Bukannya ingin melebih-lebihkan keadaan, hingga saya pilih judul di atas. Saya cuma sekedar pengen menggambarkan suasana biduk rumah tangga saya setelah hampir 2 bulan ini berjalan. Boleh dikata sebulan terakhir, saya tengah dilanda euforia pasca pernikahan. Semuanya meledak-ledak. Mulai dari senang, sedih, bete, marah semua ada. Pokoknya rasanya seperti makan permen nano-nano. Pada seminggu setelah hari H, pasti semua mantan pengantin merasakan surga dunia yang tak ingin mereka tinggalkan. Itu juga yang saya rasakan. Masa bulan semanis madu berdua, semua manis dan indah. sedih rasanya kalau harus mengakhiri masa-masa itu. Tapi apa boleh buat, kami harus segera ‘bangun’ dari tidur. Masa cuti cuma seminggu dan kami harus bekerja lagi. Sedih rasanya meninggalkan masa bulan madu itu.
Saya kembali bekerja di Salatiga dan suami saya bekerja di Yogya. Kami ‘terpaksa’ berjauhan karena hal ini telah menjadi kesepakatan sebelum menikah bahwa untuk setahun ke depan, saya akan tetap bekerja di Salatiga dulu hingga suami saya mendapatkan kejelasan mengenai status pekerjaannya. Kami menganggap pekerjaan saya lebih dapat dijamin keberlangsungannya dibandingkan pekerjaan suami saya yang hampir habis masa kontraknya. Waktu itu sih, saya enteng saja menyetujuinya (toh itu keinginan saya yang didukung oleh suami). Hanya Sabtu dan Minggu saja kami bertemu dan menghabiskan sepanjang hari dengan berekreasi, ya jalan-jalan, ya di kamar (hehe...).
Tetapi mendadak terjadi perubahan pada diri saya yang saya sendiri tidak pahami dari mana datangnya. Bukan perubahan fisik, tetapi perubahan suasana hati. Tiba-tiba saja, saya menjadi luar biasa melo dan cengeng seperti anak SD yang enggan ditinggal ibunya ketika sekolah. Padahal selama 8 tahun berpacaran dengan suami saya, saya tahu benar cengeng bukan saya banget gitu lho. Bahkan hal-hal yang dulu saya anggap biasa saja bahkan tidak terpikirkan, sekarang sangat penting untuk dibahas (baca : diperdebatkan). Misalnya saja, kalau dia terpaksa lembur di kantor atau dia telat bersms. Aduh, hari-hari hanya saya isi dengan kemarahan yang tidak kenal kompromi. Keinginan untuk didengar dan diperhatikan saja. Seringkali, tiap hari dia gelisah apa lagi yang akan menjadi ‘bahan peledak’ saya? Saya cukup prihatin dengan kondisi emosi saya yang sungguh tidak stabil sebulan belakangan karena saya sendiri merasa lelah yang luar biasa.
Jarak yang dulunya saya anggap tidak menjadi masalah, kini sangat berarti. Setiap hari saya lewatkan begitu saja kebersamaan dengannya di rumah. Saya lewatkan peran saya sebagai istrinya. Sesuatu yang menjadi alasan mengapa saya ingin menikah. Saya tidak sekedar ingin menjadi istri semata, tetapi ingin memainkan peran itu dengan baik. Kini, demi periuk nasi (atau keegosian saya?), kami harus berpisah, sekalipun jumpa tiap weekend tapi hal ini saya akui cukup membuat saya senewen selain mungkin pengaruh perubahan hormon kewanitaan saya kali ya? Maka saya memakai hal-hal sederhana yang tadinya biasa saja menjadi umpan untuk menyalurkan kesenewenan saya tadi.
Dalam kamus para pria rasanya hanya ada kelugasan, sesuatu yang tidak di awang-awang, sesuatu yang harus dikatakan, harus diterangkan, bukan diumpakan. Seperti suami saya. Setiap kali bertengkar karena hal-hal yang sepele tadi, dia selalu bertanya, “Lalu, mama pengen papa seperti apa?” Aduh, itu pertanyaan tabu buat saya. Karena saya berpikir, kalau saya bilang papa harus A, B, C maka apa yang dia lakukan semata supaya saya tidak marah lagi. Bukan lagi dilakukan dari kesadarannya. (Lagi-lagi) suami saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hal menarik lainnya yang membuat saya lebih kenal mantan pacar saya ini adalah, kebiasaan dia menguasai sebuah kotak bernama televisi. Benar yang pernah dirilis oleh banyak buku psikologi, dalam hal penguasa remote, lelaki lah rajanya. Setiap kali menonton bersama, dia mempersilakan saya menonton kesukaan saya misalnya acara Insert di TransTV (partisipan gosip club member). Tapi belum selesai satu berita, ia sudah ambil alih remote TV dan ia mulai pencet sana-sini tanpa arah lalu kembali lagi ke mata acara yang saya sukai tadi (basi lah kabarnya udah lewat). Dia baru berhenti kalau saya sudah meliriknya atau dia lihat berita olahraga. Kebiasaan dia menggunakan kipas angin atau fan ketika tidur, juga sempat mengganggu saya. Saya paling anti dengan fan yang secara langsung mengenai tubuh saya, bisa masuk angin. Tapi suami saya sangat menikmati hembusan putaran angin itu kala tidur. Ketika saya tanya kenapa harus pakai fan meskipun udara dingin. Jawabnya, “Aku suka dengar suara fan ketika tidur.” Alasan ini sungguh tidak ilmiah dan saya dibuat tertawa ngakak. Alhasil kalau tidur, saya selalu pakai selimut dari ujung leher hingga kaki, sedangkan dia justru topless bagaimanapun dinginnya J
Belum lagi, kebiasaan memencet odol (pasta gigi). Bagi saya, memencet odol di atas sikat gigi tentu sudah baku dan jamak. Tapi tidak dengan suami saya, saya terkejut ketika dia memencet odol langsung ke mulutnya baru dia gosok gigi. Awalnya saya marah-marah karena berarti tube pasta gigi sudah tidak higienis lagi, tahu apa reaksinya? Dia cuma tertawa, “Hehe....” Aneh ya?
Makanya saya umpamakan hiruk pikuk yang terjadi selama 2 bulan pernikahan saya sebagai getaran-getaran gempa yang amat kecil skalanya. Saking kecilnya, kadang saya tak sadari bahwa sebab musababnya harusnya dibicarakan, supaya yang kecil itu nantinya tidak menjadi besar dan berpengaruh serius bagi rumah tangga saya kelak. Salah satunya, getaran ‘gempa’ yang diakibatkan jetleg kebiasaan berdua yang amat sangat kontras ditambah kondisi emosional suami istri yang tidak sama stabilnya.
Hingga kini, saya masih terus belajar menyesuaikan diri. Saya pikir begitu juga dengan suami saya. Bagaimanapun emosinya saya di kala tertentu, saya amat menyayanginya, terutama kalau ingat senyumnya. Hihi...cute seperti anak kecil. So, kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya ya. Doakan kami.
Saya kembali bekerja di Salatiga dan suami saya bekerja di Yogya. Kami ‘terpaksa’ berjauhan karena hal ini telah menjadi kesepakatan sebelum menikah bahwa untuk setahun ke depan, saya akan tetap bekerja di Salatiga dulu hingga suami saya mendapatkan kejelasan mengenai status pekerjaannya. Kami menganggap pekerjaan saya lebih dapat dijamin keberlangsungannya dibandingkan pekerjaan suami saya yang hampir habis masa kontraknya. Waktu itu sih, saya enteng saja menyetujuinya (toh itu keinginan saya yang didukung oleh suami). Hanya Sabtu dan Minggu saja kami bertemu dan menghabiskan sepanjang hari dengan berekreasi, ya jalan-jalan, ya di kamar (hehe...).
Tetapi mendadak terjadi perubahan pada diri saya yang saya sendiri tidak pahami dari mana datangnya. Bukan perubahan fisik, tetapi perubahan suasana hati. Tiba-tiba saja, saya menjadi luar biasa melo dan cengeng seperti anak SD yang enggan ditinggal ibunya ketika sekolah. Padahal selama 8 tahun berpacaran dengan suami saya, saya tahu benar cengeng bukan saya banget gitu lho. Bahkan hal-hal yang dulu saya anggap biasa saja bahkan tidak terpikirkan, sekarang sangat penting untuk dibahas (baca : diperdebatkan). Misalnya saja, kalau dia terpaksa lembur di kantor atau dia telat bersms. Aduh, hari-hari hanya saya isi dengan kemarahan yang tidak kenal kompromi. Keinginan untuk didengar dan diperhatikan saja. Seringkali, tiap hari dia gelisah apa lagi yang akan menjadi ‘bahan peledak’ saya? Saya cukup prihatin dengan kondisi emosi saya yang sungguh tidak stabil sebulan belakangan karena saya sendiri merasa lelah yang luar biasa.
Jarak yang dulunya saya anggap tidak menjadi masalah, kini sangat berarti. Setiap hari saya lewatkan begitu saja kebersamaan dengannya di rumah. Saya lewatkan peran saya sebagai istrinya. Sesuatu yang menjadi alasan mengapa saya ingin menikah. Saya tidak sekedar ingin menjadi istri semata, tetapi ingin memainkan peran itu dengan baik. Kini, demi periuk nasi (atau keegosian saya?), kami harus berpisah, sekalipun jumpa tiap weekend tapi hal ini saya akui cukup membuat saya senewen selain mungkin pengaruh perubahan hormon kewanitaan saya kali ya? Maka saya memakai hal-hal sederhana yang tadinya biasa saja menjadi umpan untuk menyalurkan kesenewenan saya tadi.
Dalam kamus para pria rasanya hanya ada kelugasan, sesuatu yang tidak di awang-awang, sesuatu yang harus dikatakan, harus diterangkan, bukan diumpakan. Seperti suami saya. Setiap kali bertengkar karena hal-hal yang sepele tadi, dia selalu bertanya, “Lalu, mama pengen papa seperti apa?” Aduh, itu pertanyaan tabu buat saya. Karena saya berpikir, kalau saya bilang papa harus A, B, C maka apa yang dia lakukan semata supaya saya tidak marah lagi. Bukan lagi dilakukan dari kesadarannya. (Lagi-lagi) suami saya hanya bisa geleng-geleng kepala.
Hal menarik lainnya yang membuat saya lebih kenal mantan pacar saya ini adalah, kebiasaan dia menguasai sebuah kotak bernama televisi. Benar yang pernah dirilis oleh banyak buku psikologi, dalam hal penguasa remote, lelaki lah rajanya. Setiap kali menonton bersama, dia mempersilakan saya menonton kesukaan saya misalnya acara Insert di TransTV (partisipan gosip club member). Tapi belum selesai satu berita, ia sudah ambil alih remote TV dan ia mulai pencet sana-sini tanpa arah lalu kembali lagi ke mata acara yang saya sukai tadi (basi lah kabarnya udah lewat). Dia baru berhenti kalau saya sudah meliriknya atau dia lihat berita olahraga. Kebiasaan dia menggunakan kipas angin atau fan ketika tidur, juga sempat mengganggu saya. Saya paling anti dengan fan yang secara langsung mengenai tubuh saya, bisa masuk angin. Tapi suami saya sangat menikmati hembusan putaran angin itu kala tidur. Ketika saya tanya kenapa harus pakai fan meskipun udara dingin. Jawabnya, “Aku suka dengar suara fan ketika tidur.” Alasan ini sungguh tidak ilmiah dan saya dibuat tertawa ngakak. Alhasil kalau tidur, saya selalu pakai selimut dari ujung leher hingga kaki, sedangkan dia justru topless bagaimanapun dinginnya J
Belum lagi, kebiasaan memencet odol (pasta gigi). Bagi saya, memencet odol di atas sikat gigi tentu sudah baku dan jamak. Tapi tidak dengan suami saya, saya terkejut ketika dia memencet odol langsung ke mulutnya baru dia gosok gigi. Awalnya saya marah-marah karena berarti tube pasta gigi sudah tidak higienis lagi, tahu apa reaksinya? Dia cuma tertawa, “Hehe....” Aneh ya?
Makanya saya umpamakan hiruk pikuk yang terjadi selama 2 bulan pernikahan saya sebagai getaran-getaran gempa yang amat kecil skalanya. Saking kecilnya, kadang saya tak sadari bahwa sebab musababnya harusnya dibicarakan, supaya yang kecil itu nantinya tidak menjadi besar dan berpengaruh serius bagi rumah tangga saya kelak. Salah satunya, getaran ‘gempa’ yang diakibatkan jetleg kebiasaan berdua yang amat sangat kontras ditambah kondisi emosional suami istri yang tidak sama stabilnya.
Hingga kini, saya masih terus belajar menyesuaikan diri. Saya pikir begitu juga dengan suami saya. Bagaimanapun emosinya saya di kala tertentu, saya amat menyayanginya, terutama kalau ingat senyumnya. Hihi...cute seperti anak kecil. So, kita lihat bagaimana perkembangan selanjutnya ya. Doakan kami.
No comments:
Post a Comment