Bicara tentang sakitnya mantan presiden Suharto yang kini dikabarkan mulai membaik dan segera akan keluar dari ICU, saya lebih tertarik membayangkan pergulatannya & keluarga di tengah ruang yang bernama ICU (Intenssive Care Unit), daripada membahas mengenai persoalan-persoalan yang ditanggung beliau dan harus dipertanggungjawabkan itu (habis kayaknya nggak ada endingnya gitu yak? Hampir ke arah membosankan). Saya membayangkan bagaimana perjuangan perasaan keluarga besar atau orang-orang terdekat seseorang yang tengah dirawat di ICU selama berhari-hari, mereka lah yang paling merasakan beban dan tekanan hebat. Bagaimana tidak? Setiap hari harus menunggui dan melihat seseorang yang sedang melawan sekuat tenaga penyakitnya, dan boleh dikata di ICU itu para pasien terbaring di antara hidup dan mati. Sangat dekat sekali rasanya maut itu bagi kita orang yang sehat yang sedang menunggui mereka di sana. Tapi bukan berarti semua yang di ICU hanya punya dua pilihan itu, di ICU juga seringkali terjadi yang namanya Miracle. Jadi kalau saya bisa gambarkan, mungkin di sana ada malaikat pencabut nyawa, ada malaikat dewan pertimbangan agung (yang diberi kewenangan Tuhan untuk mengatakan cabut sekarang atau nanti saja atau penerus kehendak Tuhan untuk memberikan seseorang second chance). Yah, sebenarnya di mana pun kita berada sih ya, tapi di ICU gambaran seperti itu sangat kental dan menggigit.
Saya pernah juga mengalami bagaimana teraduk-aduknya perasaan ketika menunggui seseorang di arena ICU. Waktu itu yang saya tunggui ibu saya sendiri. Beberapa tahun lalu sebelum menjalani operasi jantung, beliau sudah standby di ICU beberapa hari sebelum pelaksanaan operasi guna menjaga sterilitas dan pemantauan dokter atas kondisinya. Sehari sebelum beliau masuk ruang operasi, saya sempat menungguinya. Pagi, saya masih melihat pasien di depan ibu saya meski dengan piranti-piranti tersemat di sekujur tubuhnya, eh sore ketika ke sana lagi, ibu saya bilang pasien tetangganya itu sudah tiada lagi siangnya. Fiuh…saya ikut gemetar mendengarnya, gimana perasaan ibu saya yang akan menjalani operasi besar esok hari? Pikir saya, kami sekeluarga pun cuma bisa memompakan semangat hidup dan doa agar beliau diberi kekuatan. Ternyata berada di ICU bisa menjatuhbangunkan mental seorang pasien dan keluarga yang menunggui manakala melihat atau mendengar salah seorang penghuni ICU meninggal lebih dulu.
Ditambah lagi pemandangan di ICU, monitor jantung yang selalu berbunyi, tit…tit…tit…dengan garis-garis penunjuk masih ada tidaknya tanda-tanda kehidupan. Lalu mesin apalah namanya itu, yang buat bernafas bentuknya seperti tabung pompa besar dengan selang yang tersambung ke mulut pasien jadi ketika pasien bernapas, mesin itu turun naik seperti pompa. Belum lagi mesin pembersih tenggorokan pasien yang sudah koma atau tidak sadarkan diri berhari-hari, kalau alat itu sedang bekerja bunyinya itu lho…krrrrr…krrrr….krrrroookkk…Aduuhh masygul rasanya demi melihat piranti-piranti bertema ICU itu.
Pualiiiing menyakitkan manakala, harus meretas langkah menuju ICU dan melihat pemandangan di mana orang yang terkasih terbujur kaku ditutupi kain putih dengan monitor jantung berbunyi tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit panjang dan layar menunjukkan garis hijau mendatar, pertanda ia sudah tutup usia dan para dokter berdiri dengan pandangan seakan berkata, “Be strong please, we’ve done our best so far”. Dan itulah yang saya alami. Sungguh sebuah ruangan hidup dan mati, ruang kehilangan atau mendapatkannya kembali. Ya, ICU….(*dedicated to all people whose family’s member is now laying and fighting against desease in ICU, be tough)
Saya pernah juga mengalami bagaimana teraduk-aduknya perasaan ketika menunggui seseorang di arena ICU. Waktu itu yang saya tunggui ibu saya sendiri. Beberapa tahun lalu sebelum menjalani operasi jantung, beliau sudah standby di ICU beberapa hari sebelum pelaksanaan operasi guna menjaga sterilitas dan pemantauan dokter atas kondisinya. Sehari sebelum beliau masuk ruang operasi, saya sempat menungguinya. Pagi, saya masih melihat pasien di depan ibu saya meski dengan piranti-piranti tersemat di sekujur tubuhnya, eh sore ketika ke sana lagi, ibu saya bilang pasien tetangganya itu sudah tiada lagi siangnya. Fiuh…saya ikut gemetar mendengarnya, gimana perasaan ibu saya yang akan menjalani operasi besar esok hari? Pikir saya, kami sekeluarga pun cuma bisa memompakan semangat hidup dan doa agar beliau diberi kekuatan. Ternyata berada di ICU bisa menjatuhbangunkan mental seorang pasien dan keluarga yang menunggui manakala melihat atau mendengar salah seorang penghuni ICU meninggal lebih dulu.
Ditambah lagi pemandangan di ICU, monitor jantung yang selalu berbunyi, tit…tit…tit…dengan garis-garis penunjuk masih ada tidaknya tanda-tanda kehidupan. Lalu mesin apalah namanya itu, yang buat bernafas bentuknya seperti tabung pompa besar dengan selang yang tersambung ke mulut pasien jadi ketika pasien bernapas, mesin itu turun naik seperti pompa. Belum lagi mesin pembersih tenggorokan pasien yang sudah koma atau tidak sadarkan diri berhari-hari, kalau alat itu sedang bekerja bunyinya itu lho…krrrrr…krrrr….krrrroookkk…Aduuhh masygul rasanya demi melihat piranti-piranti bertema ICU itu.
Pualiiiing menyakitkan manakala, harus meretas langkah menuju ICU dan melihat pemandangan di mana orang yang terkasih terbujur kaku ditutupi kain putih dengan monitor jantung berbunyi tiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit panjang dan layar menunjukkan garis hijau mendatar, pertanda ia sudah tutup usia dan para dokter berdiri dengan pandangan seakan berkata, “Be strong please, we’ve done our best so far”. Dan itulah yang saya alami. Sungguh sebuah ruangan hidup dan mati, ruang kehilangan atau mendapatkannya kembali. Ya, ICU….(*dedicated to all people whose family’s member is now laying and fighting against desease in ICU, be tough)
No comments:
Post a Comment