilih tidak memaafkan, sama seperti sebuah ilustrasi, menaruh kentang dalam kantung plastik dan membawanya kemana saja kita pergi, berhari-hari bahkan berbulan lamanya. Makin lama, kentang itu justru akan membusuk dan bau tak sedap itu justru akan bersumber dari kita.
Menanggapi rasa campur baur, benci-marah-kehilangan-rasa biasa-biasa saja itu, saya jadi tertarik dengan sepenggal tanggapan istri Widji Thukul, penyair di Solo yang jadi korban waktu geger 1998 dulu dan harus kehilangan suaminya itu yang hingga sekarang tak tahu di mana rimbanya, dia bilang “Tuhan saja pemaaf mengapa saya tidak memaafkan Suharto.” sambil matanya berkaca-kaca dalam sebuah wawancara dengan TransTV. Sebesar itu permaafan bagi Suharto dari orang yang secara langsung tersakiti oleh Orba ini. Satu lagi, istri Widji Thukul itu berkata tidak dendam karena pada intinya dendam merugikan dirinya sendiri. Bayangkan…the power of forgiveness dari seorang istri penyair yang sederhana ini. Memilih tidak memaafkan, sama seperti sebuah ilustrasi, menaruh kentang dalam kantung plastik dan membawanya kemana saja kita pergi, berhari-hari bahkan berbulan lamanya. Makin lama, kentang itu justru akan membusuk dan bau tak sedap itu justru akan bersumber dari kita.
Seperti itulah kebencian yang selalu kita bawa-bawa apabila kita tidak bisa memaafkan orang lain. Sungguh sangat tidak menyenangkan membawa kentang busuk kemana pun kita pergi.