Monday, March 12, 2007

Elegi Untuk Garuda Boeing 737-400 Jakarta-Jogja 070307

Naaah...baru saja dirasani (dibicarakan), kejadian juga. Lagi-lagi kecelakaan pesawat, kali ini di kota saya, Jogja. Barusan saya tulis pengalaman tanggal 4 Maret lalu ketika saya lihat adegan akrobatik dua pesawat di angkasa pada malam hari, kini saya harus menelan ludah melihat kenyataan pesawat Garuda terbakar di bandara Adi Sucipto. Sebelum menyampaikan uneg-uneg, saya lebih dulu ingin berbelasungkawa kepada keluarga para korban kecelakaan pesawat ini. Kiranya ketabahan dikaruniakan pada setiap anggota keluarga yang ditinggalkan.
Suatu pagi yang cerah. Pagi yang seharusnya menjadi awal kesegaran diri setiap orang. Mungkin saat itu tiap orang yang menumpang pesawat nahas tersebut memiliki rencana yang tersusun panjang sesampainya di kota gudeg. Bangun tidur, penuh semangat menuju bandara, check in dan masuk waiting room, boarding, duduk manis, take off, melayang di udara dan siap-siap meluruskan kembali sandaran kursi karena pesawat segera landing, pesawat mulai terbang rendah, turun dan turun dan dash!!! Pesawat terus melaju dengan kencang di landas pacu, semua penumpang sampai mengerem kaki masing-masing, berharap pesawat segera berhenti, tetapi tidak!! Tidak ada yang berubah, pesawat tetap laju dan crash!!
Ya Tuhan, jauhkanlah kami dari semua ini. Siapa yang menyangka mungkin sejam lalu, kita masih antre check in, telepon sana-sini memastikan keberangkatan kita pada orang-orang tercinta, mungkin 45 menit yang lalu, kita memasang sabuk pengaman, mengambil permen yang ditawarkan sang pramugari, mungkin 15 menit yang lalu, kita menikmati suasana Jogja dari atas yang tampak seperti maket itu. Kita tidak pernah tahu apa yang bakal terjadi pada 5,10 atau 15 menit yang akan datang. Mungkinkah kita lolos menuruni anak tangga pesawat, melambaikan tangan pada kekasih atau penjemput kita yang tersenyum di anjungan, menunggu bagasi keluar, tak sabar memeluk kekasih kita atau siapapun penjemput kita di ruang kedatangan. Menjalankan rencana panjang di kota gudeg. Ataukah rencana itu menjadi kenangan, lalu kita kehilangan atau kita sendiri yang “hilang”?
Ahh...Tuhan, di udara, di laut bahkan di darat pun nyawa kami tak dapat kami jaga sendiri. Hanya Engkau yang empunya semua yang menempel pada raga kami. Lindungilah kami dan bangsa kami. Lindungilah kami dalam duduk, berdiri dan berjalan. Di manapun kami berada. Amiin. (*)

No comments: